9 Juli 2008

Metodologi Pembarua Hukum Islam

METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM[1]

Siti Musdah Mulia[2]



I. Islam Sebagai Respon Sosial
Islam yang pertama kali diperkenalkan pada abad ke-7 Masehi di suatu komunitas pedagang Arab di wilayah Mekkah adalah dimaksudkan sebagai respon terhadap situasi sosial yang dihadapi masyarakat waktu itu. Problem sosial yang paling krusial dari masyarakat Arab ketika itu menyangkut isu politeisme dan ketimpangan sosio-ekonomi yang kronis.
Islam hadir menawarkan solusi dalam bentuk ajaran monoteisme mutlak (tauhid) dan ajaran keadilan, terutama keadilan ekonomi. Ajaran monoteisme membawa kepada persatuan dan persamaan manusia. Semua manusia adalah bersumber dari Sang Pencipta yang sama dan karena itu semua manusia pada hakikatnya bersaudara. Semua bentuk perbedaan yang ada dalam diri manusia, seperti warna kulit, ras, bahasa, jenis kelamin, gender, dan bahkan agama dikehendaki agar mereka bisa saling mengenal satu sama lain dan saling berinteraksi membangun masyarakat baru yang disebut sebagai "baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur". Pandangan monoteisme pada gilirannya membawa kepada paham humanisme, pluralisme dan egalitarianisme yang merupakan sendi utama bangunan demokrasi di abad modern.
Ajaran keadilan mengajarkan bahwa hanya Tuhan Yang Maha memiliki. Segala kekayaan yang ada di alam semesta: di daratan, langit, dan lautan hanya kepunyaan Allah semata. Manusia hanya diberi izin mengelola dan mengambil manfaat untuk sebesar-besar kepentingan dan kemashlahatan manusia. Karena itu, Islam tidak mengizinkan perilaku diskriminasi dan eksploitasi dalam bentuk apapun dan untuk tujuan apa pun.
Prinsip keadilan ekonomi yang diperkenalkan Islam di masa awal itu bertujuan mengeliminasi praktek riba dan berbagai bentuk perdagangan eksploitatif lainnya yang sudah membudaya dan bahkan dianggap sebagai kewajaran di kalangan para pedagang Mekkah. Sebagai gantinya, Islam menawarkan zakat, sedekah dan infaq yang dijanjikan sebagai "memberi hutang kepada Tuhan" dan akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda di kemudian hari.
Keadilan ekonomi menghendaki adanya keadilan sosial. Keadilan sosial harus ditegakkan melalui hubungan kemasyarakatan yang damai dan harmonis. Hak-hak kelompok rentan diakui. Hak-hak para budak, kaum perempuan, anak-anak yatim, para musafir, tawanan perang, dan kelompok miskin lebih diutamakan. Bangunan masyarakat didirikan di atas fondasi persaudaraan (al-ukhuwah), persamaan (al-musawah), dan kebebasan (al-hurriyah).
Sebelum itu, unit terkecil dari masyarakat, yakni keluarga harus dibenahi terlebih dahulu. Masalah keluarga menempati tempat yang utama dalam ajaran Islam. Tidak ada ajaran dalam hukum Islam yang demikian rincinya seperti hukum keluarga. Islam menghendaki agar hubungan keluarga didasarkan kepada rasa "saling mencintai dan mengasihi", itulah sebabnya mengapa suami-isteri satu sama lain disebut sebagai "pakaian bagi pasangannya." Suami dilarang mengambil kembali semua pemberiannya terhadap isteri jika terjadi perceraian, meskipun pemberian itu berupa setumpukan emas". Tidak ada unsur superioritas dan inferioritas dalam hubungan suami-isteri, demikian juga tidak ada unsur dominasi di dalamnya. Sebab, semua bentuk dominasi selalu berujung pada pengabaian dan pengingkaran hak-hak asasi manusia. Dan ini jelas berlawanan dengan prinsip dasar Islam.

II. Pentingnya Manusia Dalam Ajaran Islam
Islam diajarkan sebagai agama yang menjanjikan harapan hidup yang lebih baik: menjanjikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Karena itu, manusia memiliki tempat yang sangat sentral dalam ajaran Islam, sebagai khalifah fi al-ardh. Islam memandang manusia secara optimis dan positif, yakni sebagai makhluk yang paling mulia dan bermartabat (Q.S, al-Baqarah, 2:30 dan al-Isra`, 17:70). Konsep ini sangat penting, terutama dalam kaitan dengan pemahaman terhadap teks-teks suci keagamaan. Bahwa manusia dengan seluruh pengalamannya merupakan dasar yang amat penting dalam memahami teks-teks keagamaan. Bahwa kemaslahatan dan kebahagiaan manusia harus menjadi pertimbangan utama dalam menafsirkan teks-teks tersebut.
Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia memiliki posisi yang sangat spesifik di mata Tuhan. Manusia adalah khalifah (wakil) Tuhan (QS. al-Baqarah, 2:30). Tugas manusia adalah untuk menterjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta. Karena itu, keunikan manusia adalah bahwa ia mewakili Tuhan di atas bumi ini. Suatu posisi yang teramat tinggi yang bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lainnya, termasuk malaikat sekali pun.
Pertanyaannya, mengapa harus manusia? dimana letak keunggulannya? Ali Syariati dalam bukunya Islam dan Manusia, menjelaskan keunggulan manusia terletak pada akal dan pengetahuannya. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarkan padanya tentang nama-nama yang faktanya mengacu pada berbagai fakta ilmiah, dan inilah kemudian yang dianggap sebagai prototype dari ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan kepada para malaikat, kendati mereka diciptakan dari cahaya, unsur yang dinilai lebih mulia daripada tanah, asal kejadian manusia. Dari sini kemudian Ali Syariati menyimpulkan bahwa kemuliaan seorang manusia bukan terletak pada superioritas rasialnya, melainkan pada pengetahuan dan kecerdasannya.
Keunggulan manusia lainnya, menurut Ali Syariati adalah karena ia terpilih menjadi kepercayaannya (QS. al-Ahzab, 72). Allah telah menawarkan amanah kepada makhluk lainnya, kepada langit, gunung, dan bumi, tetapi mereka menolaknya. Hanya manusia yang menyangggupi amanah itu. Amanah ini dapat ditafsirkan sebagai kehendak dan kemampuan untuk memilih. Kehendak dan kemampuan memilih hanya dimiliki oleh manusia, tidak dimiliki oleh makhluk lainnya dan itu menunjukkan betapa manusia memiliki kebebasan penuh bagi dirinya. Kebebasan akhirnya merupakan hak asasi tertinggi manusia.
Kebebasan yang dimiliki manusia bukan tanpa konsekuensi, melainkan membuat manusia menjadi makhluk yang bertanggungjawab. Islam memandang manusia sebagai satu-satunya makhluk yang bertanggungjawab, bukan saja atas nasibnya sendiri, melainkan juga bertanggungjawab untuk membantu menyukseskan tujuan Tuhan di muka bumi (QS, al-Baqarah, 2:14). Dalam rangka mengemban tugas suci itulah manusia diberi kebebasan penuh, termasuk kebebasan berpikir. Akan tetapi, kebebasan manusia itu bukan tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggungjawab.
Kebebasan, termasuk kebebasan berpikir harus diletakkan dalam kerangka tanggungjawab manusia sebagai makhluk di hadapan Tuhan, sang pencipta. Konsep kebebasan manusia yang dilepaskan dari tanggungjawab hanya akan melahirkan dampak negatif bagi kehidupan dan bertentangan secara diametral dengan tujuan kebebasan itu sendiri. Sebab, tanpa adanya suatu tanggungjawab, tindakan manusia hanya akan melahirkan kezaliman, kebobrokan, dan berbagai bentuk kegiatan destruktif lainnya. Dan ini tentu amat berbahaya, khususnya bagi umat manusia itu sendiri.

III. Metodologi Pembaruan Hukum
Umat Islam hampir sepakat bahwa ijtihad dalam arti pembaruan hukum Islam adalah suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika masih hidup. Sebab, Al-Qur’an dan Hadis meski mempunyai aturan yang bersifat hukum, namun jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan begitu banyaknya persoalan sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum.[3]
Hadis Muaz ibn Jabal mengindikasikan kebutuhan itu dengan sangat jelas. Hadis lain yang sering dijadikan acuan mengenai pentingnya pembaruan ini adalah: "innallaha yab`atsu ala kulli ra`tsi miati tsanah man yujaddidu laha dinaha" (Sesungguhnya Allah akan mengutus setiap seratus tahun seorang pembaru yang akan memperbarui agamanya). Pertanyaan muncul apa saja dari hukum Islam yang boleh diperbarui dan bagaimana cara memperbaruinya?

a. Mengacu Kepada Konsep Maqashid al-Syari`ah
Pembaruan hukum Islam tetap mengacu kepada sumber-sumber hukum Islam yang utama, yakni Al-Qur`an dan Sunnah. Hanya saja pemahaman terhadap kedua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan literal teks, melainkan lebih banyak kepada pemaknaan non-literal atau kontekstual teks. Pemaknaan non-literal terhadap teks-teks suci agama dalam Al-Qur`an dan Sunnah mengacu kepada tujuan-tujuan hakiki syariat atau yang lazim disebut dengan maqashid al-syari`ah.[4] Tujuan syariat secara jelas terimplementasi dalam nilai-nilai keadilan (al-`adl), kemashlahatan (al-mashlahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan (al-musawah), kasih sayang (al-rahmah), pluralisme (al-ta`addudiyah), dan hak asasi manusia (HAM) (al-huquq al-insaniyah).
Imam Al-Ghazali merumuskan nilai-nilai yang terkandung pada maqashid al-syari`ah tersebut ke dalam lima prinsip dasar yang disebutnya al-huquq al-khamsah, yaitu memelihara -dalam arti seluas-luasnya- agama, diri, akal, keturunan, dan harta benda manusia menuju kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin, baik di dunia dan di akhirat. Fiqh yang kita kenal sekarang merupakan rekayasa cerdas pemikiran ulama abad pertengahan yang isinya mencakup empat komponen dasar, yaitu masalah ubudiyah (membahas hubungan transendental manusia dengan Tuhan), muamalah (membahas hubungan manusia dengan sesamanya, makhluk lain dan alam semesta), munakahah (membahas hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan keluarga), dan jinayah (membahas berbagai masalah pidana). Seluruh komponen tersebut merupakan teknis operasional dari lima prinsip dasar (al-Huquq al-Khamsah) yang dirumuskan Al-Ghazali.

b. Meyakini Relativitas Fiqh
Fiqih adalah formulasi pemahaman Islam yang digali dari Al-Qur’an dan Sunnah, karena itu tentu saja sifatnya tidak absolut dan tidak pasti (tidak qath’i). Sebagai hasil rekayasa cerdas pemikiran manusia, tidak ada jaminan bahwa pandangan itu tidak mengandung kesalahan atau kekeliruan di dalam dirinya. Suatu hasil ijtihad biasanya selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-kultural dan sosio-historis masyara-kat di sekitarnya atau pada masa kehidupan para ulama tersebut. Oleh karena itu, suatu hasil ijtihad tidak mungkin berlaku abadi untuk semua manusia sepanjang masa. Boleh jadi hasil ijtihad tersebut cocok untuk kurun waktu tertentu, namun belum tentu cocok untuk kurun waktu yang lain. Boleh jadi suatu ijtihad cocok untuk suatu masyarakat tertentu, namun belum pasti untuk masyarakat lainnya yang memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda. Artinya, kita dapat menerima suatu hasil ijtihad, tetapi penerimaan itu tidak harus menghalangi kita bersikap kritis, atau mencegah kita menerima hasil ijtihad lain yang berbeda tetapi justru sangat sesuai dengan kemaslahatan kita.
Konsep al-Huquq al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih dari Mazhab Hanbali, merumuskan sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri.[5] Pernyataan yang tidak kurang tegasnya dilontarkan oleh Ibnu Rusyd: bahwa kemashlahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan.[6] Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam sampai kepada kesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.[7]
Berangkat dari teori Maqashid al-Syari`ah ini, Ibnu Muqaffa` mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Qur`an ke dalam dua kategori: ayat ushuliyah yang bersifat universal karena menerangkan nilai-nilai utama dalam Islam dan ayat furu`iyah yang bersifat partikular karena menjelaskan hal-hal yang spesifik. Contoh kategori pertama adalah ayat-ayat yang berbicara soal keadilan, sedangkan kategori kedua adalah ayat-ayat yang mengulas soal uqubat (bentuk-bentuk hukuman), dan hudud (bentuk-bentuk sanksi), serta ayat-ayat yang berisi ketentuan perkawinan, waris, dan transaksi sosial. Sayangnya umat Islam lebih banyak terjebak pada ayat-ayat partikular, dan mengabaikan ayat-ayat universal.

