18 September 2008

Membaca Al-Qur'an Secara Kritis dan Rasional

MEMBACA Al-QUR’AN SECARA KRITIS DAN RASIONAL

Siti Musdah Mulia

Tak terasa puasa telah memasuki hari ke 17. Artinya, perjuangan umat Islam dalam berjihad melawan nafsu dan ego telah melampaui garis tengah perjalanan Ramadhan. Tanggal 17 Ramadhan dalam sejarah Islam diukir sebagai malam pertama turunnya ayat Al-Qur’an. Sangat unik, kitab suci Al-Qur’an dimulai dengan perintah membaca, iqra’ bismi rabbikallazi khalaq (bacalah dengan menyebut nama Tuhan-Mu yang telah menciptakan). Pertanyaan kritis muncul, mengapa tidak dimulai dengan perintah menyembah Tuhan? Bukankah ini adalah kitab suci dari Tuhan ?

Sejumlah analisis mufassir mengungkapkan bahwa hal itu dimaksudkan agar umat Islam dalam menjalankan agama selalu didasarkan pada pikiran kritis dan rasional. Sebab, Islam adalah agama yang vokal bicara tentang bahayanya taqlid buta (mengamalkan suatu ajaran tanpa mengerti makna dan hakikatnya) ; Islam juga paling depan bicara tentang buruknya bid’ah, takhayul dan khurafat. Itulah mengapa banyak ayat Al-Qur’an ditutup dengan ungkapan apala ta’qilun, apala tatadabbarun dan ungkapan lain yang semakna, intinya mengingatkan manusia agar selalu kritis dan menggunakan akal sehat dalam semua aspek kehidupan, tak terkecuali dalam aspek keagamaan.

Al-Qur`an dengan redaksi beragam mengajak manusia berpikir kritis dan bersikap rasional dalam merespon segala hal, kecuali hal yang berkaitan dengan Zat Allah. Pengetahuan tentang zat Allah mustahil dijangkau oleh pikiran. Manusia cukup memikirkan makhluk Allah, baik di langit, di bumi, maupun diri manusia sendiri (QS. ar-Rum, 10:42; Ali Imran, 190-191; ad-Dukhan, 38-39 dan ar-Rad, 3). Mereka yang berpikir kritis dan kreatif menggunakan nalar sehatnya mendapat kedudukan istimewa, dan Al-Qur`an mengapresiasi mereka dengan sejumlah pujian, seperti: ulul-absar, ulul-albab, ulun-nuha, dan ulul-`ilm. Semua ungkapan itu mengandung makna: manusia arif dan bijaksana.

Lalu, apa yang harus dibaca ? Sejumlah ayat mengarahkan agar bacaan umat Islam bukan hanya terbatas pada ayat-ayat qauliyyah dalam bentuk aktivitas tadarusan yang menjadi marak hanya di bulan Ramadhan. Akan tetapi, sangat dihimbau agar membaca ayat-ayat kauniyah (fenomena alam). Mengapa ini penting ? Sebab, salah satu faktor penyebab kemunduran peradaban Islam adalah karena umat Islam meninggalkan tradisi riset dan pengkajian terhadap ilmu-ilmu alam sebagaimana dikembangkan para ilmuwan Muslim abad ke-9 sampai akhir abad ke-12. Sejak saat itu, umat Islam umumnya terbelenggu dalam bid’ah dan khurafat, serta terpasung dalam tradisi taqlid buta. Menjadi semakin parah karena umat Islam lalu memahami ajaran Al-Qur’an sebatas aturan legal-formal, bukan lagi sebagai kitab suci yang menginspirasikan upaya-upaya propetik demi membebaskan manusia dari kebodohan dan ketidakadilan, seperti diajarkan Rasul.

Al-Qur`an menyebut begitu banyak kerja akal yang berguna bagi manusia dan kemanusiaan, namun ada dua yang utama: Pertama, mendengarkan. Aktivitas mendengarkan terkesan mudah, tetapi tidak banyak manusia dapat melakukannya dengan baik. Karena itu, mereka yang tidak mengefektifkan akal sehatnya digolongkan sebagai orang-orang tuli (QS. Yunus, 10:42). Kedua, merenungkan secara konsepsional, setidaknya merenungkan berbagai kejadian di alam raya, termasuk fenomena gempa bumi yang akhir-akhir ini semakin mengkhawatirkan. Allah menyebut alam semesta dan seluruh fenomena alam ini sebagai tanda bagi orang-orang berakal (QS. al-Ankabut, 29:35 dan al-Rum, 30:24). Terbukti bahwa kemampuan orang Jepang membaca ayat Tsunami, membuat bangsa ini terhindar dari bencana yang menggenaskan.

Demi menjelaskan betapa tingginya posisi akal, para filosof Muslim mensejajarkan fungsi akal manusia dengan fungsi Nabi. Keduanya berfungsi memberi penerangan dan pencerahan kepada manusia agar terhindar dari kebodohan, ketidakadilan, dan kebiadaban (QS, al-Maidah, 5:15-16). Karena akalnya, manusia memiliki kedudukan sangat spesifik, yaitu sebagai khalifah fi al-ardh (QS. al-Baqarah, 2:30). Suatu kedudukan yang teramat tinggi, bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lain, termasuk malaikat sekali pun. Tugas manusia yang berakal itu adalah menterjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta.

Mengapa harus manusia terpilih menjadi khalifah fi al-ardh? dimana letak keunggulannya? Ali Syariati menjelaskan, keunggulan manusia terletak pada akal dan pengetahuannya. Setelah menciptakan Adam, Tuhan lalu mengajarkan padanya sejumlah nama yang mengacu pada berbagai fakta ilmiah, dan inilah kemudian dianggap sebagai prototype dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan hanya dianugerahkan pada manusia, tidak pada malaikat, kendati mereka diciptakan dari cahaya, unsur yang dinilai lebih mulia daripada tanah, asal kejadian manusia. Tidak berlebihan jika disimpulkan, kemuliaan manusia terletak pada ilmu dan pengetahuan. Dengan syarat, jika keduanya sungguh-sungguh digunakan demi kemaslahatan seluruh masyarakat.

Semoga peringatan Nuzul Al-Qur`an kali ini menggugah kesadaran umat Islam sehingga menjadi umat gemar membaca ayat qauliyyah maupun qauniyah, berfikir kritis dan rasional sehingga kelak menjadi umat terdepan dalam memajukan peradaban manusia. Amin.

Tidak ada komentar: