15 Februari 2010

Pencatatan Perkawinan

PERLUNYA PENCATATAN PERKAWINAN:

RESPON TERHADAP KEINGINAN PEMERINTAH

MEMPIDANAKAN PELAKU NIKAH SIRRI

Siti Musdah Mulia

Pada suatu seminar: Pentingnya Pencatatan Perkawinan dalam Islam, seorang peserta menyanggah: "apa pentingnya pencatatan? toh Nabi sendiri tidak mencatatkan perkawinannya." Menanggapi pertanyaan naif tadi, dengan enteng saya jawab: "Jangankan Nabi yang hidup di abad ke-7, kakek dan nenek saya yang meninggal beberapa tahun lalu pun tidak mencatatkan perkawinan mereka." Di jaman mereka pencatatan itu belum memiliki makna penting sebagaimana di masa kita sekarang. Kehidupan manusia semakin kompleks dan rumit; segala peristiwa vital dalam kehidupan kita, seperti perkawinan, harus dicatatkan sebagai bukti legal. Tanpa Akta Nikah dapat berarti mengabaikan dan menelantarkan sejumlah hak isteri dan anak-anak. Hal itu sungguh-sungguh bertentangan dengan ajaran Islam yang amat sangat menekankan pemenuhan hak-hak manusia, terutama anak dan isteri.

Pencatatan perkawinan sesungguhnya sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (1991) yang mengacu kepada UU Perkawinan Tahun 1974, pasal 2, ayat 2: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku". Hanya saja, KHI belum secara tegas menyatakan bahwa pencatatan adalah salah satu syarat sahnya perkawinan. KHI masih memandang pencatatan sebatas jaminan ketertiban, yakni demi kepentingan tertib administrasi semata (pasal 5). Secara kasat mata pasal-pasal KHI menyangkut pencatatan sangat tidak konsisten, di satu sisi KHI memandang pencatatan hanya sebagai tertib administrasi, namun di lain sisi ditegaskan, perkawinan harus dibuktikan dengan Akta Nikah (pasal 7). Inkonsisitensi tersebut merupakan cerminan pandangan yang mendua di masyarakat mengenai sahnya perrkawinan. Institusi Pengadilan mengakui sahnya perkawinan disamping terpenuhinya lima syarat, juga harus melalui pembuktian Akta Nikah, sementara kalangan agama mengakui sahnya perkawinan cukup dengan memenuhi lima syarat, seperti dalam kitab fiqh, yakni adanya mempelai laki, mempelai perempuan, ijab qabul, wali dan saksi. Artinya, kalangan agama yang menjadi panutan awam memandang sah perkawinan, meski tidak dicatatkan. Akibatnya, perkawinan yang tidak dicatatkan (perkawinan sirri) atau perkawinan bawah tangan tetap berlangsung, bahkan akhir-akhir ini mengalami eskalasi.

Sudah umum diketahui betapa beresikonya perkawinan yang tidak dicatatkan, terutama bagi isteri dan anak-anak. Tanpa Akta Nikah berarti tiadanya proteksi hukum bagi isteri dan anak-anak. Hal ini seharusnya menyadarkan kaum perempuan untuk tidak menikah secara sirri atau menikah bawah tangan atau dinikahi tanpa Akta Nikah. Jika terjadi masalah dalam perkawinan, maka sangat sulit bagi isteri dan anak-anak untuk memperoleh hak-haknya, seperti hak nafkah, hak tunjangan, hak waris, dan hak isteri atas harta gono-gini, serta sejumlah hak lainnya.

Lalu, apakah kita akan membiarkan -atas nama agama- para isteri dan anak-anak kehilangan hak-haknya? Bukankah agama itu membawa rahmat dan anugerah bagi kehidupan manusia, termasuk isteri dan anak-anak? Bukankah Islam seharusnya memberikan solusi bagi persoalan sosial kontemporer umat manusia?

Menarik diungkapkan di sini pernyataan Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih Mazhab Hanbali, dalam kitabnya, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin: "Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri." Pernyataan serupa ditulis Ibnu Rusyd: "bahwa kemashlahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan". Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam sampai kepada kesimpulan bahwa "seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia". Dengan perspektif ini, sudah saatnya kita membangun pemahaman agama yang kondusif bagi pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, terutama hak para isteri dan anak-anak, melalui pencatatan perkawinan.

Salah satu solusi, merevisi pasal-pasal KHI, khususnya menyangkut definisi sahnya perkawinan (pasal 4). Diusulkan berbunyi: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya disertakan sanksi yang ketat bagi mereka yang melanggar aturan, dan sanksi itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sehingga efektif menghalangi munculnya kasus perkawinan sirri atau bawah tangan (tidak dicatatkan). Usulan revisi KHI lainnya adalah memasukkan unsur pencatatan sebagai salah satu rukun atau syarat sahnya perkawinan (pasal 14). Dengan demikian, perkawinan sirri atau bawah tangan otomatis batal secara hukum.

Argumentasi teologis dari usulan menjadikan pencatatan sebagai rukun atau syarat sahnya perkawinan sangat jelas. Pertama, berqiyas kepada Q.S. al-Baqarah, 2:282 yang mewajibkan pencatatan utang-piutang. Berdasarkan mafhum muwafaqat dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa tranksaksi utang-piutang saja disyariatkan untuk dituliskan, tentu akan lebih penting lagi mencatatkan akad (tranksaksi) yang mengikat kehidupan dua insan dalam bentuk perkawinan. Apalagi, perkawinan merupakan akad yang yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan). Qiyas tersebut dalam istilah ushul fikih disebut qiyas al-aulawi (analogi yang hukumnya pada furu' lebih kuat daripada yang melekat pada asalnya). Perkawinan sejatinya merupakan transaksi yang Maha-penting, bahkan jauh lebih penting dari transasksi lainnya dalam kehidupan manusia. Kalau transaksi utang saja harus dicatat, bukankah transaksi perkawinan merupakan hal yang lebih krusial untuk dicatatkan? Kedua, berdasarkan hadis Nabi saw: … jangan melacur dan jangan melakukan pernikahan sirri” (Lihat Kitab an-Nikah, Sunan at-Tirmizi, hadis no. 1008; Kitab an-Nikah, Sunan an-Nasai no. 3316-3317; Kitab an-Nikah, Sunan Ibn Majah, hadis no. 1886). Ketiga, bersandar pada sejumlah hadis yang menghimbau agar mengumumkan perkawinan (Lihat as-Sarakhsi, al-Mabsut; V:31; Sunan at-Tirmidzi no. 1009; Sunan Ibn Majah no. 1885; dan Musnad Ahmad no. 15545) dan hadis-hadis yang menghendaki hadirnya empat unsur dalam akad nikah demi sahnya sebuah perkawinan.

Abu Hasan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah, dua ulama besar abad pertegahan, menegaskan bahwa institusi pemerintah dalam hukum Islam berkewajiban melindungi warganya dari berbagai bentuk eksploitasi dan perlakuan yang merugikan hak-hak mereka. Karena itu, pemerintah wajib menciptakan peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan ketenteraman dan kedamaian. Sebagai uli al-amr (pemegang kekuasan), pemerintah mempunyai dua fungsi utama, yaitu fi harasah al-din (menjaga agama) dan fi siyasah al-dunya` (mengatur urusan dunia). Dalam pelaksanaan kedua fungsi tersebut, pemerintah wajib ditaati oleh warganya sepanjang tidak mengajak kepada kemungkaran.

Dalam konteks pelaksanaan kedua fungsi inilah pemerintah dibenarkan membuat perundang-undangan dalam bidang siyasah al-syar'iyah demi menunjang berlakunya ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, meskipun belum pernah dirumuskan oleh ulama sebelumnya. Hanya dengan cara inilah, terwujud Islam yang ramah terhadap perempuan dan rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta). Wallahu a'lam bi as-shawab.

9 Februari 2010

ADA APA DENGAN KEBEBASAN BERAGAMA?

Musdah Mulia[1]

Akhir-akhir ini ramai dibicarakan tentang kebebasan beragama terkait Judicial Review terhadap UU N0. 1 tahun 1965 tentang Larangan Penodaan Agama. Adalah kelompok pro demokrasi Indonesia yang tergabung dalam AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) mengajukan Judicial Review terhadap undang-undang tersebut karena dinilai tidak lagi relevan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus juga tidak sejalan dengan semangat konstitusional Indonesia.

Alih-alih menjadi alat perlindungan bagi kelompok agama, yang terjadi sebaliknya. UU itu malah dijadikan alat pembenaran bagi perilaku penodaan dan bahkan tindakan kekerasan dan penistaan terhadap kelompok agama tertentu. UU itu lebih banyak dipakai untuk mendiskreditkan kelompok yang memiliki pemahaman berbeda dengan mainstream.


Tiga Kendala

Meskipun telah ada jaminan dalam konstitusi dan sejumlah UU, seperti UU No. 39/1999 tentang HAM dan UU No. 12/2006 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Poltik, upaya-upaya perlindungan dan pemenuhan hak kebebasan beragama di Indonesia belum memperlihatkan kemajuan yang berarti.

Setidaknya ada tiga kendala: Pertama, kebebasan beragama cenderung disalahfahami sebagai upaya menghilangkan identitas suatu agama atau menyamakan semua agama (nihilisme) atau upaya mencampuradukkan ajaran agama (sinkretisme). Akibatnya, gagasan kebebasan beragama menimbulkan ketakutan yang tidak beralasan. Kedua, kebebasan beragama cenderung ditafsirkan sebagai gagasan kebebasan tanpa batas yang akan mengakibatkan konflik di masyarakat. Ketiga, kebebasan beragama cenderung dimaknai sebagai upaya penodaan terhadap agama yang “sudah diakui”. Akibatnya, pendukung kebebasan beragama diberi stigma sebagai kelompok “tidak agamis”

Sebetulnya tidak sedikit warga masyarakat menginginkan terpenuhinya hak kebebasan beragama tersebut, tapi karena takut distigma sebagai “tidak agamis” lalu memilih diam supaya aman. Adanya silent majority ini sangat merugikan tatanan demokrasi kita. Sebab, ruang publik lalu didominasi oleh kelompok yang lantang menyuarakan sikap anti kebebasan beragama. Sikap yang berseberangan dengan visi demokratis, dan fatalnya dengan mengatasnamakan agama atau Tuhan.

Makna Kebebasan Beragama

Istilah kebebasan beragama di dalam berbagai dokumen hak asasi manusia tidaklah berdiri sendiri, melainkan selalu dikaitkan dengan kebebasan lain, yaitu kebebasan berpikir dan berkesadaran atau berhati-nurani. Pada konteks ini, hak kebebasan beragama bersipat mutlak, berada di dalam forum internum yang merupakan wujud dari inner freedom (freedom to be), dan itu termasuk hak non-derogable. Artinya, hak yang tidak bisa ditangguhkan pemenuhannya oleh negara dalam keadaan apa pun.

Adapun hak mengekpresikan ajaran agama atau keyakinan dalam kehidupan publik, misalnya menyebarkan ajaran agama dan mendirikan tempat ibadah masuk dalam kategori hak bertindak (freedom to act). Hak tersebut dapat ditangguhkan atau dibatasi pemenuhannya.

Akan tetapi, penangguhan atau pembatasan itu hanya boleh dilakukan dengan undang-undang dan dengan alasan perlindungan atas lima hal, yaitu: keselamatan publik (public safety), ketertiban publik (public order), kesehatan publik (public helth), kesusilaan (public morals), dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang lain (protection of rights and freedom of others). Jadi, tujuan utamanya, perlindungan secara adil terhadap semua kelompok agama.

Menarik dicatat bahwa semakin demokratis sebuah negara semakin berkurang undang-undang yang membatasi kebebasan beragama masyarakat. Namun itu tidak berarti telah ada kecenderungan melakukan dekriminalisasi terhadap penodaan agama. Yang terjadi adalah karena UU itu dianggap tidak relevan lagi dengan perkembangan masyarakat yang semakin menghargai nilai-nilai kemanusiaan.

Delapan Unsur Kebebasan Beragama

Secara normatif kebebasan beragama mengandung 8 unsur sebagai berikut. Pertama, kebebasan bagi setiap orang menganut agama atau kepercayaan atas dasar pilihan bebas, termasuk bebas berpindah agama atau kepercayaan. Kedua, kebebasan bagi setiap orang untuk memanifestasikan agama atau kepercayaannya dalam bentuk ritual dan peribadatan. Ketiga, kebebasan bagi setiap orang dari segala bentuk pemaksaan. Keempat, kebebasan bagi setiap orang dari segala bentuk diskriminasi. Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, pilihan politik dan sebagainya. Kelima, kebebasan yang mengakui hak orang tua atau wali. Negara berkewajiban menghormati kebebasan orang tua dan wali untuk menjamin bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka adalah sesuai dengan pemahaman agama mereka. Keenam kebebasan bagi setiap komunitas keagamaan untuk berorganisasi atau berserikat. Ketujuh, kebebasan bagi setiap orang untuk memanifestasikan ajaran agama hanya dapat dibatasi oleh undang-undang. Undang-undang dibuat demi kepentingan melindungi keselamatan dan ketertiban publik, kesehatan atau kesusilaan umum atau hak-hak dasar orang lain. Kedelapan, negara menjamin pemenuhan hak kebebasan internal bagi setiap orang, dan itu bersipat non-derogability.

Ke delapan unsur tersebut jika diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan masyarakat akan terwujud suasana damai penuh toleransi. Setiap komunitas agama akan menghormati komunitas lain, dan mereka pun dapat berkomunikasi dan bekerjasama dalam suasana saling pengertian, penuh cinta kasih.

Perlu diingat, dalam konteks Indonesia yang multi agama, prinsip kebebasan beragama tidak hanya mempunyai landasan pijak dalam konstitusi dan undang-undang nasional, melainkan juga berakar kuat dalam tradisi berbagai agama dan kepercayaan yang sudah hidup ribuan tahun di Nusantara.

Kebebasan Beragama Menjamin Perdamaian

Hak kebebasan beragama selalu berpijak pada penghargaan dan penghormatan martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena itu, pemenuhan terhadap hak kebebasan beragama membawa kepada penghapusan segala bentuk penodaan dan penistaan terhadap kelompok agama, termasuk kelompok agama minoritas.

Yang terpenting, pemenuhan terhadap hak kebebasan beragama menjamin terciptanya toleransi dan perdamaian. Selanjutnya, perdamaian menjamin terwujudnya perlakuan setara dan sederajat bagi semua manusia, tanpa ada perbedaan sedikit pun. Perdamaian mendorong adanya tanggung-jawab individual. Perdamaian pasti menjamin terhapusnya segala bentuk diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan atas nama agama, atas nama Tuhan.

Ke depan dibutuhkan dua syarat bagi upaya pemenuhan hak kebebasan beragama. Pertama, setiap penganut atau kelompok agama harus memiliki kepercayaan diri yang kuat (self confidence) berdasarkan komitmen dan keyakinan kuat pada agama masing-masing. Ketiadaan rasa percaya diri melahirkan sikap kerdil, ketakutan dan penuh prejudice. Kedua, para penegak hukum harus berani bersikap netral dan adil. Kedua sikap ini terbangun hanya jika mereka memahami secara utuh ajaran agamanya, dan juga memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai kebangsaan dan keindonesiaan.



[1] Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

5 Februari 2010

MENOLAK LIBERALISASI PENDIDIKAN

MENOLAK LIBERALISASI PENDIDIKAN

MELALUI PENDIDIKAN BERPERSPEKTIF GENDER

Dr. Siti Musdah Mulia, MA, APU

I. Relasi Gender

Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap pola relasi gender, terutama kaitannya dengan posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan di semua bidang kehidupan, tak terkecuali bidang pendidikan. Perubahan-perubahan tersebut berlangsung secara bertahap di berbagai tingkat.

Di tingkat dunia, komitmen untuk mengubah relasi gender ke arah yang lebih adil dan setara terlihat sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil langkah-langkah utama dengan menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam piagamnya tahun 1945 dan selanjutnya pada 1946 membentuk Commission on the Status of Women atau CSW (Komisi Kedudukan Perempuan). Kemudian, CSW sebagai komisi fungsional Economic and Social Council atau ECOSOC berfungsi aktif dalam upaya-upaya peningkatan kedudukan dan peran perempuan selaku mitra sejajar laki-laki sehingga terwujud kesetaraan dan keadilan gender. Salah satu instrumen fundamental yang dihasilkan berupa Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women disingkat CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada 1979. Indonesia meratifikasi konvensi ini pada tahun 1984 melalui UU No. 7 tahun 1984. Sayangnya, walau telah 17 tahun berlalu, Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya, belum lahir juga sehingga implementasinya tidak terlihat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara..

Perhatian dunia terhadap upaya kesetaraan jender semakin terlihat dengan dicanangkannya tahun 1975 sebagai Tahun Perempuan Internasional oleh PBB, dan tahun 1976 s/d 1985 sebagai Dasa Warsa PBB untuk perempuan. Selama periode ini upaya-upaya pengumpulan dan analisis berbagai data tentang situasi perempuan menjadi prioritas utama bagi PBB dan seluruh badan-badan khususnya. Sungguhpun demikian, analisis data dan indikator yang dikumpulkan dari seluruh dunia menunjukkan bahwa walaupun telah dicapai sejumlah keberhasilan selama seperempat abad terakhir (1975-2000), mayoritas perempuan masih tetap tertinggal jauh di belakang laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pendidikan.

Sebagai respon terhadap situasi perempuan di seluruh dunia yang masih memprihatinkan itu, Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina tahun 1993 menegaskan perlunya langkah-langkah strategis baru demi memajukan dan melindungi hak-hak perempuan. Deklarasi Wina menekankan dalam pendahuluannya suatu keprihatinan yang mendalam akan perilaku diskriminasi dan tindak kekerasan yang terus-menerus dihadapi kaum perempuan di berbagai belahan dunia.

Deklarasi dan Program Aksi konferensi ini menegaskan tiga point penting sebagai berikut. Pertama, penegasan Hak Asasi Perempuan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia secara integral (Women`s Rights are Human Rights). Kedua, penegasan partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada semua tingkat: nasional, regional, dan internasional serta penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin merupakan tujuan utama masyarakat sedunia. Ketiga, penegasan bahwa kekerasan berbasis jender dan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia serta harus dihapuskan.

Bagi Indonesia tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan isi deklarasi dan program aksi tersebut karena penegasan Hak Asasi Perempuan sebagai tercantum dalam Deklarasi Wina sejalan dengan ideologi Pancasila, khususnya sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Adapun landasan konstitusionalnya adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 yang menjamin persamaan kedudukan dan hak bagi semua warga negara: laki-laki dan perempuan, baik di depan hukum dan pemerintahan maupun atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu, hukum perundang-undangan nasional mengakui hal tersebut dalam Undang-Undang No. 68 tahun 1958 tentang pengesahan Konvensi Hak Politik Perempuan, Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Kembali ke tingkat internasional, tindak lanjut konkret dari program aksi Konferensi Wina tersebut terlihat dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994. Melalui konferensi ini masyarakat internasional untuk pertama kalinya mengakui bahwa pemberdayaan perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan. Program Aksi Cairo melahirkan sejumlah kesepakatan internasional untuk memajukan kesetaraan dan keadilan gender (gender equality and equity) dalam seluruh bidang pembangunan. Menyangkut bidang pendidikan komitmennya adalah: "setiap orang mempunyai hak atas pendidikan yang diarahkan pada perkembangan sumber daya manusia serta harkat dan potensi manusia dengan perhatian khusus pada perempuan dan anak-anak perempuan; kepentingan terbaik anak menjadi pedoman bagi mereka yang bertanggungjawab atas pendidikan dan pembinaan anak, dan tanggung jawab ini pertama-tama terletak pada orang tua mereka."

II. Kesetaraan dan Keadilan Gender

Untuk konteks Indonesia, setidaknya sepuluh tahun terakhir, perbincangan tentang gender sudah semakin merebak, tetapi dari berbagai pengamatan, ternyata pemahaman masyarakat tentang konsep gender masih rancu. Fatalnya, kesalahpahaman tersebut bukan hanya terjadi di kalangan awam, melainkan terjadi juga di kalangan terpelajar. Masalahnya, istilah gender seringkali dirancukan dengan istilah jenis kelamin, dan lebih rancu lagi, gender diartikan dengan jenis kelamin perempuan. Begitu disebut gender, yang terbayang adalah sosok manusia dengan jenis kelamin perempuan, padahal, istilah gender mengacu pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Karena itu, penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin (sex) dan gender. Jenis kelamin (sex) dibedakan berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum, dan rahim. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tak satupun yang dapat mengubahnya. Boleh jadi, dewasa ini akibat kemajuan teknologi, seseorang dimungkinkan mengubah jenis kelaminnya, tetapi betapapun perubahan itu tidak sampai mengubah fungsinya. Diciptakannya makhluk dengan jenis kelamin berbeda, sesungguhnya dimaksudkan untuk saling melengkapi, saling menghormati, dan saling mengasihi agar tercipta kehidupan damai dan bahagia.

Konsep gender mengacu kepada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Timbullah dikotomi maskulin (laki-laki) dan feminin (perempuan). Di masyarakat, laki-laki selalu digambarkan dengan sifat-sifat maskulin, seperti perkasa, berani, rasional, dan tegar. Sebaliknya, perempuan digambarkan dengan sifat-sifat feminin, seperti lemah, pemalu, penakut, emosional, rapuh, dan lembut-gemulai. Maskulinitas dan feminitas ini sesungguhnya merupakan hasil konstruksi sosial, bukan hal yang kodrati. Buktinya, dalam realitas sosiologis di masyarakat ditemukan tidak sedikit laki-laki penakut, emosional, pemalu, lemah, dan lembut. Sebaliknya, cukup banyak perempuan kuat, berani, perkasa, pantang menyerah, rasional, dan sangat tegar. Dengan ungkapan lain, sifat-sifat tersebut bukanlah kodrati, melainkan dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain.

Ringkasnya, masyarakatlah yang membentuk laki-laki menjadi kuat dan berani, sedangkan perempuan dibentuk menjadi lemah dan penakut. Sejak masih dalam kandungan sampai tua renta, bahkan sampai ke liang kubur, laki-laki diperlakukan sedemikian rupa agar mereka terbentuk menjadi makhluk yang superior, hal yang sebaliknya diperlakukan pada perempuan sehingga mereka menjadi inferior. Fatalnya, bentukan ini dibakukan sedemikian rupa melalui berbagai norma tradisi, adat, budaya, dan hukum, bahkan juga agama sehingga seolah-olah semuanya itu merupakan kodrat atau pemberian Tuhan yang harus diterima apa adanya, dan tidak boleh dipertanyakan lagi.

Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal yang biasa saja sepanjang tidak menimbulkan ketimpangan-ketimpangan gender (gender inequalities). Akan tetapi, realitas di masyarakat menunjukkan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk ketimpangan atau ketidakadilan, baik bagi laki-laki dan terlebih lagi bagi perempuan. Ketimpangan gender terwujud dalam banyak bentuk, di antaranya berupa burden atau pemberian beban kerja yang lebih panjang dan lebih berat kepada perempuan, terutama perempuan pekerja. Sebab, mereka selain dituntut mampu menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga -yang di masyarakat selalu dipersepsikan sebagai kewajiban perempuan- mereka juga harus menunjukkan prestasi kerja yang baik di tempat kerja. Timbullah istilah "beban ganda" bagi perempuan pekerja, sebaliknya bagi laki-laki pekerja tidak ada istilah "beban ganda" karena mereka pada umumnya memang tidak bekerja ganda, mereka tidak dituntut menyelesaikan tugas-tugas di rumah tangga sebagaimana halnya perempuan.

Bentuk lain dari ketidakadilan gender adalah kekerasan (violence). Perlakuan kekerasan terhadap perempuan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori; kekerasan di ranah domestik dan kekerasan di ranah publik. Intensitas kekerasan pada perempuan Indonesia dinilai sangat tinggi. Buktinya, dari penduduk Indonesia yang berjumlah 217 juta, 11,4 % di antaranya atau sekitar 24 juta penduduk perempuan -terutama di pedesaan- mengaku pernah mengalami perlakuan kekerasan, dan sebagian besar berupa kekerasan di rumah tangga, tempat yang selama ini dianggap paling aman buat perempuan (Laporan Meneg Pemberdayaan Perempuan, Kompas 27 April 2000). Kekerasan domestik tersebut, antara lain mengambil bentuk penganiayaan, pemaksaan hubungan seksual dalam kehidupan suami-isteri, pelecehan, atau suami berselingkuh. Bahkan, kasus perkosaan di Indonesia dilaporkan terjadi setiap lima jam. Dapat dipastikan bahwa data kekerasan yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan, ibarat gunung es, yang terlihat hanya sedikit di permukaan. Alasannya, tidak semua perempuan yang mengalami kekerasan bersedia melaporkan kasusnya, sebagian besar menutup diri karena takut atau malu atau demi menutup aib keluarga.

Ketimpangan gender dapat juga mengambil bentuk subordinasi, yakni anggapan bahwa perepuan itu tidak penting, melainkan sekedar pelengkap dari kepentingan laki-laki. Di masyarakat masih kuat anggapan bahwa perempuan itu tidak rasional dan lebih banyak menggunakan emosinya sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin. Perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya kembali ke dapur juga.

Ketidakadilan gender sering pula mengambil wujud stereotipe (pelabelan negatif) yang dilekatkan pada diri perempuan. Misalnya, perempuan sering diberi label sebagai makhluk penggoda sehingga di masyarakat seringkali terdengar ucapan sebagai berikut: "Hati-hati terhadap perempuan karena godaannya jauh lebih dahsyat dari godaan syetan." Implikasi sosial dari pelabelan negatif seperti itu terlihat, misalnya pada kasus pelecehan seksual atau perkosaan, masyarakat selalu berkecenderungan menyalahkan perempuan, padahal mereka sesungguhnya hanyalah korban.

Timbul pertanyaan, mengapa ketidakadilan jender terjadi semakin luas dan menyelimuti hampir semua kelompok perempuan di dunia, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Hal ini sangat berkaitan dengan kesadaran dan kepekaan masyarakat, baik secara individual, maupun kolektif. Kalau masyarakat memandang kondisi ini sebagai suatu kewajaran karena meyakini hal itu terkait dengan takdir, maka mereka akan menerima saja dengan pasrah. Akan tetapi dalam kelompok masyarakat yang kritis tentu akan melihat ketimpangan itu sebagai suatu akibat dari struktur sosial dan budaya yang berlaku. Karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk mengubah struktur dan budaya yang ada menuju sistem yang lebih egaliter, adil, dan demokratis. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.

Untuk memahami lebih baik peran jender laki-laki dan perempuan, perlu dipilah-pilah mana bidang produktif, reproduktif, dan kemasyarakatan. Hanya dengan demikian dapat diperoleh pemahaman tentang kebutuhan-kebutuhan laki-laki dan perempuan serta keterlibatan mereka dalam proses-proses kekuasaan dan pengambilan keputusan. Dengan demikian kebutuhan spesifik laki-laki dan perempuan dapat diketahui dengan tepat dan selanjutnya dapat dirumuskan dalam tahapan-tahapan pembangunan, sejak perencanaan sampai pada evaluasi. Pembangunan dalam semua bidang, tak terkecuali bidang pendidikan, merupakan suatu proses yang harus melibatkan seluruh anggota masyarakat ke dalam tahapan yang sama, sesuai kebutuhan individual.

Mengingat jumlah perempuan yang lebih besar 0.3 persen daripada laki-laki (BPS 2001), eksistensi mereka penting sebagai sumberdaya manusia dalam pembangunan. Namun, kenyataannya mereka belum dapat optimal menyumbangkan kemampuan dan potensinya disebabkan oleh ketimpangan-ketimpangan gender sebagai akibat dari konstruksi sosial dan budaya. Oleh karena itu, konsep gender menjadi sangat diperlukan untuk menganalisis ketimpangan relasi gender yang bertahan antara laki-laki dan perempuan, untuk selanjutnya menemukan solusi yang tepat dalam mengatasinya sehingga kesetaraan dan keadilan gender, sebagai diamanatkan dalam GBHN dapat terwujud.

III. Ketimpangan Gender Dalam Pendidikan

Kebijakan nasional menyangkut pendidikan dapat ditelusuri dari UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa kesempatan pendidikan pada setiap satuan pendidikan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, dan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan (pasal 7). Selanjutnya, GBHN 1999 menggariskan dua hal pokok berkaitan dengan kebijakan pendidikan. Pertama, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan pada setiap jenjang pendidikan; dan kedua, melakukan pembaharuan sistem pendidikan, termasuk pembaharuan kurikulum berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keragaman peserta didik. Meskipun kebijakan nasional di bidang pendidikan seperti dipaparkan di atas sudah cukup memadai untuk dijadikan acuan pembangunan pendidikan yang berwawasan jender, namun dalam realitasnya masih saja terjadi ketimpangan gender.

Ketimpangan gender dalam pendidikan, antara lain berwujud kesenjangan memperoleh kesempatan yang konsisten pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Perempuan cenderung memiliki kesempatan pendidikan yang lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin lebar kesenjangannya. Kesenjangan ini pada gilirannya membawa kepada berbedanya rata-rata penghasilan laki-laki dan perempuan. Walaupun dengan latar belakang pendidikan yang sama, rata-rata penghasilan angkatan kerja perempuan secara konsisten lebih rendah dibandingkan dengan angkatan kerja laki-laki.

Data-data pendidikan hasil SUSENAS 1999 menunjukkan kesenjangan yang signifikan. Penduduk perempuan berusia 16 tahun ke atas yang menamatkan SLTP hanya mencapai 29,1%, sementara laki-laki mencapai 32,5%. Penduduk perempuan yang menamatkan SLTA mencapai 33,7%, sedangkan laki-laki 46%. Setiap 100 orang laki-laki berbanding 8 perempuan yang melanjutkan ke perguruan tinggi; yaitu 7 orang di perkotaan dan 1 orang di pedesaan. Selain itu, jumlah perempuan berusia 10 tahun ke atas yang buta huruf sebanyak 8% di perkotaan dan 18% di pedesaan, sedangkan laki-laki 3% di perkotaan dan 9% di pedesaan.

Meskipun diakui jumlah penduduk perempuan yang melek huruf semakin bertambah, namun dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki relatif masih tertinggal. Buktinya, data tahun 1980 mencatat jumlah perempuan melek huruf 63% dibandingkan laki-laki sebanyak 80%. Bandingkan dengan data tahun 1999, penduduk perempuan melek huruf menjadi 94,7% sedangkan laki-laki menjadi 97,3%.

