29 September 2008

Puasa dan Kepedulian Sosial

PUASA DAN KEPEDULIAN SOSIAL

Siti Musdah Mulia

Puasa sebagaimana ibadah lain dalam Islam memiliki dua dimensi, hablun min Allah (hubungan vertikal dengan Allah swt.) dan hablun min an-nas (hubungan horisontal antar-manusia). Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa dengan penuh keimanan dan keikhlasan (imanan wa ihtisaban), maka secara tidak langsung dalam pengabdiannya kepada Allah itu juga akan termanifestasi pengabdiannya kepada kemanusiaan. Dimensi sosial dari puasa itu, antara lain terlihat bahwa jika seseorang karena suatu halangan tertentu tidak berpuasa, maka baginya diwajibkan memberi makan sejumlah fakir-miskin. Dengan demikian makna sosial dari puasa itu adalah menumbuhkan solidaritas sosial atau kepedulian sosial kepada kelompok yang susah dan lapar. Dengan demikian, ibadah puasa diharapkan dapat menumbuhkan dalam diri seseorang keinginan untuk selalu mengorbankan atau mendermakan sebagian harta demi membantu fakir-miskin kapan saja, bukan hanya pada bulan Ramadhan.

Ibadah puasa mengandung sejumlah hikmah, di antaranya: Pertama, puasa menggugah rasa syukur manusia. Puasa hendaknya dilakukan sebagai ungkapan syukur manusia kepada Sang Pencipta atas berbagai nikmat yang telah diberikan (Q.S. al-Baqarah, 2:183). Kedua, puasa melatih diri mengendalikan nafsu syahwat, baik syahwat perut maupun syahwat seksual. Dalam keadaan lapar, kekuatan nafsu, termasuk di dalamnya nafsu birahi dapat dieliminir dan ditekan sedemikian rupa. Dalam kaitan inilah Nabi saw. bersabda: "Barangsiapa telah merasa sanggup berumah tangga, hendaklah ia menikah. Sesungguhnya menikah itu lebih melindungi penglihatan dan lebih memelihara kehormatan. Akan tetapi, jika seseorang belum mampu menikah, hendaknya berpuasa karena puasa itu dapat mengurangi nafsu birahi (HR. Bukhari dari Abdullah ra.). Ketiga, puasa menahan diri dari melakukan berbagai kejahatan dan maksiat. Sebab, maksiat muncul akibat nafsu tidak terkontrol. Keempat, puasa menyehatkan diri, karena pekerjaan perut tidak terlalu berat sebagaimana pada hari-hari biasa. Dalam kaitan ini, sangat relevan sabda Nabi saw.: "Berpuasalah agar kamu sehat" (HR. Abu Daud). Karena itu, dalam kehidupan masyarakat modern dewasa ini, di mana banyak orang menderita penyakit jantung, kelebihan kolesterol, obesitas dan sebagainya, puasa dapat menjadi salah satu alternatif penyembuhan. Kelima, puasa melatih kejujuran, kesabaran, dan kedisiplinan serta memperkuat tekad untuk selalu melakukan aktivitas yang bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Keenam, membangun rasa solidaritas dan kepedulian sosial. Dengan puasa, seseorang diajak merasakan kelaparan, kesusahan dan penderitaan kelompok fakir miskin di sekitarnya. Selanjutnya diharapkan agar timbul solidaritas sosial memikirkan nasib dan membantu meringankan penderitaan mereka. Puasa dapat menjadi media yang menjembatani antara kaya dan miskin, kesenjangan kelompok elit dan marginal dapat dipersempit sehingga memungkinkan terjalin hubungan kasih sayang di antara sesama manusia. Puasa mendorong adanya distribusi kekayaan secara adil. Itulah kebijakan pertama Rasul dalam mewujudkan reformasi sosial.

Di periode akhir Ramadhan ini, umat Islam diingatkan agar lebih menghayati puasa sebagai alat mewujudkan solidaritas dan kepedulian sosial. Sejumlah ayat Al-Qur’an mengecam betapa bahayanya sikap ketidakpedulian sosial. Sebaliknya, menyanjung betapa indahnya sikap kesalehan sosial dan kepedulian sosial. Sejumlah surah dalam Al-Qur’an, seperti al-Ma’un, al-Humazah, al-Takasur, dan al-Balad. sengaja diturunkan untuk mengapresiasi sikap kepedulian sosial. Intinya, mengecam manusia yang kikir dan enggan membantu sesamanya; mengutuk manusia yang asyik menumpuk harta, berlomba dalam kemewahan dan kekayaan.

Al-Qur’an menjelaskan secara tegas misi utama Rasul adalah membawa rahmat bagi seluruh manusia (Q.S, 21:107) atau dengan ungkapan lain, membantu manusia mewujudkan tata kehidupan yang dipenuhi oleh nilai-nilai kepedulian dan kasih sayang. Bentuk kepedulian dan kasih sayang kepada sesama dapat diwujudkan dengan mendistribusikan harta demi kepentingan sosial. Akan tetapi, cara berbagi harta tidak perlu dengan mengeksploitasi kemiskinan orang-orang yang selama ini sudah menderita akibat kemiskinan itu sendiri. Karena itu, tragedi tewasnya sejumlah orang dalam acara pembagian zakat di Pasuruan sungguh-sungguh mencerminkan sikap ketidakmatangan beragama dan kedangkalan rasa kepedulian sosial, serta kemiskinan apresiasi terhadap sesama manusia. Model dan cara distribusi harta seperti itu bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Alih-alih pembagian harta membuat orang lain menjadi senang dan gembira, malah sebaliknya membuat orang lain berduka dan menderita.

Walaupun Islam menganjurkan manusia untuk selalu berbagi sebagai perwujudan rasa kasih sayang dan kepedulian kepada sesama, namun diingatkan agar tidak timbul sikap riya’ (suka pamer) dan sum’ah (suka dipuji) pada pelakunya. Setiap ibadah yang dilakukan manusia harus diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah semata, bukan untuk mendapatkan sanjungan, pujian, promosi dan kedudukan mulia di mata manusia.

Sebagai penutup, ada baiknya didengar ucapan Ali bin Abi Thalib berikut: Orang riya’ dan sum’ah mempunyai beberapa ciri, yaitu malas beribadah kalau tidak ada yang menyaksikan; sebaliknya sangat giat bahkan cenderung over acting kalau ada yang menyaksikan, apalagi jika diekspose lewat kamera TV; amalnya bertambah kalau banyak mendapat pujian dan sanjungan, tetapi amalnya akan berkurang kalau sepi pujian. Dalam hadis riwayat Ibnu Majah diingatkan bahwa semua amal kebaikan seorang Muslim yang dimotivasi oleh riya’ dan sum’ah akan dijadikan bagai debu berhamburan tidak berharga. Semoga puasa tahun ini sungguh-sungguh menjadikan kita memiliki kepedulian sosial yang tinggi kepada sesama, tanpa harus dicemari oleh sikap riya’ dan sum’ah. Amin.

Tidak ada komentar: