29 September 2008

Puasa dan Hak Kesehatan Reproduksi

PUASA DAN HAK KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN

Siti Musdah Mulia[1]

Puasa dan Perempuan

Al-Qur’an menginformasikan bahwa selain puasa Ramadhan, ada bentuk puasa lain, yaitu puasa bicara. Uniknya, puasa bicara ini hanya ditujukan kepada seorang perempuan bernama Maryam. Dia bukan perempuan biasa, melainkan perempuan tegar dan perkasa. Ibu dari seorang nabi agung, Isa alaihissalam. Bukan hanya itu, Al-Qur’an mengabadikan namanya dalam satu surah bernama Surah Maryam, dan dalam surah itu dia juga dilukiskan sebagai manusia suci. Tatkala dia difitnah karena melahirkan anak tanpa ayah, Allah menyuruh dia puasa. (Q.S. Maryam, 19:26). Bagi orang yang pernah mencoba ibadah unik ini mengatakan bahwa puasa bicara jauh lebih sulit ketimbang puasa biasa. Menahan diri dari berbicara ternyata jauh lebih berat dari menahan makan dan minum.

Puasa Maryam dalam bentuk menahan diri tidak berbicara sepatah kata pun. Maryam dilarang menjelaskan apa pun, dan Allah swt. kemudian memberi mukjizat pada Isa a.s. yang masih bayi untuk menjelaskan sendiri identitasnya. Dia mengatakan: ”sesungguhnya aku adalah utusan Tuhan, nabi pembawa kabar gaembira”. Kelahirannya berbeda dengan manusia biasa, yakni tidak membutuhkan kehadiran laki-laki (Q.S. Maryam, 19:23-36).

Ayat-ayat tentang Maryam seharusnya memberi inspirasi bagi pengakuan terhadap keunggulan kemanusiaan perempuan, sekaligus kemuliaan seorang ibu. Perempuan ternyata dapat menjadi ibu tanpa bantuan laki-laki. Sebaliknya, dalam sejarah kemanusiaan belum dijumpai satu pun laki-laki dapat menjadi ayah atau punya anak tanpa bantuan perempuan (mungkin nanti dengan teknik kloning?). Bahkan, kenyataan ini seharusnya menyadarkan manusia tentang pentingnya organ reproduksi perempuan, terutama organ rahim. Bukankah istilah silaturrahim, salah satu ajaran inti dalam Islam, berasal dari akar kata rahim? Itu artinya betapa penting hubungan kasih sayang di antara manusia, kasih sayang yang dipertautkan oleh rahim ibu.

Namun, realitas sosiologis di masyarakat menunjukkan bahwa hak-hak perempuan berkaitan dengan fungsi rahim atau populer dengan istilah hak dan kesehatan reproduksi masih kurang mendapatkan apresiasi yang layak. Buktinya? Lihat data nasional tentang angka kematian ibu melahirkan (AKI) yang sungguh memprihatinkan. Ironisnya, itu terdapat di negeri yang penduduknya diklaim sangat religius. Indonesia menduduki ranking terburuk di ASEAN untuk kematian ibu melahirkan. Secara nasional tercatat sebanyak 324 per 100.000 kelahiran hidup. Artinya, setiap 30 menit, ibu meninggal. Setahun tercatat rata-rata 15.000 ibu meninggal karena melahirkan. Jika dibandingkan dengan bencana Tsunami di Aceh, sesunggguhnya kondisi ini merupakan bencana kemanusiaan yang lebih dahsyat. Hanya karena para ibu yang meninggal itu tidak bersamaan waktu dan lokasinya sehingga jenazah mereka tidak terkapar berjejeran seperti korban Aceh. Tidak menyentak media pers, dan lalu kita semua abai dengan bencana ini. Pertanyaan muncul, mengapa Angka Kematian Ibu begitu tinggi di negeri yang mayoritas penduduknya mengaku Islam? Bukankan Islam adalah agama yang paling vokal bicara tentang pentingnya pemuliaan terhadap kaum ibu? Sorga terletak di telapak kaki ibu, demikian ajaran yang selalu didengungkan.

Sejumlah penelitian mengungkapkan faktor penyebab AKI adalah ketidakpedulian pemerintah terhadap pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan; hukum dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kelompok rentan, kemiskinan; kebodohan; kekerasan dalam rumah tangga akibat relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga; serta masih kuatnya interpretasi agama yang bias jender dan tidak ramah perempuan.

Hak Kesehatan Reproduksi Perempuan

Hak reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Al-Ghazali, ulama besar abad ke-12, menulis dalam bukunya ihya` `Ulumuddin: di antara kewajiban negara memberikan jaminan bagi terpenuhinya lima hak dasar manusia, yaitu: hak hidup; hak kebebasan berkeyakinan; hak kebebasan beropini; hak properti; dan hak reproduksi. Menarik dicatat bahwa perbincangan tentang hak-hak reproduksi di tingkat internasional pertama kali digelar di Kairo tahun 1994. Salah satu alasan mengapa konferensi diadakan di Kairo adalah meluasnya kecenderungan di negara-negara Islam terhadap pengingkaran hak-hak reproduksi perempuan.

Dokumen Kairo menyatakan: “Hak dan kesehatan reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi oleh negara. Hak-hak reproduksi berlandaskan pada pengakuan terhadap hak asasi tiap pasangan dan individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menetapkan jumlah, jarak dan waktu kelahiran anak; hak memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi; serta hak menikmati kesehatan reproduksi yang optimal. Suami-isteri secara setara berhak mengambil keputusan tentang reproduksinya yang bebas dari segala bentuk diskriminasi, pemaksaan atau kekerasan. Perhatian penuh harus diberikan demi meningkatkan sikap saling menghormati secara setara dalam relasi laki dan perempuan, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pendidikan dan pelayanan untuk remaja sehingga mereka mampu mengatasi masalah seksual secara positif dan bertanggung jawab”. Setiap perempuan mempunyai hak terbebas dari resiko kematian karena kehamilan dan melahirkan. Termasuk juga hak memilih bentuk keluarga, dan hak merencanakan keluarga. Mencakup pula hak mendapatkan pelayanan dan perlindungan kesehatan, termasuk hak atas informasi, keterjangkauan, pilihan, keamanan, kerahasiaan, harga diri, kenyamanan, dan kesinambungan pelayanan kesehatan, serta hak atas kesetaraan, dan bebas dari segala bentuk diskriminasi dalam kehidupan keluarga.

Puasa sebagai bentuk mekanisme pengendalian diri, termasuk pengendalian terhadap organ-organ reproduksi, seharusnya mampu membuat pelakunya peduli dan berempati terhadap bencana kemanusiaan berkaitan dengan AKI yang sangat tinggi. Puasa hendaknya membuat umat Islam semakin sensitif pada problem-problem kemanusiaan yang nyata dalam masyarakat. Puasa hendaknya menjadi mekanisme pengendalian diri yang efektif bagi kedua pasangan, suami-isteri untuk memastikan tidak ada lagi diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan dalam kehidupan keluarga. Melalui ibadah puasa, kita berharap para pengambil kebijakan segera mengeluarkan aturan-aturan yang memihak kepada pemenuhan hak kesehatan reproduksi perempuan. Puasa hendaknya sungguh-sungguh membuat kita semua menjadi hamba yang bertakwa (QS. al-Baqarah, 2:183). Hamba yang bertakwa adalah manusia yang peduli dan berempati pada penderitaan sesama, khususnya derita para ibu; dan ikut aktif mencari solusi terhadap problem kemanusiaan di sekitarnya. Selamat berpuasa!



[1] Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tidak ada komentar: