29 September 2008

Puasa dan Pensucian Jiwa

Puasa dan Pensucian Jiwa

Siti Musdah Mulia

Salah satu fungsi dari puasa Ramadhan adalah mensucikan jiwa manusia dari semua godaan hawa nafsu. Logikanya, semakin banyak puasa dilakukan, semakin suci pulalah jiwa manusia pelakunya. Sebab, puasa mendisiplinkan diri manusia agar tidak memperturutkan hawa nafsu.

Islam secara tegas mengajarkan bahwa jiwa manusia pada dasarnya suci. Akan tetapi, dalam perjalanan hidupnya manusia tercemar oleh berbagai dosa. Pencemaran terjadi karena dalam diri manusia selalu ada tendensi mengikuti hawa nafsu yang irasional, dan senantiasa membujuknya berpaling dari fitrah kesucian. Hawa nafsu merupakan pangkal dari semua penyakit dalam kehidupan manusia. Hawa nafsu, antara lain berwujud sifat takabur, sombong, arogan, dengki, iri hati, tamak, serakah, dan semua bentuk perilaku pemenuhan syahwat tanpa batas.

Hakikatnya, hawa nafsu adalah kecenderungan jiwa yang salah, seperti firman Allah swt.: "Andaikata kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini (QS. al-Mukminun, 23:71). Di kalangan sufi terkenal ungkapan: "musuh manusia paling berbahaya adalah nafsunya sendiri". Ketika usai perang Badar yang sangat dahsyat itu, Nabi saw. berkata kepada para sahabat: "kita baru saja selesai dengan perang kecil menuju perang lebih besar", para sahabat terperanjat dan bertanya perang apakah gerangan lebih dahsyat dari ini, Nabi menjawab perang melawan hawa nafsu".

Anehnya, sekalipun telah dianugerahi fitrah yang hanif, manusia tetap merupakan makhluk lemah. Kelemahan manusia, antara lain terletak pada dua sifat: kekikiran (al-qatr) dan kepicikan atau sempit pikiran (al-dha`f). Hampir semua dosa manusia timbul akibat dua sifat tersebut (QS. al-Ma`rij 70:19-21, an-Nisa`, 4:128, al-Hasyr, 59:9, at-Taghabun, 64:16, al-Isra`, 17:100). Karena kepicikan dan kekikirannya, manusia selalu terjebak meraih keuntungan jangka pendek, melupakan keuntungan jangka panjang yang lebih abadi. Umumnya manusia sulit menahan diri dari godaan dosa dan zulm (kegelapan) sehingga dirinya diliputi kegelapan. Makin jauh manusia terperosok ke liang dosa, makin gelaplah hatinya. Pada akhirnya hati itu akan berubah dari nurani (terang benderang) menjadi zulmani (gelap gulita). Konsekuensinya, tidak semua manusia masih punya hati nurani, mungkin yang dimiliki hanya tinggal hati zulmani. Hati yang tidak mampu lagi menyuarakan kebenaran.

Perlu diketahui, sifat tercela manusia sangat mempengaruhi pola ibadahnya. Tidak sedikit manusia yang mengharapkan setelah melakukan ibadah, misalnya setelah menunaikan puasa ia segera mendapatkan rahmat Tuhan dalam bentuk materi, seperti naik pangkat, usahanya berhasil, sekolahnya lulus dan seterusnya. Sangat keliru menilai rahmat Tuhan hanya dalam bentuk keberhasilan jangka pendek. Mungkin Tuhan pun berkata: “kalau demikian cara kalian mempertuhankan Aku, silakan cari Tuhan lain, Aku tidak sudi menjadi Tuhan kalian. Aku tidak suka didikte untuk memenuhi keinginan-keinginan jangka pendek kalian.”

Ibadah seharusnya dilakukan dengan tulus-ikhlas, tanpa pamrih apa pun, seperti do’a Rabiah al-`Adawiyah, sufi perempuan terkemuka (w. 801 H di Bagdad): “Tuhanku jika aku mnyembahMu hanya lantaran menginginkan surga-Mu, jauhkanlah surga itu dariku, sebaliknya jika aku menyembah-Mu lantaran takut kepada neraka-Mu, campakkanlah aku ke neraka-Mu, sebab aku menyembah-Mu tanpa pamrih sedikit pun”.

Demikianlah seharusnya puasa ini dijalankan. Indah sekali!!

Makna Nuzul Qur'an Bagi Perempuan

MAKNA NUZUL Al-QUR’AN BAGI PEREMPUAN

Siti Musdah Mulia

Setiap malam 17 Ramadhan umat Islam memperingati Nuzul Al-Qur’an. Umat Islam meyakini Al-Qur’an pertamakali diwahyukan kepada Rasulullah saw. pada malam itu. Tidak banyak yang tahu bahwa orang pertama meyakini kebenaran Al-Qur’an turun kepada Rasul adalah seorang perempuan. Itulah Khadijah al-Qubra, isteri Nabi yang teramat dihormatinya. Setelah itu, barulah menyusul para sahabat meyakini kebenaran Al-Qur’an.

Al-Qur`an, kitab suci umat Islam diturunkan dalam suatu lingkup masyarakat yang tidak hampa budaya. Karena itu, kitab suci ini memiliki dimensi kemanusiaan, di samping dimensi keilahian. Diyakini teks-teks Al-Qur`an sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan ideal. Namun, ketika teks-teks itu bersentuhan dengan budaya manusia, muncul distorsi akibat pengaruh budaya, baik disengaja maupun tidak. Akibatnya, interpretasi manusia terhadap teks-teks tersebut sangat beragam dan cenderung menyalahi nilai-nilai Qur’ani yang ideal dan luhur.

Perempuan adalah kelompok paling diuntungkan dengan turunnya Al-Qur’an. Mengapa ? Di bawah tuntunan Al-Qur`an, Muhammad, Rasulullah saw. melakukan perubahan radikal terhadap posisi dan status perempuan dalam masyarakat Arab jahiliyah. Rasul mengajarkan keharusan merayakan kelahiran bayi perempuan di tengah tradisi Arab yang memandang aib kelahiran bayi perempuan. Rasul menetapkan hak waris bagi perempuan di saat masyarakat memposisikan mereka hanya sebagai obyek atau bagian dari komoditas yang diwariskan. Rasul menetapkan kepemilikan mahar sebagai hak penuh perempuan dalam perkawinan pada saat masyarakat memandangnya sebagai hak monopoli orang tua atau wali. Rasul melakukan koreksi total terhadap praktek poligami yang biadab dan sudah mentradisi dengan mencontohkan perkawinan monogami bersama Khadijah, isteri tercinta. Bahkan, sebagai ayah, Rasul melarang puterinya, Fatimah dipoligami. Rasul mengangkat Ummu Waraqah menjadi imam shalat, pada saat masyarakat hanya mengenal laki-laki sebagai pemuka agama. Rasul mempromosikan posisi ibu yang sangat tinggi, bahkan derajatnya lebih tinggi tiga kali dari ayah pada saat masyarakat memandang ibu tak ubahnya mesin produksi. Rasul menempatkan isteri sebagai mitra sejajar suami di saat masyarakat memandangnya sebagai pelayan dan obyek seksual belaka.

Al-Qur`an menuntun Rasul mengubah posisi dan status perempuan secara revolusioner. Mengubah posisi dan status perempuan dari obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek yang dihormati dan diindahkan. Mengubah posisi perempuan yang subordinat, marjinal dan inferior menjadi setara dan sederajat dengan laki-laki. Rasul memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Keduanya sama-sama makhluk, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh (pengelola kehidupan di bumi), dan juga sama-sama berpotensi menjadi fasad fi al-ardh (perusak di muka bumi). Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada perbedaan sedikit pun. Tidak ada yang membedakan di antara manusia kecuali prestasi takwanya (Q.S, al-Hujurat, 49:13) dan soal takwa, cuma Allah semata berhak menilai, bukan manusia. Kewajiban manusia hanyalah ber-fastabiqul khairat (berkompetisi melakukan yang terbaik) demi mengharapkan ridha Allah swt.

Dalam momentum memperingati Nuzul Al-Qur’an tahun ini, perempuan Islam hendaknya melakukan introspeksi diri: Apakah nilai-nilai Qur’ani yang begitu ideal dan luhur telah dihayati dan diamalkan secara optimal dan sungguh-sungguh dalam kehidupan nyata sehari-hari? Apakah ajaran Al-Qur’an soal relasi gender sudah diimplementasikan dengan baik dalam masyarakat? Perempuan harus bangkit dan berani mengubah semua nilai-nilai budaya dan interpretasi agama yang tidak sesuai dengan prinsip dasar Al-Qur`an yang begitu memanusiakan perempuan. Seiring dengan itu, melalui puasa Ramadhan, perempuan pun secara internal harus mampu mengubah semua dimensi buruk dan tercela dalam diri masing-masing, untuk selanjutnya berkompetisi menuju kualitas muttaqin. Semoga setelah ini tingkat kualitas takwa kita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Amin!!!

Puasa dan Kepedulian Sosial

PUASA DAN KEPEDULIAN SOSIAL

Siti Musdah Mulia

Puasa sebagaimana ibadah lain dalam Islam memiliki dua dimensi, hablun min Allah (hubungan vertikal dengan Allah swt.) dan hablun min an-nas (hubungan horisontal antar-manusia). Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan (imanan wa ihtisaban), maka secara tidak langsung dalam pengabdiannya kepada Allah itu juga akan termanifestasi pengabdiannya kepada kemanusiaan. Dimensi sosial dari puasa itu, antara lain terlihat bahwa jika seseorang karena suatu halangan tertentu tidak berpuasa, maka baginya diwajibkan memberi makan sejumlah fakir-miskin. Dengan demikian makna sosial dari puasa itu adalah menumbuhkan solidaritas sosial atau kepedulian sosial kepada kelompok yang susah dan lapar. Dengan demikian, ibadah puasa diharapkan dapat menumbuhkan dalam diri seseorang keinginan untuk selalu mengorbankan atau mendermakan sebagian harta demi membantu fakir-miskin kapan saja, bukan hanya pada bulan Ramadhan.

Ibadah puasa mengandung sejumlah hikmah, di antaranya: Pertama, puasa menggugah rasa syukur manusia. Puasa hendaknya dilakukan sebagai ungkapan syukur manusia kepada Sang Pencipta atas berbagai nikmat yang telah diberikan (Q.S. al-Baqarah, 2:183). Kedua, puasa melatih diri mengendalikan nafsu syahwat, baik syahwat perut maupun syahwat seksual. Dalam keadaan lapar, kekuatan nafsu, termasuk di dalamnya nafsu birahi dapat dieliminir dan ditekan sedemikian rupa. Dalam kaitan inilah Nabi saw. bersabda: "Barangsiapa telah merasa sanggup berumah tangga, hendaklah ia menikah. Sesungguhnya menikah itu lebih melindungi penglihatan dan lebih memelihara kehormatan. Akan tetapi, jika seseorang belum mampu menikah, hendaknya berpuasa karena puasa itu dapat mengurangi nafsu birahi (HR. Bukhari dari Abdullah ra.). Ketiga, puasa menahan diri dari melakukan berbagai kejahatan dan maksiat. Sebab, maksiat muncul akibat nafsu tidak terkontrol. Keempat, puasa menyehatkan diri, karena pekerjaan perut tidak terlalu berat sebagaimana pada hari-hari biasa. Dalam kaitan ini, sangat relevan sabda Nabi saw.: "Berpuasalah agar kamu sehat" (HR. Abu Daud). Karena itu, dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, di mana banyak orang menderita penyakit jantung, kelebihan kolesterol, obesitas dan sebagainya, puasa dapat menjadi salah satu alternatif penyembuhan. Kelima, puasa melatih kejujuran, kesabaran, dan kedisiplinan serta memperkuat tekad untuk selalu melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Keenam, membangun rasa solidaritas dan kepedulian sosial. Dengan puasa, seseorang diajak merasakan kelaparan, kesusahan dan penderitaan kelompok fakir miskin di sekitarnya. Selanjutnya diharapkan agar timbul solidaritas sosial memikirkan nasib dan membantu meringankan penderitaan mereka. Puasa dapat menjadi media yang menjembatani antara kaya dan miskin, kesenjangan kelompok elit dan marginal dapat dipersempit sehingga memungkinkan terjalin hubungan kasih sayang di antara sesama manusia. Puasa mendorong adanya distribusi kekayaan secara adil. Itulah kebijakan pertama Rasul dalam mewujudkan reformasi sosial.

Di periode akhir Ramadhan ini, umat Islam diingatkan agar lebih menghayati puasa sebagai alat mewujudkan solidaritas dan kepedulian sosial. Sejumlah ayat Al-Qur’an mengecam betapa bahayanya sikap ketidakpedulian sosial. Sebaliknya, menyanjung betapa indahnya sikap kesalehan sosial dan kepedulian sosial. Sejumlah surah dalam Al-Qur’an, seperti al-Ma’un, al-Humazah, al-Takasur, dan al-Balad. sengaja diturunkan untuk mengapresiasi sikap kepedulian sosial. Intinya, mengecam manusia yang kikir dan enggan membantu sesamanya; mengutuk manusia yang asyik menumpuk harta, berlomba dalam kemewahan dan kekayaan.

Al-Qur’an menjelaskan secara tegas misi utama Rasul adalah membawa rahmat bagi seluruh manusia (Q.S, 21:107) atau dengan ungkapan lain, membantu manusia mewujudkan tata kehidupan yang dipenuhi oleh nilai-nilai kepedulian dan kasih sayang. Bentuk kepedulian dan kasih sayang kepada sesama dapat diwujudkan dengan mendistribusikan harta demi kepentingan sosial. Akan tetapi, cara berbagi harta tidak perlu dengan mengeksploitasi kemiskinan orang-orang yang selama ini sudah menderita akibat kemiskinan itu sendiri. Karena itu, tragedi tewasnya sejumlah orang dalam acara pembagian zakat di Pasuruan sungguh-sungguh mencerminkan sikap ketidakmatangan beragama dan kedangkalan rasa kepedulian sosial, serta kemiskinan apresiasi terhadap sesama manusia. Model dan cara distribusi harta seperti itu bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Alih-alih pembagian harta membuat orang lain menjadi senang dan gembira, malah sebaliknya membuat orang lain berduka dan menderita.

Walaupun Islam menganjurkan manusia untuk selalu berbagi sebagai perwujudan rasa kasih sayang dan kepedulian kepada sesama, namun diingatkan agar tidak timbul sikap riya’ (suka pamer) dan sum’ah (suka dipuji) pada pelakunya. Setiap ibadah yang dilakukan manusia harus diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah semata, bukan untuk mendapatkan sanjungan, pujian, promosi dan kedudukan mulia di mata manusia.

Sebagai penutup, ada baiknya didengar ucapan Ali bin Abi Thalib berikut: Orang riya’ dan sum’ah mempunyai beberapa ciri, yaitu malas beribadah kalau tidak ada yang menyaksikan; sebaliknya sangat giat bahkan cenderung over acting kalau ada yang menyaksikan, apalagi jika diekspose lewat kamera TV; amalnya bertambah kalau banyak mendapat pujian dan sanjungan, tetapi amalnya akan berkurang kalau sepi pujian. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah diingatkan bahwa semua amal kebaikan seorang Muslim yang dimotivasi oleh riya’ dan sum’ah akan dijadikan bagai debu berhamburan tidak berharga. Semoga puasa tahun ini sungguh-sungguh menjadikan kita memiliki kepedulian sosial yang tinggi kepada sesama, tanpa harus dicemari oleh sikap riya’ dan sum’ah. Amin.

Puasa dan Hak Kesehatan Reproduksi

PUASA DAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN

Siti Musdah Mulia[1]

Puasa dan Perempuan

Al-Qur’an menginformasikan bahwa selain puasa Ramadhan, ada bentuk puasa lain, yaitu puasa bicara. Uniknya, puasa bicara ini hanya ditujukan kepada seorang perempuan bernama Maryam. Dia bukan perempuan biasa, melainkan perempuan tegar dan perkasa. Ibu dari seorang nabi agung, Isa alaihissalam. Bukan hanya itu, Al-Qur’an mengabadikan namanya dalam satu surah bernama Surah Maryam, dan dalam surah itu dia juga dilukiskan sebagai manusia suci. Tatkala dia difitnah karena melahirkan anak tanpa ayah, Allah menyuruh dia puasa. (Q.S. Maryam, 19:26). Bagi orang yang pernah mencoba ibadah unik ini mengatakan bahwa puasa bicara jauh lebih sulit ketimbang puasa biasa. Menahan diri dari berbicara ternyata jauh lebih berat dari menahan makan dan minum.

Puasa Maryam dalam bentuk menahan diri tidak berbicara sepatah kata pun. Maryam dilarang menjelaskan apa pun, dan Allah swt. kemudian memberi mukjizat pada Isa a.s. yang masih bayi untuk menjelaskan sendiri identitasnya. Dia mengatakan: ”sesungguhnya aku adalah utusan Tuhan, nabi pembawa kabar gaembira”. Kelahirannya berbeda dengan manusia biasa, yakni tidak membutuhkan kehadiran laki-laki (Q.S. Maryam, 19:23-36).

Ayat-ayat tentang Maryam seharusnya memberi inspirasi bagi pengakuan terhadap keunggulan kemanusiaan perempuan, sekaligus kemuliaan seorang ibu. Perempuan ternyata dapat menjadi ibu tanpa bantuan laki-laki. Sebaliknya, dalam sejarah kemanusiaan belum dijumpai satu pun laki-laki dapat menjadi ayah atau punya anak tanpa bantuan perempuan (mungkin nanti dengan teknik kloning?). Bahkan, kenyataan ini seharusnya menyadarkan manusia tentang pentingnya organ reproduksi perempuan, terutama organ rahim. Bukankah istilah silaturrahim, salah satu ajaran inti dalam Islam, berasal dari akar kata rahim? Itu artinya betapa penting hubungan kasih sayang di antara manusia, kasih sayang yang dipertautkan oleh rahim ibu.

Namun, realitas sosiologis di masyarakat menunjukkan bahwa hak-hak perempuan berkaitan dengan fungsi rahim atau populer dengan istilah hak dan kesehatan reproduksi masih kurang mendapatkan apresiasi yang layak. Buktinya? Lihat data nasional tentang angka kematian ibu melahirkan (AKI) yang sungguh memprihatinkan. Ironisnya, itu terdapat di negeri yang penduduknya diklaim sangat religius. Indonesia menduduki ranking terburuk di ASEAN untuk kematian ibu melahirkan. Secara nasional tercatat sebanyak 324 per 100.000 kelahiran hidup. Artinya, setiap 30 menit, ibu meninggal. Setahun tercatat rata-rata 15.000 ibu meninggal karena melahirkan. Jika dibandingkan dengan bencana Tsunami di Aceh, sesunggguhnya kondisi ini merupakan bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat. Hanya karena para ibu yang meninggal itu tidak bersamaan waktu dan lokasinya sehingga jenazah mereka tidak terkapar berjejeran seperti korban Aceh. Tidak menyentak media pers, dan lalu kita semua abai dengan bencana ini. Pertanyaan muncul, mengapa Angka Kematian Ibu begitu tinggi di negeri yang mayoritas penduduknya mengaku Islam? Bukankan Islam adalah agama yang paling vokal bicara tentang pentingnya pemuliaan terhadap kaum ibu? Sorga terletak di telapak kaki ibu, demikian ajaran yang selalu didengungkan.

Sejumlah penelitian mengungkapkan faktor penyebab AKI adalah ketidakpedulian pemerintah terhadap pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan; hukum dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kelompok rentan, kemiskinan; kebodohan; kekerasan dalam rumah tangga akibat relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga; serta masih kuatnya interpretasi agama yang bias jender dan tidak ramah perempuan.

Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan

Hak reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Al-Ghazali, ulama besar abad ke-12, menulis dalam bukunya ihya` `Ulumuddin: di antara kewajiban negara memberikan jaminan bagi terpenuhinya lima hak dasar manusia, yaitu: hak hidup; hak kebebasan berkeyakinan; hak kebebasan beropini; hak properti; dan hak reproduksi. Menarik dicatat bahwa perbincangan tentang hak-hak reproduksi di tingkat internasional pertama kali digelar di Kairo tahun 1994. Salah satu alasan mengapa konferensi diadakan di Kairo adalah meluasnya kecenderungan di negara-negara Islam terhadap pengingkaran hak-hak reproduksi perempuan.

Dokumen Kairo menyatakan: “Hak dan kesehatan reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara. Hak-hak reproduksi berlandaskan pada pengakuan terhadap hak asasi tiap pasangan dan individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anak; hak memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi; serta hak menikmati kesehatan reproduksi yang optimal. Suami-isteri secara setara berhak mengambil keputusan tentang reproduksinya yang bebas dari segala bentuk diskriminasi, pemaksaan atau kekerasan. Perhatian penuh harus diberikan demi meningkatkan sikap saling menghormati secara setara dalam relasi laki dan perempuan, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelayanan untuk remaja sehingga mereka mampu mengatasi masalah seksual secara positif dan bertanggung jawab”. Setiap perempuan mempunyai hak terbebas dari resiko kematian karena kehamilan dan melahirkan. Termasuk juga hak memilih bentuk keluarga, dan hak merencanakan keluarga. Mencakup pula hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan, termasuk hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, harga diri, kenyamanan, dan kesinambungan pelayanan kesehatan, serta hak atas kesetaraan, dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan keluarga.

Puasa sebagai bentuk mekanisme pengendalian diri, termasuk pengendalian terhadap organ-organ reproduksi, seharusnya mampu membuat pelakunya peduli dan berempati terhadap bencana kemanusiaan berkaitan dengan AKI yang sangat tinggi. Puasa hendaknya membuat umat Islam semakin sensitif pada problem-problem kemanusiaan yang nyata dalam masyarakat. Puasa hendaknya menjadi mekanisme pengendalian diri yang efektif bagi kedua pasangan, suami-isteri untuk memastikan tidak ada lagi diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dalam kehidupan keluarga. Melalui ibadah puasa, kita berharap para pengambil kebijakan segera mengeluarkan aturan-aturan yang memihak kepada pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Puasa hendaknya sungguh-sungguh membuat kita semua menjadi hamba yang bertakwa (QS. al-Baqarah, 2:183). Hamba yang bertakwa adalah manusia yang peduli dan berempati pada penderitaan sesama, khususnya derita para ibu; dan ikut aktif mencari solusi terhadap problem kemanusiaan di sekitarnya. Selamat berpuasa!



[1] Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

RAHASIA PUASA

RAHASIA PUASA

Siti Musdah Mulia[1]

Al-Qur’an menegaskan bahwa kewajiban menjalankan ibadah puasa hanya ditujukan kepada orang-orang beriman: perempuan dan laki-laki. Tujuannya jelas, agar mereka menjadi muttaqin (manusia yang bertakwa sepenuhnya kepada Tuhan) (QS. al-Baqarah, 2:183). Tidak heran, kalau hanya sedikit manusia yang mampu menjalankan ibadah puasa dengan benar. Sebab, kewajiban berpuasa ternyata bukan untuk semua manusia, melainkan terbatas pada manusia pilihan.

Puasa itu bertingkat-tingkat. Tingkat pertama disebut puasa umum, yaitu menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual. Tingkat kedua dinamakan puasa khusus, yaitu di samping menahan diri dari tiga hal yang disebutkan terdahulu, juga menahan seluruh anggota tubuh lainnya, seperti mulut, telinga, mata, kaki dan tangan dari perilaku yang berpotensi mendatangkan dosa. Tingkat ketiga, sering disebut sebagai puasa paling khusus. Puasa jenis ini bukan hanya menahan tubuh jasmaniah, melainkan juga aspek batiniah, seperti pikiran, perasaan, dan angan-angan dari semua hal yang berpotensi membawa kepada dosa dan maksiat. Puasa seperti inilah yang dapat menenangkan hati pelakunya dari berbagai godaan, hasrat dan keinginan. Puasa yang mendorong pelakunya untuk menghormati sesama manusia dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Seyogyanya, semakin bertambah usia manusia semakin tinggi pula tingkat amalan puasanya. Manusia terbaik tidak lagi berkutat pada jenis puasa umum, yakni sebatas menjaga diri dari makan, minum dan seks.

Nabi saw. tidak henti-hentinya mengingatkan para pengikutnya agar berpuasa dengan penuh keimanan sehingga puasa itu dapat mengubah kualitas diri ke arah lebih positif, menjadi orang bertakwa. Akan tetapi, dalam realitas sehari-hari dijumpai tidak sedikit manusia berpuasa, namun sikap dan perilakunya tidak berubah secara signifikan. Dalam konteks inilah Nabi saw. menjelaskan bahwa tidak semua pelaku puasa mendapatkan hidayah dan rahmat ilahi. Justru sebagian besar mereka hanya merasakan lapar dan dahaga (HR. An-Nasaiy dan Ibn Majah dari Abu Hurairah).

Peringatan Nabi itu agaknya penting direnungkan secara serius. Sebab, dalam realitas sehari-hari banyak orang mengaku berpuasa, tetapi sebetulnya mereka tidak sungguh-sungguh berpuasa, melainkan hanya mengundur jam makan. Bahkan, jumlah dan kualitas makanan atau minuman yang disiapkan ketika berpuasa lebih banyak dan lebih bervariasi. Buktinya, kebutuhan finansial dan anggaran belanja keluarga selalu meningkat pada bulan Ramadhan dibandingkan bulan lainnya.

Akibatnya, terlihat kasat mata. Aktivitas puasa tidak mampu mencegah para penguasa dan pengusaha melakukan korupsi dan menindas rakyat kacil. Puasa tidak mampu mencegah suami melakukan kekerasan terhadap isteri. Puasa tidak mencegah para Pimpinan Proyek menggelembungkan dana pembangunan. Puasa tidak mencegah para hakim dan jaksa menerima suap. Puasa tidak mencegah para calo memperdagangkan (traficking) perempuan dan anak-anak. Puasa tidak mencegah para pemilik PJTKI memperbudak sesamanya manusia. Puasa tidak mencegah para pengusaha Lapindo mengeksploitasi para korban lumpur. Puasa tidak mencegah anggota dewan melahirkan peraturan yang diskriminatif. Puasa tidak mencegah para tengkulak memanipulasi harga-harga kebutuhan pokok. Bahkan, aktivitas puasa tidak mampu mencegah pemuka agama mendominasi dan mengeksploitasi jamaahnya.

Pertanyaan muncul, lalu untuk apa puasa itu dilakukan? Sejatinya semua ibadah yang dilakukan manusia harus mendatangkan efek positif bagi sesama. Kalau ibadah tidak mendatangkan manfaat bagi sesama manusia untuk apa? Tuhan tidak membutuhkan ibadah manusia karena Dia Maha Sempurna dan Maha Segalanya. Ibadah sepenuhnya harus bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Sebaiknya mari waspada: Jangan-jangan kita memang belum puasa dalam arti sesungguhnya. Puasa yang secara bertahap membebaskan manusia dari belenggu ketamakan, keserakahan, kepicikan, kesombongan, kebencian dan kemunafikan.

Puasa adalah amanah, hendaknya setiap manusia menunaikan amanahnya masing-masing dengan sebaik-baiknya (HR. Ibnu Mas’ud dalam Makarim Akhlaq)). Tujuan utama puasa Ramadhan adalah menjadikan manusia bukan hanya beriman, melainkan juga bertakwa kepada Allah swt. (QS. al-Baqarah, 2:183). Salah satu indikasi nyata dari keimanan dan ketakwaan seseorang adalah mampu melaksanakan amanah. Arti amanah mencakup segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, baik menyangkut hak diri sendiri, hak orang lain, maupun hak Allah swt. Dengan demikian, puasa dan amanah bagaikan dua sisi mata uang. Puasa dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa, sedangkan amanah merupakan salah satu indikasi yang paling nyata dari keimanan dan ketakwaan. Bahkan, hadis Nabi saw. menegaskan: la imaana liman la amaanata lah (tidaklah beriman seseorang yang tidak melaksanakan amanah). (HR. Ahmad III, 135 dan 210).

Islam adalah agama paling vokal bicara tentang pentingnya amanah. Mengapa? Sebab, pelaksanaan amanah amat menentukan kualitas iman dan takwa seseorang. Itulah sebabnya, Nabi saw. berulang kali bersabda: “Tunaikanlah amanah, dan jangan pernah kamu mengkhianati amanah yang dititipkan kepadamu.” (HR Abu Dawud dan Tirmizi). Karena itu, jangan pernah meremehkan amanah. Sekecil apa pun amanah itu.

Amanah merupakan isu penting dalam Al-Qur’an. Kitab suci ini menyebut kata amanah setidaknya dalam lima makna. Pertama, kata amanah disinggung dalam kaitan dengan isu kesaksian (QS, 2:283). Amanah dalam konteks ayat tersebut bermakna keharusan memberikan kesaksian yang benar dan larangan menyembunyikan kebenaran, mekipun resikonya sangat berat. Kedua, disebutkan dalam isu keadilan (QS, 4:58). Amanah berarti kewajiban menetapkan hukum secara adil, tidak ada diskriminasi, juga tanpa eksploitasi. Ketiga, digunakan dalam kaitan larangan berkhianat (QS, 8:27). Amanah berarti larangan berlaku khianat. Setiap Muslim dan Muslimat diharamkan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta menghianati amanah yang dipercayakan kepadanya. Keempat, disebutkan dalam konteks sifat manusia terpuji (QS, 70:32). Amanah adalah satu di antara sifat terpuji yang harus dimiliki manusia yang beriman dan bertakwa, yakni sifat manusia yang tidak berkeluh kesah bila mengalami kesulitan hidup, sebaliknya tidak arogan bila mendapatkan kesenangan. Jadi manusia yang amanah adalah manusia yang memiliki integritas kepribadian yang stabil dan mantap, tidak mudah berubah-ubah meski godaan datang silih berganti. Kelima, disebutkan dalam kaitan penciptaan manusia (QS, 33:72). Amanah berarti kemampuan memikul tanggung jawab. Ketika Allah swt. menawarkan amanah untuk mengelola kehidupan dunia kepada langit, bumi, gunung-gunung tak satupun sanggup mengembannya, kecuali manusia. Ternyata, hanya manusia berani menyatakan kesanggupannya.

Menarik dicermati bahwa dalam kaitan dengan pelaksanaan amanah, sejak dini Allah swt. menvonis manusia dengan tudingan negatif sebagai makhluk yang amat zalim dan amat bodoh (QS, 33:72). Mengapa? Karena dalam realitas sosiologis di masyarakat, sebagian besar manusia telah secara vulgar dan terang-terangan, tanpa rasa malu sedikitpun, mempertontonkan perilaku yang amat zalim, amat serakah dan amat bodoh. Buktinya, sangat kasat mata. Sebagai contoh, sudah umum diketahui bahwa tugas sebagai pejabat publik di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif sangat tidak gampang, penuh godaan, penuh fitnah, dan penuh intrik. Walaupun begitu, tetap saja tidak menyurutkan keinginan banyak manusia mengejar jabatan tersebut. Bahkan, orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dan kompetensi diri untuk jabatan itupun sangat bersemangat meraihnya. Kalau perlu, dengan jalan pintas, seperti money politic.

Puasa Ramadhan hakikatnya merupakan media pelatihan diri yang efektif, terutama. melatih diri agar terhindar dari semua perilaku negatif, seperti khianat, meremehkan amanah, tidak jujur, suka berdusta, dan gemar berjanji palsu. Sebaliknya, puasa melatih diri terbiasa berperilaku positif, seperti menolong dan menghormati hak orang lain, terutama kelompok rentan dan minoritas, memenuhi janji, berkata jujur, rendah hati dan rela berkurban demi kepentingan orang banyak. Melalui ibadah puasa, diharapkan dapat meningkatkan kualitas ketakwaan individu, yang pada gilirannya mampu mengemban amanah secara lebih profesional. Itulah ciri mukminat dan mukmin sejati. Wallahu a’lam bi as-shawab.



[1] Ketua Umum Indonesian Conference on Religion for Peace (ICRP).

Puasa Membangun Sikap Pluralisme

PUASA MEMBANGUN SIKAP PLURALISME

Siti Musdah Mulia

Salah satu hikmah puasa adalah membuat pelakunya mampu mengontrol emosi dalam beragama dan selanjutnya membangun toleransi demi terciptanya kedamaian dan keharmonisan dalam masyarakat. Toleransi pada intinya adalah kemampuan menahan diri agar potensi konflik yang semula destruktif dapat diolah sedemikian rupa sehingga berubah menjadi sesuatu yang produktif dan konstruktif. Dalam konteks agama, toleransi hanya dapat dibangun dalam masyarakat yang menjunjung tinggi prinsip puralisme.

Pluralisme adalah kelapangan hati menerima keberagaman dan aneka perbedaan dalam masyarakat serta kerelaan merajut secara aktif keberagaman tersebut menjadi sebuah kekayaan dan keindahan sosial. Pluralisme berarti setiap pemeluk agama harus berani mengakui eksistensi dan hak agama lain dan selanjutnya bersedia aktif membangun damai di antara sesama dengan berusaha memahami perbedaan yang ada. Perlu dicatat, agar pluralisme yang dicita-citakan itu tidak menjelma menjadi sinkretisme, kosmopolitanisme, dan relativisme, maka pluralisme harus beranjak dari komitmen kuat dari setiap pemeluk agama terhadap ajaran agama masing-masing.

Pluralisme harus berlandaskan loyalitas dan komitmen kuat terhadap ajaran agama masing-masing, dan inilah nilai pluralisme sesungguhnya sebagaimana diajarkan Islam dalam QS. Saba, 34:24-26. Ayat-ayat tersebut secara tegas menggariskan tiga hal. Pertama, tiada Tuhan kecuali Allah swt, Dia Maha Pemberi dan Maha menghakimi siapa yang salah dan benar, bukan manusia. Kedua, setiap orang menanggung akibat perbuatan masing-masing. Setiap orang hanya akan memilkul beban dosa masing-masing, jadi tidak usah khawatir atau memikirkan dosa orang lain. Ketiga, keputusan tentang mana kelompok yang benar dan mana yang salah akan diumumkan pada waktunya nanti, yaitu pada hari kemudian, bukan sekarang. Tugas manusia di dunia hanyalah fastabiqul khairat yakni berkompetisi berbuat kebaikan. Karena itu, sikap saling menghormati dan saling mengapresiasi di antara penganut agama merupakan kunci kebaikan.

Prinsip-prinsip pluralisme dalam Islam sangat melimpah, antara lain dalam QS. al-Baqarah, 2: 62; al-Maidah: 69; dan al-Hajj:17 menetapkan bahwa pahala dan keselamatan pada hari akhirat akan dicapai oleh semua kelompok agama yang beriman kepada Allah dan hari akhir serta beramal shaleh; al-Baqarah, 2: 256 menyatakan tidak ada paksaan dalam beragama; Yunus, 99 mengingatkan larangan memaksa penganut agama lain memeluk Islam; Ali Imran, 64 menghimbau kepada ahli kitab untuk mencari titik temu dan mencapai “kalimatun sawa”; dan al-Mumtahanah, 8-9 berisi anjuran berbuat baik, berlaku adil, dan menolong orang-orang non-muslim sepanjang mereka tidak memusuhi dan mengusir umat Islam.

Nilai-nilai pluralisme hanya dapat terjaga secara optimal manakala dipupuk melalui aktivitas dialog yang produktif, baik di kalangan internal umat seagama, maupun di antara umat berbeda agama. Melalui dialog, khususnya dalam bentuk dialog kehidupan, diharapkan lahir mutual understanding (saling memahami) yang pada gilirannya diharapkan mereka akan mencari titik persamaan untuk dijadikan landasan pijak bersama. Untuk itu, perlu ada semacam gentleman agreement bahwa di antara peserta dialog tidak akan saling mengintervensi atau saling mempengaruhi keyakinan masing-masing.

Dialog agama merupakan solusi tepat bagi timbulnya klaim-klaim kebenaran dari penganut agama di masyarakat. Agama seharusnya dipahami sebagai fenomena sosial-budaya karena agama ditemukan pada semua bentuk masyarakat, dari sangat primitif sampai sangat modern. Dialog antar-agama tidaklah dimaksudkan mencari siapa benar dan siapa salah. Dialog lebih kepada mengajarkan para penganut agama mampu menghargai pendapat yang beragam, bahkan berbeda satu sama lain. Dialog melatih penganut agama mampu melakukan kompromi dan konsensus dalam merespon berbagai persoalan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang riil di wilayah masing-masing, seperti persoalan kemiskinan, kelaparan, pengangguran, kekurangan air bersih, mahalnya pendidikan dan kesehatan. Dialog membawa para penganut agama menyadari dan menemukan siapa musuh agama sebenarnya. Ternyata musuh setiap agama tidak lain adalah kezaliman, ketidakadilan, keserakahan, kebodohan dan kemiskinan.

Dialog antar-agama hakikatnya mengajak umat beragama berusaha memahami yang lain, bukan untuk menilai, apalagi menghakimi yang lain. Sebab, kewenangan menilai hanya ada pada Tuhan Sang Pencipta, bukan manusia. Karena itu, dalam proses dialog, umat beragama jangan berbicara tentang orang lain, tetapi belajarlah dari orang lain.

Sikap pluralisme dalam beragama mewujud dalam sikap beragama secara tulus tanpa paksaan, meyakini secara penuh kebenaran agama yang dianutnya namun tetap dapat mengapresiasi hak beragama orang lain. Mereka yang memiliki sikap pluralisme agama dapat menerima kehadiran orang atau kelompok berbeda dengan penuh kegembiraan karena menyadari bahwa keberagaman adalah sunnatullah dan modal sosial yang sangat berharga. Mereka yang memiliki sikap pluralisme tidak mudah menyalahkan atau menghakimi orang lain sebagai kafir dan murtad. Mereka yang memiliki sikap pluralisme tidak mudah terjebak dalam intimidasi dan konflik antar agama. Sebab, mereka memiliki keyakinan yang kuat dan komitmen yang penuh pada kebenaran agama masing-masing. Kaum pluralis memandang kebenaran tidaklah tunggal, dan meyakini keselamatan bukan hanya bagi kelompoknya. Mereka adalah orang-orang yang selalu bersikap humanis, inklusif, terbuka, toleran dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi dan hak asasi manusia, serta selalu akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Semoga puasa tahun ini membawa kita pada kesadaran baru tentang pentingnya dialog agama yang dibangun di atas sikap tulus dan penuh toleransi serta menjunjung tinggi prinsip pluralisme. Hanya melalui dialog agama yang serius dan produktif, umat beragama di Indonesia dapat mengeliminasi semua bentuk kekerasan berbasis agama yang akhir-akhir ini mencederai rasa kemanusiaan dan kebangsaan kita. Wallahu a’lam bi as-shawab.

18 September 2008

Puasa dan Kedamaian

PUASA UNTUK MEMBANGUN KEDAMAIAN

Siti Musdah Mulia

Puasa hakikinya adalah sebuah mekanisme kontrol seseorang terhadap ucapan, perilaku dan bahkan pikirannya. Semua itu dilakukan semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah swt demi terwujudnya kedamaian sejati dalam hidup manusia, di dunia dan di akhirat nanti. Puasa tidak hanya batal karena hal-hal yang sifatnya fisik, seperti makan, minum dan hubungan seksual, melainkan juga bisa batal karena berkata bohong, menghujat, memfitnah, dan mengeksploitasi hak orang lain, serta mengumbar syahwat. Sebuah hadis Nabi menyatakan: “Sesungguhnya puasa adalah tabir penghalang dari perbuatan dosa. Maka jika seseorang berpuasa hendaknya tidak berkata keji dan berbuat semena-mena. Bahkan, jika ada orang menantangnya berkelahi dan mencercanya, dia cukup menjawab: saya sedang puasa, saya sedang puasa.” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).

Dalam konteks hadis itu, mengalah bukan hal negatif. Kadang-kadang mengalah justru merupakan jalan kemenangan yang tidak terduga. Islam adalah agama yang paling depan bicara tentang pentingnya kedamaian, dan buruknya perilaku kekerasan apa pun alasannya. Kedamaian adalah nilai paling esensial dalam ajaran Islam. Ironisnya nilai ini tidak banyak disosialisasikan, apalagi diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. Lalu yang menonjol dari kaum Muslim bukan sisi yang sejuk menentramkan, melainkan sisi sebaliknya, penuh rona kemarahan dan kebencian. Sangat ironis!! Sebab, sesungguhnya ajaran Islam sarat dengan pesan-pesan moral untuk kedamaian.

Esensi kedamaian dalam Islam berakar dari nama agama ini sendiri. Nama Islam terambil dari akar kata salam artinya ”damai”. Bahkan, salah satu sifat Allah adalah as-Salam. Disebut demikian karena Dia Maha pembawa damai dan selalu menginginkan hamba-Nya berbuat kedamaian.

Damai adalah sifat utama dari “masyarakat beradab.” Dalam bentuknya yang paling murni, kedamaian adalah keheningan batin yang dipenuhi dengan kekuatan dan kebenaran. Kedamaian terdiri dari buah pikiran yang suci, perasaan yang suci, dan keinginan yang suci. Manakala ketiga unsur tersebut memiliki kekuatan seimbang, mantap dan konsisten, maka manusia berada dalam keadaan damai dengan dirinya, damai dengan sesama, dan bahkan damai dengan makhluk lain di alam semesta. Perlu diingat bahwa nilai-nilai kedamaian hanya dapat ditumbuhkan dalam diri manusia jika ia yakin bahwa manusia itu pada dasarnya baik, hanya faktor-faktor eksternal yang menyebabkan manusia dapat berubah menjadi jahat.

Kedamaian adalah enerji yang memancar terus-menerus dari sumber yang abadi, itulah Allah, as-Salam, Tuhan Yang Maha Damai. Dia adalah sumber kekuatan yang secara alami mengembalikan segala sesuatu, termasuk manusia pada tempatnya yang seimbang. Karena itu, dalam salah satu hadis Nabi, umat Islam diajarkan berdoa dengan menggunakan nama-Nya, as-Salam, sang sumber kedamaian untuk memohon damai bagi diri sendiri. Perbanyaklah doa dan ikhtiar membangun damai menuju terciptanya masyarakat beradab. Saya yakin, salah satu media untuk membangun kedamaian dalam kehidupan masyarakat adalah melalui ibadah puasa Ramadhan ini. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Membaca Al-Qur'an Secara Kritis dan Rasional

MEMBACA Al-QUR’AN SECARA KRITIS DAN RASIONAL

Siti Musdah Mulia

Tak terasa puasa telah memasuki hari ke 17. Artinya, perjuangan umat Islam dalam berjihad melawan nafsu dan ego telah melampaui garis tengah perjalanan Ramadhan. Tanggal 17 Ramadhan dalam sejarah Islam diukir sebagai malam pertama turunnya ayat Al-Qur’an. Sangat unik, kitab suci Al-Qur’an dimulai dengan perintah membaca, iqra’ bismi rabbikallazi khalaq (bacalah dengan menyebut nama Tuhan-Mu yang telah menciptakan). Pertanyaan kritis muncul, mengapa tidak dimulai dengan perintah menyembah Tuhan? Bukankah ini adalah kitab suci dari Tuhan ?

Sejumlah analisis mufassir mengungkapkan bahwa hal itu dimaksudkan agar umat Islam dalam menjalankan agama selalu didasarkan pada pikiran kritis dan rasional. Sebab, Islam adalah agama yang vokal bicara tentang bahayanya taqlid buta (mengamalkan suatu ajaran tanpa mengerti makna dan hakikatnya) ; Islam juga paling depan bicara tentang buruknya bid’ah, takhayul dan khurafat. Itulah mengapa banyak ayat Al-Qur’an ditutup dengan ungkapan apala ta’qilun, apala tatadabbarun dan ungkapan lain yang semakna, intinya mengingatkan manusia agar selalu kritis dan menggunakan akal sehat dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali dalam aspek keagamaan.

Al-Qur`an dengan redaksi beragam mengajak manusia berpikir kritis dan bersikap rasional dalam merespon segala hal, kecuali hal yang berkaitan dengan Zat Allah. Pengetahuan tentang zat Allah mustahil dijangkau oleh pikiran. Manusia cukup memikirkan makhluk Allah, baik di langit, di bumi, maupun diri manusia sendiri (QS. ar-Rum, 10:42; Ali Imran, 190-191; ad-Dukhan, 38-39 dan ar-Rad, 3). Mereka yang berpikir kritis dan kreatif menggunakan nalar sehatnya mendapat kedudukan istimewa, dan Al-Qur`an mengapresiasi mereka dengan sejumlah pujian, seperti: ulul-absar, ulul-albab, ulun-nuha, dan ulul-`ilm. Semua ungkapan itu mengandung makna: manusia arif dan bijaksana.

Lalu, apa yang harus dibaca ? Sejumlah ayat mengarahkan agar bacaan umat Islam bukan hanya terbatas pada ayat-ayat qauliyyah dalam bentuk aktivitas tadarusan yang menjadi marak hanya di bulan Ramadhan. Akan tetapi, sangat dihimbau agar membaca ayat-ayat kauniyah (fenomena alam). Mengapa ini penting ? Sebab, salah satu faktor penyebab kemunduran peradaban Islam adalah karena umat Islam meninggalkan tradisi riset dan pengkajian terhadap ilmu-ilmu alam sebagaimana dikembangkan para ilmuwan Muslim abad ke-9 sampai akhir abad ke-12. Sejak saat itu, umat Islam umumnya terbelenggu dalam bid’ah dan khurafat, serta terpasung dalam tradisi taqlid buta. Menjadi semakin parah karena umat Islam lalu memahami ajaran Al-Qur’an sebatas aturan legal-formal, bukan lagi sebagai kitab suci yang menginspirasikan upaya-upaya propetik demi membebaskan manusia dari kebodohan dan ketidakadilan, seperti diajarkan Rasul.

Al-Qur`an menyebut begitu banyak kerja akal yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan, namun ada dua yang utama: Pertama, mendengarkan. Aktivitas mendengarkan terkesan mudah, tetapi tidak banyak manusia dapat melakukannya dengan baik. Karena itu, mereka yang tidak mengefektifkan akal sehatnya digolongkan sebagai orang-orang tuli (QS. Yunus, 10:42). Kedua, merenungkan secara konsepsional, setidaknya merenungkan berbagai kejadian di alam raya, termasuk fenomena gempa bumi yang akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Allah menyebut alam semesta dan seluruh fenomena alam ini sebagai tanda bagi orang-orang berakal (QS. al-Ankabut, 29:35 dan al-Rum, 30:24). Terbukti bahwa kemampuan orang Jepang membaca ayat Tsunami, membuat bangsa ini terhindar dari bencana yang menggenaskan.

Demi menjelaskan betapa tingginya posisi akal, para filosof Muslim mensejajarkan fungsi akal manusia dengan fungsi Nabi. Keduanya berfungsi memberi penerangan dan pencerahan kepada manusia agar terhindar dari kebodohan, ketidakadilan, dan kebiadaban (QS, al-Maidah, 5:15-16). Karena akalnya, manusia memiliki kedudukan sangat spesifik, yaitu sebagai khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah, 2:30). Suatu kedudukan yang teramat tinggi, bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lain, termasuk malaikat sekali pun. Tugas manusia yang berakal itu adalah menterjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta.

Mengapa harus manusia terpilih menjadi khalifah fi al-ardh? dimana letak keunggulannya? Ali Syariati menjelaskan, keunggulan manusia terletak pada akal dan pengetahuannya. Setelah menciptakan Adam, Tuhan lalu mengajarkan padanya sejumlah nama yang mengacu pada berbagai fakta ilmiah, dan inilah kemudian dianggap sebagai prototype dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan hanya dianugerahkan pada manusia, tidak pada malaikat, kendati mereka diciptakan dari cahaya, unsur yang dinilai lebih mulia daripada tanah, asal kejadian manusia. Tidak berlebihan jika disimpulkan, kemuliaan manusia terletak pada ilmu dan pengetahuan. Dengan syarat, jika keduanya sungguh-sungguh digunakan demi kemaslahatan seluruh masyarakat.

Semoga peringatan Nuzul Al-Qur`an kali ini menggugah kesadaran umat Islam sehingga menjadi umat gemar membaca ayat qauliyyah maupun qauniyah, berfikir kritis dan rasional sehingga kelak menjadi umat terdepan dalam memajukan peradaban manusia. Amin.