RAHASIA PUASA
Siti Musdah Mulia
Al-Qur’an menegaskan bahwa kewajiban menjalankan ibadah puasa hanya ditujukan kepada orang-orang beriman: perempuan dan laki-laki. Tujuannya jelas, agar mereka menjadi muttaqin (manusia yang bertakwa sepenuhnya kepada Tuhan) (QS. al-Baqarah, 2:183). Tidak heran, kalau hanya sedikit manusia yang mampu menjalankan ibadah puasa dengan benar. Sebab, kewajiban berpuasa ternyata bukan untuk semua manusia, melainkan terbatas pada manusia pilihan.
Puasa itu bertingkat-tingkat. Tingkat pertama disebut puasa umum, yaitu menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual. Tingkat kedua dinamakan puasa khusus, yaitu di samping menahan diri dari tiga hal yang disebutkan terdahulu, juga menahan seluruh anggota tubuh lainnya, seperti mulut, telinga, mata, kaki dan tangan dari perilaku yang berpotensi mendatangkan dosa. Tingkat ketiga, sering disebut sebagai puasa paling khusus. Puasa jenis ini bukan hanya menahan tubuh jasmaniah, melainkan juga aspek batiniah, seperti pikiran, perasaan, dan angan-angan dari semua hal yang berpotensi membawa kepada dosa dan maksiat. Puasa seperti inilah yang dapat menenangkan hati pelakunya dari berbagai godaan, hasrat dan keinginan. Puasa yang mendorong pelakunya untuk menghormati sesama manusia dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Seyogyanya, semakin bertambah usia manusia semakin tinggi pula tingkat amalan puasanya. Manusia terbaik tidak lagi berkutat pada jenis puasa umum, yakni sebatas menjaga diri dari makan, minum dan seks.
Nabi saw. tidak henti-hentinya mengingatkan para pengikutnya agar berpuasa dengan penuh keimanan sehingga puasa itu dapat mengubah kualitas diri ke arah lebih positif, menjadi orang bertakwa. Akan tetapi, dalam realitas sehari-hari dijumpai tidak sedikit manusia berpuasa, namun sikap dan perilakunya tidak berubah secara signifikan. Dalam konteks inilah Nabi saw. menjelaskan bahwa tidak semua pelaku puasa mendapatkan hidayah dan rahmat ilahi. Justru sebagian besar mereka hanya merasakan lapar dan dahaga (HR. An-Nasaiy dan Ibn Majah dari Abu Hurairah).
Peringatan Nabi itu agaknya penting direnungkan secara serius. Sebab, dalam realitas sehari-hari banyak orang mengaku berpuasa, tetapi sebetulnya mereka tidak sungguh-sungguh berpuasa, melainkan hanya mengundur jam makan. Bahkan, jumlah dan kualitas makanan atau minuman yang disiapkan ketika berpuasa lebih banyak dan lebih bervariasi. Buktinya, kebutuhan finansial dan anggaran belanja keluarga selalu meningkat pada bulan Ramadhan dibandingkan bulan lainnya.
Akibatnya, terlihat kasat mata. Aktivitas puasa tidak mampu mencegah para penguasa dan pengusaha melakukan korupsi dan menindas rakyat kacil. Puasa tidak mampu mencegah suami melakukan kekerasan terhadap isteri. Puasa tidak mencegah para Pimpinan Proyek menggelembungkan dana pembangunan. Puasa tidak mencegah para hakim dan jaksa menerima suap. Puasa tidak mencegah para calo memperdagangkan (traficking) perempuan dan anak-anak. Puasa tidak mencegah para pemilik PJTKI memperbudak sesamanya manusia. Puasa tidak mencegah para pengusaha Lapindo mengeksploitasi para korban lumpur. Puasa tidak mencegah anggota dewan melahirkan peraturan yang diskriminatif. Puasa tidak mencegah para tengkulak memanipulasi harga-harga kebutuhan pokok. Bahkan, aktivitas puasa tidak mampu mencegah pemuka agama mendominasi dan mengeksploitasi jamaahnya.
Pertanyaan muncul, lalu untuk apa puasa itu dilakukan? Sejatinya semua ibadah yang dilakukan manusia harus mendatangkan efek positif bagi sesama. Kalau ibadah tidak mendatangkan manfaat bagi sesama manusia untuk apa? Tuhan tidak membutuhkan ibadah manusia karena Dia Maha Sempurna dan Maha Segalanya. Ibadah sepenuhnya harus bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan. Sebaiknya mari waspada: Jangan-jangan kita memang belum puasa dalam arti sesungguhnya. Puasa yang secara bertahap membebaskan manusia dari belenggu ketamakan, keserakahan, kepicikan, kesombongan, kebencian dan kemunafikan.
Puasa adalah amanah, hendaknya setiap manusia menunaikan amanahnya masing-masing dengan sebaik-baiknya (HR. Ibnu Mas’ud dalam Makarim Akhlaq)). Tujuan utama puasa Ramadhan adalah menjadikan manusia bukan hanya beriman, melainkan juga bertakwa kepada Allah swt. (QS. al-Baqarah, 2:183). Salah satu indikasi nyata dari keimanan dan ketakwaan seseorang adalah mampu melaksanakan amanah. Arti amanah mencakup segala sesuatu yang dipercayakan kepada manusia, baik menyangkut hak diri sendiri, hak orang lain, maupun hak Allah swt. Dengan demikian, puasa dan amanah bagaikan dua sisi mata uang. Puasa dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas iman dan takwa, sedangkan amanah merupakan salah satu indikasi yang paling nyata dari keimanan dan ketakwaan. Bahkan, hadis Nabi saw. menegaskan: la imaana liman la amaanata lah (tidaklah beriman seseorang yang tidak melaksanakan amanah). (HR. Ahmad III, 135 dan 210).
Islam adalah agama paling vokal bicara tentang pentingnya amanah. Mengapa? Sebab, pelaksanaan amanah amat menentukan kualitas iman dan takwa seseorang. Itulah sebabnya, Nabi saw. berulang kali bersabda: “Tunaikanlah amanah, dan jangan pernah kamu mengkhianati amanah yang dititipkan kepadamu.” (HR Abu Dawud dan Tirmizi). Karena itu, jangan pernah meremehkan amanah. Sekecil apa pun amanah itu.
Amanah merupakan isu penting dalam Al-Qur’an. Kitab suci ini menyebut kata amanah setidaknya dalam lima makna. Pertama, kata amanah disinggung dalam kaitan dengan isu kesaksian (QS, 2:283). Amanah dalam konteks ayat tersebut bermakna keharusan memberikan kesaksian yang benar dan larangan menyembunyikan kebenaran, mekipun resikonya sangat berat. Kedua, disebutkan dalam isu keadilan (QS, 4:58). Amanah berarti kewajiban menetapkan hukum secara adil, tidak ada diskriminasi, juga tanpa eksploitasi. Ketiga, digunakan dalam kaitan larangan berkhianat (QS, 8:27). Amanah berarti larangan berlaku khianat. Setiap Muslim dan Muslimat diharamkan mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta menghianati amanah yang dipercayakan kepadanya. Keempat, disebutkan dalam konteks sifat manusia terpuji (QS, 70:32). Amanah adalah satu di antara sifat terpuji yang harus dimiliki manusia yang beriman dan bertakwa, yakni sifat manusia yang tidak berkeluh kesah bila mengalami kesulitan hidup, sebaliknya tidak arogan bila mendapatkan kesenangan. Jadi manusia yang amanah adalah manusia yang memiliki integritas kepribadian yang stabil dan mantap, tidak mudah berubah-ubah meski godaan datang silih berganti. Kelima, disebutkan dalam kaitan penciptaan manusia (QS, 33:72). Amanah berarti kemampuan memikul tanggung jawab. Ketika Allah swt. menawarkan amanah untuk mengelola kehidupan dunia kepada langit, bumi, gunung-gunung tak satupun sanggup mengembannya, kecuali manusia. Ternyata, hanya manusia berani menyatakan kesanggupannya.
Menarik dicermati bahwa dalam kaitan dengan pelaksanaan amanah, sejak dini Allah swt. menvonis manusia dengan tudingan negatif sebagai makhluk yang amat zalim dan amat bodoh (QS, 33:72). Mengapa? Karena dalam realitas sosiologis di masyarakat, sebagian besar manusia telah secara vulgar dan terang-terangan, tanpa rasa malu sedikitpun, mempertontonkan perilaku yang amat zalim, amat serakah dan amat bodoh. Buktinya, sangat kasat mata. Sebagai contoh, sudah umum diketahui bahwa tugas sebagai pejabat publik di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif sangat tidak gampang, penuh godaan, penuh fitnah, dan penuh intrik. Walaupun begitu, tetap saja tidak menyurutkan keinginan banyak manusia mengejar jabatan tersebut. Bahkan, orang-orang yang tidak memiliki kapasitas dan kompetensi diri untuk jabatan itupun sangat bersemangat meraihnya. Kalau perlu, dengan jalan pintas, seperti money politic.
Puasa Ramadhan hakikatnya merupakan media pelatihan diri yang efektif, terutama. melatih diri agar terhindar dari semua perilaku negatif, seperti khianat, meremehkan amanah, tidak jujur, suka berdusta, dan gemar berjanji palsu. Sebaliknya, puasa melatih diri terbiasa berperilaku positif, seperti menolong dan menghormati hak orang lain, terutama kelompok rentan dan minoritas, memenuhi janji, berkata jujur, rendah hati dan rela berkurban demi kepentingan orang banyak. Melalui ibadah puasa, diharapkan dapat meningkatkan kualitas ketakwaan individu, yang pada gilirannya mampu mengemban amanah secara lebih profesional. Itulah ciri mukminat dan mukmin sejati. Wallahu a’lam bi as-shawab.