Data lain yang menunjukkan kesenjangan adalah berkaitan dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi kelompok usia, semakin melebar kesenjangan menurut jender. Pada tahun 1999, APS perempuan kelompok usia SD lebih tinggi daripada laki-laki, namun APS bagi perempuan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya usia. Akan tetapi, menarik dicatat bahwa meskipun angka partisipasi perempuan lebih rendah, mereka ternyata lebih mampu bertahan ketimbang laki-laki. Angka putus sekolah siswa perempuan selalu lebih kecil, terutama pada tingkat SMU, SMK, dan PT (SUSENAS, 1999). Rendahnya APS perempuan dalam pendidikan akan mengakibatkan proses pendidikan menjadi kurang efisien.

Ketimpangan gender dapat pula diamati dari segi isi buku pelajaran. Kebanyakan muatan buku pelajaran, khususnya Bahasa dan Sastera, IPS, PPKN, Pendidikan Jasmani, Kesenian dan sejenisnya, yang membahas kedudukan perempuan dalam masyarakat cenderung masih menganut nilai-nilai yang bias gender. Perempuan dalam buku-buku tersebut masih di tempatkan dalam peran-peran domestik (domestic roles), sebaliknya laki-laki diposisikan dalam peran-peran publik (productive roles). Dengan demikian isi buku-buku tersebut masih mengakui adanya segregasi ruang yang ketat antara laki-laki dan perempuan; laki-laki di ruang publik, sedangkan perempuan di ruang domestik. Kurikulum dan materi pelajaran yang belum mengacu kepada prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender akan menyebabkan perempuan tetap tidak mempunyai mentalitas sebagai warga masyarakat yang produktif.

Menarik dikemukakan hasil penelitian Logsdon terhadap buku-buku pelajaran di sekolah dasar, seperti dikutip Ratna Saptari bahwa isi buku-buku teks yang diberikan di sekolah dasar menunjukkan pembakuan peran-peran sosial perempuan dan laki-laki. Ibu biasanya tinggal di rumah, bapak pergi ke kantor. Ibu tidak berbuat lain kecuali kerja rumah tangga, mengasuh anak, belanja, dan sembahyang. Ibu makan dan mandi setelah bapak. Bapaklah yang mempunyai pekerjaan, menghidupi dan melindungi keluarga.

Menurut Logsdon, gambaran seperti itu sangat janggal, mengingat bahwa perempuan di Indonesia sangat terlibat dalam kegiatan ekonomi dari berbagai sektor, sangat berbeda dengan perempuan di daerah lain, misalnya di India. Lebih lanjut, ia mempertanyakan mengapa dalam banyak situasi di mana perempuan sangat terlibat dalam kehidupan ekonomi, terdapat ideologi yang sama sekali berlawanan dengan apa yang terjadi dalam kenyataan. Analisis yang disodorkan ada dua; pertama, bahwa isi buku tersebut sebenarnya merupakan pencerminan dari kehidupan para penulis buku yang kemungkinan berasal dari kelas sosial yang berbeda sehingga mereka tidak menyadari kalau gambaran yang mereka paparkan dalam buku-buku tidak sesuai dengan mayoritas kelompok sosial yang ada di lapisan bawah. Analisis kedua, bahwa dalam masa pembangunan ini di mana dibutuhkan tenaga kerja murah, kaum perempuan yang mempunyai tugas utama dalam bidang reproduksi tidak akan dipandang sebagai tenaga yang terampil, dan dengan demikian bisa tercipta angkatan kerja tersebut (Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, 1997).

Kemudian dari segi minat terlihat bahwa pada SMK, laki-laki lebih dominan memilih jurusan atau program studi keterampilan atau keahlian pada bidang-bidang kejuruan teknologi dan industri. Sebaliknya, perempuan lebih dominan pada bidang-bidang keahlian yang berkaitan dengan ketatausahaan, perawat kesehatan dan teknologi kerumahtanggaan. Lalu di tingkat mahasiswa terlihat perempuan lebih cenderung pada jurusan-jurusan: keahlian terapan bidang manajemen (57,7%), pelayanan jasa dan transportasi (64,2%), bahasa dan sastra (58,6%, serta psikologi (59,9%). Sebaliknya, laki-laki lebih cenderung memilih jurusan-jurusan: teknologi dan ilmu-ilmu keras (hard sciences) (SUSENAS, 1998). Penjurusan pada pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan tinggi mengindikasikan masih adanya stereotipe dalam sistem pendidikan di Indonesia yang berdampak pada mandegnya pola kompetisi yang rasional menurut gender.

Ketimpangan yang sama terlihat pula pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Perempuan lebih dominan pada program pendidikan persiapan guru SLTP dan PGSD (68,2%), kecenderungan yang sama pada program sarjana yang menyiapkan guru sekolah menengah (55,7%) (Depdiknas, 1999). Menarik dicermati bahwa jumlah tenaga guru untuk level pendidikan dasar didominasi oleh perempuan, tetapi semakin tinggi level pendidikan semakin berkurang pula jumlah guru perempuanya. Setiap 100 guru SD, 54 di antaranya adalah perempuan, dan setiap 100 guru sekolah menengah, hanya 38 perempuan, seterusnya setiap 100 dosen di Perguruan Tinggi, perempuan hanya 29 orang (SUSENAS, 1999).

Sejumlah hasil penelitian mengungkapkan bahwa kesenjangan gender bukan diakibatkan oleh satu faktor tunggal, melainkan terdapat sejumlah faktor yang saling kait mengkait. Setidaknya, dapat disebutkan empat faktor utama, yakni faktor akses, kontrol, partisipasi dan benefit. Faktor akses terlihat nyata dalam proses penyusunan kurikulum dan proses pembelajaran yang cenderung bias laki-laki (bias toward male). Dalam kedua proses ini harus diakui proporsi laki-laki sangat dominan. Indikasinya dapat dilihat pada penulis buku-buku pelajaran dalam berbagai bidang studi yang mayoritas adalah laki-laki (85%). Selain itu, jumlah tenaga pengajar, khususnya pada SLTP ke atas lebih didominasi laki-laki. Akibatnya, proses pembelajaran menjadi bias laki-laki (bias against female). Kondisi ini semakin diperburuk oleh kenyataan bahwa sensitivitas gender masyarakat, baik laki-laki dan perempuan masih sangat rendah.

Kontrol terhadap kebijakan pendidikan lebih didominasi laki-laki, mengingat laki-laki lebih banyak berada pada posisi strategis dalam pengelolaan pendidikan, terutama dalam jabatan struktural, mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat yang paling rendah. Hal itu menyebabkan partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan dalam bidang pendidikan relatif masih rendah. Akibatnya, sejumlah kebijakan dalam pendidikan dipandang belum sensitif gender.

Partisipasi perempuan yang rendah, khususnya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seperti SMK dan PT. Setidaknya ada tiga alasan yang sering dikemukakan berkenaan dengan hal ini (Suleeman, 1995). Pertama, tidak tersedianya sarana dan prasarana sekolah untuk jenjang pendidikan SLTP ke atas di daerah sekitar tempat tinggal. Karena alasan jarak dan keselamatan selama perjalanan menuju ke sekolah menyebabkan banyak orang tua keberatan menyekolahkan anak perempuannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, relatif tingginya biaya pendidikan. Biaya pendidikan masih belum terjangkau oleh kebanyakan penduduk, khususnya yang tidak mampu. Ketiga, masih dianutnya di masyarakat sejumlah norma yang merugikan perempuan, misalnya pandangan yang menyatakan bahwa anak perempuan lebih diperlukan dalam membantu orang tua menyelesaikan tugas sehari-hari di rumah, sedangkan anak laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk membantu menambah penghasilan keluarga.

Sikap sebagian besar orang tua yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial-budaya yang berlaku serta kondisi ekonomi keluarga mengakibatkan prioritas pendidikan lebih ditujukan untuk anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Pengaruh nilai-nilai sosial-budaya juga terlihat pada stereotipe dalam pemilihan jurusan. Perempuan lebih dominan pada program studi yang berkaitan dengan ilmu-ilmu perilaku dan pelayanan sosial, seperti psikologi, ilmu pendidikan, perawat kesehatan, dsb. Sebaliknya, laki-laki lebih fokus pada ilmu-ilmu keras, seperti IPA, otomotif, teknologi industri, dsb.

Faktor benefit terlihat dari dominannya laki-laki dalam posisi sebagai penentu kebijakan, khususnya dalam lembaga birokrasi di bidang pendidikan, demikian juga pada jabatan-jabatan akademis kependidikan. Diperkirakan perempuan tertinggal jauh dalam memperoleh kesempatan pendidikan sejak tiga dekade yang lalu (30 tahun). Karena itu, laki-laki lebih banyak menikmati posisi strategis dalam jabatan-jabatan struktural.

IV. Pentingnya Perspektif Gender Dalam Pendidikan Nasional

Dalam rangka akselerasi tujuan pembangunan nasional, termasuk di dalamnya pembangunan bidang pendidikan, menuju kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pendidikan yang berwawasan gender menjadi pilihan yang strategis walaupun tentu saja merupakan pilihan yang berat mengingat banyaknya hambatan yang akan dihadapi.

Langkah konkret yang perlu segera diambil adalah merumuskan kebijakan gender dalam pendidikan nasional. Paling tidak tujuan yang akan dicapai melalui kebijakan itu mencakup tiga hal pokok. Pertama, membuka kesempatan pendidikan yang lebih merata pada semua jurusan, jenis, dan tingkat pendidikan dengan mempertimbangkan aspek kesetaraan gender. Kedua, mengeliminasi semua bentuk ketimpangan gender pada jurusan, bidang kejuruan, atau program studi di tingkat pendidikan menengah dan tinggi sehingga terwujud kesetaraan gender dalam berbagai bidang keahlian profesionalisme. Ketiga, memberikan peluang dan kesempatan kepada perempuan untuk berpartisipasi secara optimal pada semua unit dan dalam seluruh tahapan pembangunan pendidikan, mulai dari tahap perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan program, sampai kepada tahap akhir berupa evaluasi.

Agar tujuan tersebut dapat diwujudkan secara optimal, terlebih dahulu perlu ditingkatkan keseimbangan jumlah guru dan tenaga kependidikan atas dasar gender pada semua bidang dan pada semua tingkatan pendidikan. Selanjutnya, mengembangkan pendekatan proses pembelajaran yang sensitif gender melalui pembinaan dan pelatihan guru-guru, kepala sekolah, dan pengawas pendidikan. Demikian pula perlu ditingkatkan partisipasi perempuan, terutama pada tingkat pengambilan keputusan di semua unit pengelolaan pendidikan nasional.

Berikutnya, seluruh penulis bahan bacaan dan para penanggungjawab dalam bidang pengembangan kurikulum diberikan orientasi tentang kebijakan pendidikan yang berperspektif kesetaraan dan keadilan gender sehingga diharapkan nanti tidak ada lagi kurikulum dan buku-buku bacaan sekolah yang bias gender. Namun, yang paling penting diperioritaskan adalah memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada perempuan untuk memasuki semua jenis dan jenjang pendidikan melalui pemberian bea siswa atau subsidi, terutama bagi mereka dari keluarga yang kurang mampu, serta memberikan affirmative action kepada perempuan untuk memasuki jurusan atau program-program studi yang selama ini menjadi monopoli laki-laki, tentu kebijakan dimaksud bersifat sementara, yakni hanya untuk suatu jangka waktu tertentu, sehingga terbangun keseimbangan jumlah siswa dan mahasiswa perempuan dan laki-laki dalam semua jenis dan jenjang pendidikan.

Wallahu a`lam bi al-shawab

Jakarta, 23 Februari 2002

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Leila, 2000, Wanita dan Gender dalam Islam, Lentera, Jakarta.

Badan Pusat Statistik, 1998, Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia 1997 (SDKI), Jakarta.

Fakih, Mansour, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

-------------------------, 2000, Survei Angkatan Kerja Nasional, 1999, Jakarta

-------------------------, Statistik dan Indikator Gender, 2001, Jakarta.

Economic and Social Commission for Asia and Pacific (ESCAP), 1998, Women in Indonesia: A Country Profile. United Nations, New York.

Johnson, Allan G, 1997, The Gender Knot , Temple University, USA.

Mulia, Musdah, 1999, Potret Perempuan Dalam Lektur Agama, Badan Litbang Departemen Agama, Jakarta.

------------------- (ed.), 2001, Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam), Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama, Departemen Agama, Jakarta.

Regional Workshop on Gender Statistics, 1994. Gender Issues and Statistics: Training Material for Regional Workshop on Gender Statistics, in Bangkok.

Sanday, Peggy Reeves, 1981, Female Power and Male Doinance, Cambridge University, New York.

Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner, 1997, Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial, Grafiti, Jakarta.

Suleeman, Evelyn, 1995, Pendidikan Wanita di Indonesia, dalam T.O. Ihromi (ed.), Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(Curriculum Vitae)

I. IDENTITAS

Nama : DR. Hj. Siti Musdah Mulia, MA, APU

Tempat/Tanggal Lahir : 3 Maret 1958

Kebangsaan : Indonesia

Agama : Islam

Status : Menikah

Nama Suami : Prof. DR. H. Ahmad Thib Raya, MA

II. PENDIDIKAN:

- S3 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1997)

- Kursus Singkat tentang Manajemen Pendidikan di Universitas George Mason, Virginia, USA (2000)

- Kursus Singkat Pelatih HAM (Human Rights` Trainer) di Universitas Chulalongkorn, Bangkok (2000)

- Kursus Singkat Advokasi HAM di Universitas Lund, Swedia (2001)

III. AKTIVITAS SOSIAL:

- Ketua/Pendiri Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) (sejak 1998)

- Ketua III Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) (sejak 2000)

- Anggota Dewan Pakar Korps Perempuan Majelis Dakwah Islamiyah (sejak 1999)

- Anggota Dewan Pakar Koalisi Perempuan Indonesia (sejak 1999)

- Dewan Ahli Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), sejak 1999

- Wakil Ketua Komisi Pengkajian Majelis Ulama Indonesia (MUI) (sejak 2000)

- Anggota Dewan Ahli Common Ground Indonesia (sejak 2001)

IV. PENGALAMAN KERJA:

- Direktur Perguruan Al-Wathoniyah Pusat, Jakarta (sejak 1996)

- Dosen Pasca Sarjana IAIN Jakarta (sejak 1997)

- Kepala Balai Penelitian Keagamaan dan Kemasyarakatan, Dep. Agama (1998-1999)

- Staf Ahli Menteri Negara Urusan HAM (1999-2000)

- Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja RI (2000-2001)

- Staf Ahli Menteri Agama RI (sejak 2001)

V. ALAMAT:

- Alamat Rumah : Jl. Pariaman No. 15, Manggarai, Jakarta Selatan 12970

Telp/Fax. 62-21- 829 7915

HP: 0816 138 1341

E-mail: m-mulia @indo.net.id

- Alamat Kantor : Jl. Lapangan Banteng No. 3-4 Jakarta Pusat

Telp. 380 0209 / Fax 381 1436/3156428

PENDIDIKAN ISLAM

PENDIDIKAN ISLAM DAN UPAYA PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA[1]

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA[2]

I. Pentingnya Pendidikan Dalam Islam

Islam sejak semula diyakini sebagai agama yang menaruh perhatian dan kepedulian yang sangat besar pada aspek pendidikan. Bukan hal kebetulan jika Al-Qur'an, kitab suci umat Islam memulai tuntunannya dengan ayat-ayat yang berisi perintah membaca (QS. al-Alaq, 1-6). Membaca merupakan media utama dalam pendidikan karena membaca merupakan jendela ilmu pengetahuan. Hanya dengan membacalah pikiran dan wawasan manusia dapat terbuka dan tercerahkan sehingga pada gilirannya diharapkan membentuk manusia menjadi lebih arif bijaksana, lebih berkualitas dalam semua hal, terutama akhlaknya.

Umat Islam secara normatif meyakini bahwa pendidikan sangat penting bagi manusia, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan. Ditemukan sejumlah ayat dan hadis menjelaskan betapa tingginya posisi orang-orang yang menekuni pendidikan dan bidang keilmuan, salah satunya dapat dirujuk pada ayat: Allah swt. mengangkat derajat orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang berilmu pengetahuan.” Adapun dalam hadis Nabi, antara lain: ”menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi laki-laki dan perempuan” atau seruan Nabi kepada segenap kaum muslim: laki-laki dan perempuan “tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina.” Sayangnya nilai-nilai ideal yang begitu luhur pada tataran normatif tersebut tidak berlanjut ke tataran empiris sebagaimana terlihat dalam realitas kehidupan di masyarakat.

Ironis sekali, meskipun ajaran Islam sangat kuat mendorong umatnya menekuni dan mengembangkan pendidikan, namun faktanya di berbagai belahan dunia dijumpai cukup banyak penganut Islam tidak tersentuh pendidikan. Angka partisipasi mereka dalam semua level pendidikan, khususnya pendidikan tinggi sangat rendah, terlebih lagi bagi kaum perempuan. Sebagian besar umat Islam tidak memiliki akses, tidak mampu berpatisipasi dalam upaya-upaya pendidikan, serta tidak mampu mengambil manfaat atau menikmati hasil-hasil pembangunan dalam bidang pendidikan. Akibatnya, seperti yang banyak diungkap selama ini, umat Islam masih menempati posisi yang lemah dan terkebelakang, khususnya dalam bidang sains dan teknologi.

II. Esensi Pendidikan Islam

Para pakar menawarkan beragam rumusan mengenai pendidikan yang pada esensinya dapat dikategorikan pada dua aliran. Pertama, aliran yang mendefinisikan pendidikan sebagai proses pewarisan atau enkulturasi dan sosialisasi perilaku sosial yang telah mapan di masyarakat. Kedua, aliran yang memahami pendidikan sebagai upaya fasilitatif yang memungkinkan tergalinya sejumlah potensi manusia agar dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan hidup mereka. Kedua sudut pandang yang berbeda dalam memahami pendidikan tersebut, masing-masing memiliki implikasi yang luas terhadap pelaksanaan pendidikan di masyarakat. Aliran pertama mengandaikan peserta didik sebagai obyek pasif dalam pendidikan. Sebaliknya, aliran kedua mengasumsikan peserta didik sebagai subyek yang harus terlibat aktif dalam seluruh proses dan tahapan pendidikan. Pendidikan Islam yang diuraikan dalam tulisan ini cenderung mengambil corak aliran kedua karena sejalan dengan filsafat pendidikan Islam yang menempatkan manusia sebagai khalifah fi al-ardh, subyek yang menerima amanah untuk mengelola kehidupan dunia dengan berbasis keimanan kepada Allah swt.

Adalah suatu fakta yang tak dapat dibantah bahwa tingkat pendidikan umat Islam, kuhususnya di Indonesia masih sangat rendah, terutama jika dibandingkan dengan negara-negara maju di Asia, seperti Jepang dan Malaysia. Lebih memprihatinkan lagi bahwa tingkat pendidikan perempuan dan angka partisipasi perempuan dalam dunia pendidikan di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim masih sangat memprihatinkan. Mengapa ini terjadi? salah satu hipotesa yang dapat dikedepankan adalah bahwa pengelolaan pendidikan Islam pada umumnya masih bersipat tradisional, belum bersifat profesional.

Berbicara tentang pengelolaan pendidikan Islam profesional akan membawa kita pada diskusi mengenai sejumlah elemen penting dalam pendidikan. Akan tetapi, dalam tulisan terbatas ini, penulis akan menyoroti tiga elemen dasar, yaitu tujuan pendidikan, materi pendidikan, dan metododologinya. Ketiga elemen dasar tersebut akan diurakan satu persatu dalam uraian berikut.

a. Tujuan Pendidikan

Dalam konteks Indonesia, pendidikan Islam dipadang sebagai subsistem pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME. Pendidikan Islam di Indonesia sangat diharapkan dapat menunjang pencapaian tujuan pendidikan nasional secara keseluruhan. Para ahli pendidikan Islam sepakat bahwa fungsi utama pendidikan Islam adalah membentuk kepribadian Muslim sehingga terwujud manusia yang bermoral atau berakhlak mulia. Pendidikan harus mampu mewujudkan cita-cita Islam yang mencakup pengembangan potensi rohani dan jasmani manusia sehingga membentuk manusia beriman dan berilmu secara seimbang.

Perlu diberi catatan di sini bahwa keimanan dan ketakwaan manusia, sebagaimana yang ingin diwujudkan, baik dalam penyelenggaraan pendidikan nasional terlebih lagi dalam pendidikan Islam hendaknya jangan diukur atau dilihat secara sempit. Keimanan dan ketakwaan seseorang, misalnya tidak dapat diukur hanya pada hal-hal yang sifatnya legal formal, seperti salat, puasa, rajin menghadiri majelis taklim atau kumpulan zikir, pergi haji dan seterusnya. Lebih fatal lagi kalau diukur dari hal-hal yang bersifat sangat simbolistik, seperti panjangnya janggut bagi laki-laki, panjangnya jilbab buat perempuan, atau seringnya menggunakan label-label syariah dan sebagainya.

Sesungguhnya hanya Allah semata yang mengetahui ukuran keimanan dan ketakwaan manusia. Sebab, Dia lah Zat Yang Maha Mengetahui. Keimanan dan ketakwaan manusia tidak dapat diukur secara kasat mata. Akan tetapi, indikasi keimanan dan ketakwaan seseorang terefleksikan pada seberapa besar empati dan komitmen seseorang pada upaya-upaya berikut: membangun lingkungan yang bersih, baik secara material maupun moral; menolong fakir-miskin; membantu anak-anak dan perempuan terlantar serta kelompok rentan lainnya; mengentaskan kemiskinan; menghindari perilaku korupsi; menjauh dari semua tindakan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dengan dalih apa pun, termasuk kekerasan yang menggunakan alasan agama sekalipun.

Agar pendidikan Islam dapat mewujudkan manusia yang beriman dan bertakwa dengan sejumlah indikasi yang disebutkan tadi, pendidikan hendaknya menyentuh dan mengaktualkan ketiga aspek penting dalam diri manusia secara bersamaan, yakni aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Inilah problemnya, karena dalam realitas sosial di masyarakat pendidikan Islam pada umumnya baru menyentuh aspek kognitif, dan itu pun belum optimal. Hasilnya seperti yang kita saksikan, yaitu manusia-manusia yang mengerti Islam, tetapi kurang mampu atau bahkan tidak mampu menginternalisasikan atau menghayati makna hakiki ajaran Islam, apalagi mengimplementasikan pengetahuan keagamaannya itu ke dalam perilaku islami sehari-hari. Konsekuensi logis dari pelaksanaan pendidikan Islam yang demikian adalah munculnya ribuan sarjana Muslim tetapi belum memberikan kontribusi positif bagi bangunan peradaban Islam, belum memberikan solusi yang signifikan terhadap berbagai problem sosial kontemporer yang dihadapi masyarakat.

Pendidikan Islam harus mampu mengubah dan mengembangkan ketiga potensi dasar manusia: pengetahuan, sikap dan perilaku ke arah lebih baik, lebih positif, lebih arif dan lebih manusiawi. Pendidikan harus mengubah pengetahuan dan wawasan manusia menjadi lebih luas dan terbuka; mengubah sikap manusia ke arah lebih inklusif, lebih toleran, lebih pluralis, dan lebih humanis sehingga menjadi lebih empati terhadap sesama, serta lebih peduli pada kelestarian lingkungan dan alam semesta; dan mengubah perilaku manusia ke arah perilaku lebih santun dan bermoral. Ringkasnya, tujuan akhir pendidikan Islam adalah membentuk manusia berbudi-pekerti luhur atau berakhlak mulia.

Pertanyaan muncul, apa saja indikasi nyata dari berakhlak mulia itu? Paling tidak, indikasinya dapat dilihat pada dua aspek. Pertama, sikap senantiasa taat dan patuh kepada Allah swt. dengan melakukan semua perintah dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, memiliki kepekaan sosial yang tinggi sehingga selalu tergugah untuk menyelesaikan problem-problem kemanusiaan yang terjadi di sekitarnya, menghormati sesama manusia tanpa melihat kepada status sosial, warna kulit, suku bangsa, jenis kelamin, dan bahkan tanpa memandang agamanya; dan menyayangi makhluk lain; serta memelihara kelestarian lingkungan. Dengan ungkapan lain, tujuan pendidikan Islam adalah memanusiakan manusia; menjadikan manusia lebih manusiawi; manusia yang bukan hanya memiliki kesalehan individual, tetapi juga kesalehan sosial. Manusia yang meyakini keberadaan dan keesaan Tuhan; memiliki empati kepada sesama, serta selalu berpihak kepada kelompok manusia yang termarjinalkan (mustadh'afin), seperti anak-anak yatim, anak-anak jalanan, anak-anak korban perang dan konflik, fakir miskin, para penyandang cacat (disable people), perempuan, buruh kasar, dan orang-orang yang mengalami kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi.

b. Materi Pendidikan Islam

Materi pendidikan Islam, khususnya di perguruan tinggi hendaknya dikemas dengan mengacu kepada epistemologi atau filsafat keilmuan agama Islam. Epistemologi ini perlu diperkenalkan sejak dini kepada mahasiswa pada masing-masing fakultas oleh setiap dosen bidang studi sehingga proses humanisasi ilmu-ilmu keislaman dan ilmu-ilmu keagamaan dapat berlangsung sejak awal. Pengenalan itu perlu dalam rangka mengantarkan keilmuan studi keislaman berdialog dengan disiplin ilmu lain, seperti keilmuan humaniora dan keilmuan sosial dengan fondasi epistemologi dan filsafat keilmuan studi keislaman corak baru.

M. Amin Abdullah, pakar pendidikan nasional menegaskan spesialisasi keilmuan apa pun, termasuk ilmu-ilmu agama Islam, yang terlalu kaku dan rigid tidak lagi menarik bagi generasi ilmuan studi Keislaman kontemporer. Sebaliknya, diperlukan pendekatan multi dan interdisiplin ilmu untuk mengembangkan dan memperkaya wawasan keilmuan ilmu-ilmu agama Islam serta membongkar ketertutupan dan kekakuan disiplin keilmuan agama yang hidup di dalam bilik-bilik sempit epistemologi dan institusi fakultas yang dibangun sejak dini di fakultas-fakultas yang ada di perguruan tinggi Islam, seperti STAIN.

Akibatnya, para alumni fakultas Ushuluddin pada umumnya tidak mengenal atau kurang peduli terhadap paradigma keilmuan Syari'ah begitu pula sebaliknya. Kalau terhadap paradigma keilmuan yang masih serumpun, seperti keilmuan Syari'ah, Tarbiyah, Dakwah sudah tidak saling mengenal dan tidak saling menunjang, apalagi terhadap keilmuan bidang-bidang studi umum, seperti MIPA, Kedokteran, Biologi. Realitas ini membawa implikasi yang luas dalam kehidupan sosial, di antaranya para alumni perguruan tinggi Islam akan gamang menghadapi realitas kehidupan keilmuan di luar dirinya, dan menjadi kurang percaya diri menghadapi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan di luar bidang ilmu digelutinya.

Muhammad Abid al-Jabiri, pemikir Islam kontemporer membagi corak epistemologi ilmu agama pada tiga kelompok dasar, yaitu epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani. Corak Epistemologi Bayani didukung oleh pemikiran Fikih dan Kalam, sedangkan corak Epistemologi Irfani diimplementasikan dalam model pemikiran tasawuf. Sementara itu, corak Epistemologi Burhani bersumber pada realitas (al-waqi'), baik realitas alam, sosial, humanitas maupun realitas keagamaan. Ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi Burhani disebut sebagai al-ilm al-husuli, yakni ilmu yang dikonstruksikan melalui premis-premis logika, bukan melalui otoritas teks seperti dalam corak keilmuan Bayani, bukan pula melalui otoritas intuisi seperti dalam corak Irfani.

Menilik dari sumber ilmunya, dapat dijelaskan perbedaan ketiga corak keilmuan tadi sebagai berikut. Sumber ilmu dari corak epistemologi Bayani adalah teks, sedangkan sumber ilmu untuk corak epistemologi Irfani adalah pengalaman langsung. Adapun, corak epistemologi Burhani sumber ilmunya berasal dari realitas (al-waqi'). Lalu, bukan hanya sumber keilmuan dari ketiga corak keilmuan itu yang berbeda, melainkan juga tolok ukur validitas keilmuan masing-masing.

Tolok ukur epistemologi bayani sangat tergantung pada keintiman hubungan dengan teks dan realitas. Epistemologi irfani justru mendasarkan tolok ukur mereka pada kematangan dan kedewasaan sosial seseorang, yang tersirat dalam sifat-sifat: empati dan simpati. Berbeda dengan tolok ukur kedua corak keilmuan terdahulu, epistemologi burhani menekankan pada korespondensi atau kesesuaian antara rumus-rumus yang diciptakan akal manusia dan hukum-hukum alam. Selain korespondensi juga ditekankan aspek koherensi atau keruntutan berfikir logis dan upaya yang terus menerus demi memperbaiki dan menyempurnakan teori-teori yang telah dibangun dan dikonstruksikan oleh akal manusia.

Corak pemikiran keislaman model Bayani mendominasi hampir seluruh materi pengajaran agama Islam di perguruan tinggi, baik di UIN, IAIN, STAIN, maupun perguruan tinggi umum tanpa ada perbedaan antara negeri dan swasta. Bukan hanya itu, pengajaran agama di pesantren-pesantren juga secara dominan menggunakan model Bayani. Masalahnya, penggunaan model Bayani itu bersifat hegemonik sehingga menafikan keberadaan dan kehadiran kedua corak pemikiran keislaman lainnya, yaitu Irfani, dan Burhani. Akibat dominasi pola pikir tekstual Bayani dalam pendidikan Islam terlihat perilaku keberagamaan masyarakat umumnya sangat rigid dan kaku. Mereka kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat kontekstual.

Kelemahan paling mendasar dari epistemologi Bayani atau tradisi nalar tekstual adalah ketika berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas agama lain. Mereka yang menganut pola pikir model tekstual-bayani pada umumnya mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif, apologis dan polemis. Nalar epistemologi Bayani selalu mencurigai akal pikiran karena dianggap akan menodai kebenaran tekstual. Oleh karena itu, sudah waktunya merumuskan kembali bangunan materi pendidikan dan keilmuan Islam dengan mempertimbangkan ketiga corak epistemologi tadi: epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani.

c. Metodologi Pendidikan Islam

Kritik terhadap metodologi pendidikan Islam di pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah, antara lain bahwa pelaksanaannya sangat didominasi oleh sikap pendidik yang monolog dan banyak bicara. Materi dan bahan ajar yang digunakan pun sangat tekstual, peserta didik lebih diarahkan kepada kemampuan menghafal, bukan diarahkan pada kemampuan berfikir kritis dan analitis. Konsekuensinya, peserta didik lebih banyak dijejali materi dari teks-teks yang digunakan para pendidik, sedikit sekali kesempatan mengeksplorasi kemampuan kritis mereka. Mereka hanya mendapatkan informasi secara tekstual dari buku teks yang diwajibkan dan sudah tentu sangat terbatas jumlah dan ragamnya. Akibatnya, peserta didik dijauhkan dari lingkungan keseharian mereka yang justru merupakan sumber belajar yang sangat kaya.

Kritik yang sama juga ditujukan kepada pelaksanaan pendidikan Islam di perguruan tinggi. Mahasiswa umumnya diarahkan menguasai teks yang lepas dari pengalaman mereka. Materi pendidikan yang disajikan di ruang kuliah sangat berbeda dengan realitas sosiologis di masyarakat. Pendidikan tidak membuat mahasiswa berempati dan peka terhadap lingkungan di mana mereka hidup; tidak membuat mereka menjadi empati terhadap persoalan kemanusiaan yang bergumul di sekitar mereka. Pendidikan tidak menjadikan mahasiswa tergugah nuraninya dan kemudian aktif mencari solusi terhadap pelbagai problem sosial yang terjadi di sekitarnya, perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme, perilaku konsumeristik dan hedonistik, perilaku kekerasan, termasuk kekerasan atas dalil membela agama, bahaya narkoba, HIV/Aids, minuman keras, perjudian, perkosaan, pornografi, perdagangan anak dan perempuan, perkelahian, penipuan, dan pelacuran.

Beranjak dari tujuan pendidikan yang menekankan pada dua aspek sekaligus: ruhani dan jasmani manusia, maka pilihan metode dalam pendidikan Islam, khususnya tingkat perguruan tinggi lebih fokus kepada upaya penggalian pengalaman konkret mahasiswa untuk kemudian dikembangkan melalui kemampuan analisis sosial, analisis yang kritis dan rasional. Pengajaran tentang fikih, misalnya tidak lagi disampaikan secara monolog dan hanya berpegang pada buku teks yang ada, melainkan diberikan dalam bentuk dialog dengan mengangkat kasus-kasus yang riil dan aktual di masyarakat. Dengan demikian mahasiswa dapat memahami isu-isu fikih aktual yang berkembang di sekitar mereka dan bagaimana mencari solusi yang humanis dan efektif bagi pemecahannya dengan berpedoman pada Qur`an dan Sunnah atau beranalog pada hasil ijtihad para ulama sebelumnya. Metode ini lebih menekankan pada partisipasi aktif mahasiswa sehingga terpacu untuk menggali segenap potensi atau pengalaman yang ada dalam diri mereka untuk kemudian disampaikan di dalam kelas di hadapan dosen dan sesama mahasiswa lalu didiskusikan secara terbuka dan demokratis. Dosen hanya memfasilitasi agar diskusi berjalan efektif dan tiba pada kesimpulan yang memuaskan semua pihak yang terlibat dalam proses belajar mengajar tersebut.

Pendidikan Islam hendaknya berorientasi pada pendidikan yang demokratik. Sejumlah pakar pendidikan, seperti Freire menandaskan bahwa pertumbuhan daya intelektual seseorang hanya dapat berjalan dengan baik manakala ia diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, menyampaikan opini dan mengekspresikan diri sebebas-bebasnya. Tidak akan terbangun intelektual tanpa membebaskan pikiran manusia dari berbagai bentuk kungkungan, pembatasan dan penjajahan. Ciri utama pendidikan demokratik adalah mengikutsertakan seluruh pelaku pendidikan: dosen dan mahasiswa secara bersama-sama dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan proses pendidikan tersebut. Para mahasiswa sesungguhnya memiliki obyek dan persoalan yang ingin mereka pelajari karena dalam hidup kesehariannya mereka menemukan persoalan-persoalan hidup yang membutuhkan solusi. Akan tetapi, pendidikan selama ini hampir selalu menempatkan mahasiswa sebagai obyek, belum sebagai subyek. Dalam banyak proses belajar, mahasiswa hampir tidak pernah menentukan sendiri apa yang ingin diperbuat atau apa yang diingin diraih berkaitan dengan pendidikan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Karena itu, pendidikan Islam hendaknya menfasilitasi mahasiswa secara demokratis untuk mengenali sendiri kebutuhan mereka dan problem yang mereka hadapi serta membantu mereka memecahkan persoalan mereka secara mandiri. Dengan ungkapan lain, melalui pendidikan mahasiswa dilatih hidup secara demokratis, bisa menerima dan memberikan pendapat, bisa berbeda pendapat dengan orang lain tanpa menimbulkan perasaan tidak nyaman. Menghargai orang lain tanpa mengorbankan prinsip diri sendiri.

Pendsidikan Islam hendaknya bersifat membebaskan. Memposisikan mahasiswa sebagai subyek berarti membebaskan mereka dari belenggu dan ikatan seperti dialami selama ini dalam hampir setiap aktifitas pendidikan. Tentu disertai dengan tanggung jawab, bukan kebebasan tanpa batas. Pendidikan dengan demikian dirasakan tidak membelenggu, melainkan membebaskan. Mahasiswa tidak diperlakukan sebagi wadah kosong yang dapat diisi apa saja dalam oleh para pendidiknya. Bentuk penyelenggaraan pendidikan selalu mempertimbangkan kebutuhan mahasiswa karena itu selalu ada upaya melakukan need assesment. Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan dan bukan kewajiban. Pendidikan yang membebaskan hanya dapat diwujudkan melalui aktualisasi para mahasiswa dalam proses belajarnya. Mereka dapat melakukan berbagai kegiatan yang dapat dikontrol benar dan salahnya, baik dan tidaknya dan dari sini mereka memperoleh pengalaman nilai-nilai untuk kehidupannya nanti.

Pendidikan Islam hendaknya bersifat konstruktif. Pendidikan Islam, terutama di pesantren dan madrasah sangat menekankan pada kemampuan menghafal, bukan kemampuan memahami. Sementara dalam pendidikan modern dikenal suatu pola yang disebut pendidikan yang konstruktif. Pola ini berkaitan dengan upaya pengembangan konseptual dan dimaksudkan agar mahasiswa mampu menyusun konsep sendiri. Kemampuan ini sangat penting dalam membentuk manusia yang inovatif, kreatif, dan mandiri, bukan manusia yang cuma tahu menghafal dan taqlid buta pada pendapat ulama sebelumnya. Pendidikan konstruktif merupakan proses pembelajaran induktif yang berati mengangkat tinggi nilai-nilai faktual empirik. Pendidikan konstruktif merupakan salah satu pendekatan pendidikan konseptual. Pendidikan harus mampu membuat mahasiswa memahami dengan baik materi yang dipelajarinya untuk kemudian berani mengkonstruksikan apa yang dipahaminya itu dalam bahasanya sendiri, atau bahkan mampu melahirkan teori baru yang diharapkan berguna bagi perkembangan keilmuan dan bangunan peradaban manusia.

Terakhir, pendidikan hendaknya bersifat humanis, yakni berorientasi kepada kepentingan mahasiswa, bukan kepentingan pendidik. Menurut Freire, pendidikan yang memperhatikan keperluan mahasiswa atau yang memperhatikan aspek hak asasi manusia (HAM) adalah pendidikan yang humanis. Pendidikan bercorak humanis memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada mahasiswa untuk berfikir rasional dan kritis, namun tetap dalam koridor yang dapat dipertanggungjawabkan. Koridornya adalah penghargaan kepada manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, semakin kita mengerti akan kewajiban menghargai dan memenuhi hak-hak asasi manusia, semakin kita sadar dan bertanggungjawab untuk membatasi kebebasan diri kita sendiri.

III. Peningkatan Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan

Untuk konteks Indonesia upaya peningkatan sumber daya manusia (SDM) merupakan hal yang niscaya dan seharusnya menjadi prioritas utama dalam pembangunan bangsa. Perlunya peningkatan SDM tersebut, terutama karena rendahnya tingkat kualitas manusia Indonesia sebagaimana terbaca dalam laporan resmi badan dunia UNDP. UNDP melalui Human Development Report tahun 2002 melaporkan tingkat kemajuan manusia di seluruh dunia. Ukuran kemajuan ini didasarkan pada penilaian terhadap tiga variable utama, yaitu tingkat kesehatan dan usia hidup manusia (long and healthy life); pengetahuan (knowledge) dan kelayakan standard hidup manusia (a decent standard of living). Untuk tingkat Asia dijumpai laporan berikut. Human Development Index (HDI) tahun 2000 Indonesia menduduki peringkat ke-109 dengan nilai akumulatif 0,688. China 0,762 (peringkat ke-96), Filipina 0,754 (peringkat ke-77), Thailand 0,752 (peringkat ke-70), Malaysia, 0,782 (peringkat ke-59), Brunei Darussalam 0,856 (peringkat ke-32), Singapura 0,885 (peringkat ke-25), Jepang 0,933 (peringkat ke-9). Laporan tersebut seharusnya membuka mata kita untuk mengakui secara jujur bahwa di tingkat Asia saja Indonesia berada pada urutan 109, hanya setingkat di atas negara-negara Afrika yang miskin dan dilanda perang.

Sementara itu, dilaporkan pula bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selama 200 tahun terakhir mengalami kemajuan sangat cepat, bahkan lebih cepat dari apa yang pernah diprediksikan para pakar. Perkembangan iptek 200 tahun belakangan ternyata jauh lebih cepat dari perkembangan iptek 2000 tahun sebelumnya. Tentu saja perubahan ini berdampak besar terhadap pola perilaku manusia, termasuk di dalamnya perilaku sosial keagamaan mereka. Umat Islam Indonesia harus merespon perubahan tersebut melalui pendidikan.

Mengapa pendidikan? Sebab, pendidikan merupakan bentuk investasi atau penanaman modal untuk suatu bangsa yang amat penting. Di antara semua bentuk investasi yang dilakukan suatu bangsa, pendidikan yang baik dan profesional merupakan investasi yang paling penting, paling produktif dan paling menjanjikan. Karena itu sudah sangat sewajarnya jika pendidikan diposisikan pada puncak skala prioritas pembangunan bangsa dan negara. Untuk merealisasikan hal ini tentu dibutuhkan kemauan politik yang kuat dari para pimpinan negara, terlebih lagi karena pendidikan merupakan jenis investasi jangka panjang. Rata-rata hasil pembangunan bidang pendidikan baru terlihat setelah suatu jangka waktu tertentu, umumnya setelah 20 tahun atau satu generasi. Itulah tantangannya sehingga investasi di bidang pendidikan ini sering tidak menarik kalangan investor yang ingin cepat-cepat meraih keuntungan. Untuk keberhasilan pendidikan dibutuhkan kesabaran, keuletan, dan kegigihan dari semua elemen masyarakat, termasuk ketabahan menunda berbagai harapan kesenangan. Sekedar catatan, bahwa Indonesia tercatat sebagai negara yang paling rendah menginvestasikan diri dalam pendidikan.

Pendidikan pada dasarnya adalah suatu usaha sadar yang sengaja dikemas untuk mempersiapkan manusia agar mampu memecahkan pelbagai problem sosial yang dihadapinya sehari-hari sehingga pada gilirannya nanti mereka berhasil hidup di zamannya dengan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, institusi pendidikan menempati posisi yang amat strategis dalam menghadapi perubahan-perubahan dalam masyarakat akibat kemajuan iptek dan tuntutan dinamika manusia.

Mengapa pendidikan sangat relevan dalam upaya-upaya peningkatan SDM suatu bangsa? Sebab, ada ungkapan populer, knowledge is power (ilmu pengetahuan adalah kekuatan). Pendidikan yang berhasil merupakan sumber energi yang luar biasa bagi masyarakat, bangsa dan negara. Keberhasilan suatu bangsa atau negara diukur salah satunya dari unsur keterdidikan masyarakatnya. Semakin tinggi tingkat keterdidikan suatu bangsa semakin tinggi pula tingkat kualitas hidup bangsa tersebut.

Pendidikan memiliki paling sedikit dua macam dampak posistif. Pertama, meningkatkan kemampuan kerja manusia dengan keahlian dan profesionalisme. Pendidikan membekali manusia dengan sejumlah keahlian dan profesionalisme sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri menurut bidang-bidang yang dikembangkan, seperti manajemen, kesehatan, pertanian, keguruan, dan teknologi. Kedua, pendidikan mempunyai dampak besar dalam upaya peningkatan kemajuan berpikir dan bertindak rasional. Pendidikan memiliki andil dalam memperluas cakrawala berpikir dan memperdalam wawasan di segala bidang kehidupan, tak terkecuali dalam kehidupan keagamaan.

Pendidikan memudahkan manusia mengakses informasi seluas-luasnya. Perpaduan informasi dan ilmu pengetahuan merupakan kekuatan yang dahsyat. Sementara itu, dengan memiliki informasi dan pengetahuan yang luas, masyarakat dalam suatu bangsa akan lebih mudah mengenali berbagai alternatif tindakan yang tersedia sehingga pada gilirannya mempermudah mereka untuk menemukan solusi bagi problem yang dihadapinya.

Islam secara tegas mengajarkan bahwa ilmu dan iman merupakan syarat bagi kesuksesan hidup di dunia menuju kehidupan akhirat yang abadi. Karena itu, Tuhan akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan berilmu ke tingkat yang sangat tinggi. Ada jaminan Tuhan bahwa mereka yang memiliki iman dan ilmu akan selalu bijaksana dan bersikap lapang dada karena mereka memiliki wawasan yang luas dan pengetahuan yang dalam. Mereka akan bersikap empati, peduli dan toleran terhadap sesama manusia, sekali pun berbeda agama dan kepercayaan (QS, 58:11).

Sebagai penutup, saya merekomendasikan tiga aksi konkret untuk pembangunan dan pembaruan pendidikan Islam di masa depan sehingga lembaga tersebut secara profesional menghasilkan sumber daya manusia Indonesia yang handal, yang kelak akan mengangkat harkat dan martabat bangsa dan umat Islam menuju baldatun thayyibah wa rabbun ghafur. Ketiga aksi dimaksud adalah upaya-upaya rekonstruksi budaya, revisi peraturan dan perundang-undangan, serta reinterpretasi ajaran agama. Upaya-upaya rekonstruksi budaya ke arah budaya damai, gemar membaca, cinta ilmu, dan senang berkarya harus dimulai sejak dini di lingkungan keluarga. Keluarga harus mampu menanamkan kepada seluruh anggotanya nilai-nilai kemanusiaan yang luhur, rasa empati dan kepedulian kepada sesama serta kecintaan terhadap lingkungan. Upaya merevisi peraturan dan perundang-undangan yang tidak kondusif bagi pelaksanan pendidikan merupakan agenda yang harus dicermati oleh semua pihak atau merumuskan peraturan baru yang memihak pada kemajuan lembaga pendidikan Islam. Terakhir, upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama ke arah pemahaman yang inklusif, toleran, humanis dan ramah kepada perempuan menjadi catatan yang sangat penting dalam membangun suasana pendidikan Islam yang humanis, demokratik, dan membebaskan.

Melalui lembaga pendidikan Islam inilah komunitas Islam Indonesia dapat mewujudkan SDM yang berkualitas yang pada gilirannya akan mempromosikan ajaran Islam yang ramah dan sejuk serta akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaa sehingga pada akhirnya Islam sungguh-sungguh menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil alamin). In urîdu illa al-ishlâh mastatha’tu. Wa mâ tawfîqiy illâ billâh. Wa Allah a'lam bi as-shawab.

DAFTAR BIBLIOGRAFI

Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006.

-----------------------, Falsafah Kalam di Era Post Modernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995.

Al-Ghazaly, Muhammad, Al-Sunnah al-Nabawiyyah: Baina ahl al-Fiqh wa ahl al-Hadist, Dar al-Syuruq, Beirut, 1989.

Al-Jabiri, Muhammad Abid, Al-Aql al-Siyasy al-Araby: Muhaddidatuh wa Tajalliyatuh, Al-Marqaz al-Tsaqafy al-Araby, Beirut, 1991.

------------------------------, Taqwin al-Aql al-Araby, Al-Marqaz al-Tsaqafy al-Araby, Beirut, 1990.

Al-Naim, Abdullahi Ahmed, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and International Law, Syracuse University, New York, 1990.

----------------------------, Dekonstruksi Syari`ah (terjemahan), LKiS, Yogyakarta, 1995.

Al-Suyuthi, Jalal al-Din, Al-Itqan fi Ulum al-Qur'an, Dar al-Fikr, Kairo, t.t.

---------------, Al-Asybah wa an-Nadzair fi al-Furu', Dar al-Fikr, Kairo, t.t.

Arkoun Mohammed, Rethinking Islam Today, Center for Contemporary Arab Studies, Washington, 1987.

Barbour, Ian G., Issues in Science and Religion, Harper Tourchbooks, New York, 1996.

Binder, Leonard, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, The University of Chicago, Chicago, 1988.

Boullata Issa J. (Ed.), Anthology of Islamic Studies, McGill Indonesian IAIN Development Project, Montreal, 1992.

EL Fadl, Khaled Abou, Speaking in God's Name: Islamic Law, Authority and Women, One World Publications, Oxford, 2001.

Esack, Farid, Qur'an, Liberation & Pluralism, One World Publications, Oxford, 1997.

Furchan, Arief, Transformasi Pendidikan Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2004

Khallâf, 'Abd al-Wahhâb, 'Ilm Ushûl al-Fikih, cet. 12, Dâr al-Qalam, Mesir, 1978.

Habermas, Jurgen, Knowledge and Human Interest, (terjemahan) Beacon Press, Boston, 1971.

Hidayat, Komaruddin, Problem &Prospek IAIN: Antologi Pendidikan Tinggi Islam, Departemen Agama, Jakarta, 2000.

Al-Mawardi, Abu Hasan, Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.

Mulia, Siti Musdah, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Paramadina, Jakarta, 2000.

------------------------, Potret Perempuan Dalam Lektur Agama, (Pidato Pengukuhan Sebagai Profesor Riset), Departemen Agama, Jakarta, 1999.

------------------------, Islam Menggugat Poligami, Gramedia, Jakarta, 2004.

------------------------, Perempuan dan Politik, Gramedia, Jakarta, 2005

------------------------, Muslimah Reformis, Mizan, Bandung, 2005

------------------------(Ed.), Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft KHI, Departemen Agama, Tim Pengarusutamaan Gender, Jakarta, 2004 (naskah belum dipublikasikan).

Nasr, Seyyed Hossein, Ideals and Realities of Islam, Aquarian, London, 1994.

Nasution, Harun, Islam Rasional, Mizan, Bandung, 1995.

Peretz, Don, The Middle East Today, Praeger, New York.

Rida, Muhammad Rasyid, Tafsir al-Manar, Jilid 5, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.

Sjadzali, Munawir, “Reaktualisasi Ajaran Islam,” dalam Iqbal Abdurrauf Saimima (ed.), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Pustaka Panjimas, Jakarta, 1988.

Al-Syaibany, Omar Mohammad Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam (Terjemahan oleh Hasan Langgulung), Bulan Bintang, Jakarta, 1979.

Ibn Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar`iyah, Dar al-Kitab al-Gharbi, 1951.

Al-Jaza'iri, Abdurrahman, Al-Fikih ala Madzahib Al-Arba'ah, Jil. IV, Dar al-Fikr, Beirut, t.t.

Zaid, Nashr Hamid Abu, Mafhum al-Nash: Dirasat fi Ulum al-Qur`an, al-Haiyah al-Mishriyyah al`Ammah li al-Kitab, Kairo, 1990.

----------------, Naqd al-Kitab al-Diny, Sina li al-Nasyr, Kairo, 1990.



[1] Disampaikan sebagai Orasi Ilmiyah dalam acara wisuda IV S1 Sekolah Tinggi Agama Islam Azziyadah tanggal 22 Juli 2006 di Jakarta.

[2] Professor Riset Bidang Lektur Agama dan Dosen Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.