c. Menggunakan Tafsir Tematik
Ajaran Islam dalam bentuk prinsip-prinsip dasar termaktub secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ajarannya bersifat universal tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman utama umat Islam diturunkan dalam suatu lingkup masyarakat yang tidak hampa budaya. Karena itu, keduanya memiliki dimensi kemanusiaan di samping dimensi keilahian. Diyakini teks-teks keagamaan dalam wujud Al-Qur’an dan Sunnah sarat dengan muatan nilai-nilai luhur dan ideal, hanya saja ketika nilai-nilai itu berinteraksi dengan beragam budaya manusia tidak mustahil jika dalam pemahaman atau penafsiran dan terlebih lagi dalam implementasinya timbul sejumlah distorsi. Pemahaman yang distortif itu muncul, antara lain karena perbedaan tingkat intelektualitas dan pengaruh latar belakang sosio-kultural dan sosio-historis manusia yang menafsirkannya. Di samping itu, teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri mengandung makna-makna literal dan simbolis. Kosa kata bahasa Arab dikenal sangat kaya makna sehingga satu kata dapat memiliki sejumlah makna yang berbeda tergantung konteksnya.
Beragamnya penafsiran dalam memahami teks-teks keagamaan merupakan keniscayaan, dan itulah agaknya yang dimaksud dengan hadis Nabi saw. yang menyatakan: “Ikhtilaf ummati rahmah” (Perbedaan pendapat di antara ummatku sesungguhnya merupakan rahmat). Untuk itu, dibutuhkan kearifan, ketelitian, dan sikap demokratis dalam membaca teks-teks keagamaan, termasuk yang berbicara tentang pernikahan antaragama. Dengan kata lain, penafsiran baru atas teks-teks agama mendesak dilakukan untuk menemukan kembali pesan-pesan moral keagamaan yang universal, seperti nilai-nilai keadilan, kebebasan, persamaan, persaudaraan, dan perdamaian.
Belajar pada pengalaman mufassir perempuan bernama Aisyah binti Abdurrahman yang dalam sejumlah karyanya selalu menggunakan nama samaran Binti al-Syathi’. Ulama tafsir ini mengembangkan metode tematik (maudu‘ al-wahid) dalam melakukan penafsiran ulang. Minim dan kurangnya metode penafsiran induktif yang digunakan ulama klasik dan Abad Pertengahan mendorong perempuan kelahiran Mesir tahun 1913 ini untuk melakukan tafsir-ulang atas Al-Qur’an. Dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran ilmiah, ia melancarkan kritik tajam terhadap metode penafsiran tradisional atau konvensional sebagaimana terbaca dalam bukunya Al-Qur’an wa Tafsir ‘Asr.
Menurutnya, paling tidak ditemukan lima kekurangan dalam model penafsiran konvensional. Pertama, penafsiran tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan sektarian (al-ta’milah al-‘ashabiyah). Kedua, produk pemahaman keagamaan yang dihasilkan oleh model penafsiran ini kelihatan mengada-ada. Ketiga, penafsirannya amat diwarnai oleh pandangan non-Islam, seperti pandangan “Isra’iliyat” atau bahan-bahan yang berasal dari tradisi Judeo-Kristiani kuno. Keempat, kemukjizatan Al-Qur’an (I’jaz) cenderung diabaikan dalam tafsir konvensional. Terakhir, keunikan dan kedahsyatan retorika Al-Qur’an luput dari pengamatan para mufasir tradisional.[8] Binti al-Syathi’ tidak cuma melancarkan kritik, melainkan juga menawarkan solusi penafsiran yang konkret yang disebut penafsiran silang atau the cross-referential method atau integralistic method. Dinamakan juga inductive method. Metode penafsiran ini dibangun berdasarkan teori yang meyakini bahwa seluruh isi Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisah-pisahkan, satu bahagian dalam Al-Qur’an menjelaskan bahagian lainnya (Al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan). Prinsip-prinsip dasar dari teori penafsiran ini sesungguhnya sudah populer digunakan di masa sahabat dengan istilah tafsir bi al-ma`tsur.
Binti al-Syathi’ melalui teorinya itu ingin mengajak para mufassir untuk kembali memahami Al-Qur’an berdasarkan informasi yang terkandung di dalam diri Al-Qur’an itu sendiri, bukan berdasarkan pandangan atau ajaran dari luar Al-Qur’an. Karena itu, dalam tafsirnya ia menekankan pentingnya pemahaman terhadap kata, kalimat dan struktur bahasa Al-Qur’an. Secara lebih rinci ia menjelaskan metodenya itu ke dalam tiga pendekatan. Pertama, ia menekankan pentingnya memahami arti bahasa kata-kata Al-Qur’an (lexical meaning of any Qur’anic word). Pemahaman terhadap makna asli kata-kata dalam teks Al-Qur’an menurutnya akan sangat membantu mufasir memahami tujuan makna (al-ma’na al-murad) sesuai dengan asbab nuzul ayat. Kedua, menyelidiki serta menyeleksi semua ayat yang berhubungan dengan subjek yang dibahas. Dengan prinsip ini, Al-Qur’an diberi kebebasan dan otonomi untuk berbicara tentang dirinya sendiri sehingga dihasilkan penafsiran yang objektif, bukan penafsiran subjektif yang sarat dengan muatan politis dari para mufasirnya. Ketiga, dalam rangka memahami kata, kalimat dan struktur bahasa Al-Qur’an harus ada kesadaran untuk mengakui adanya teks-teks agama yang turun dalam konteks tertentu atau khusus (as-siyaq al-khas) dan yang turun dalam konteks yang lebih umum (as-siyaq al-am).[9] Dengan kata lain, sebuah penafsiran harus dilakukan dengan pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus.
Wallahu a`lam bi as-Shawab.
[1] Disajikan di STAIN Palu tgl 13 April 2007.
[2] Profesor riset bidang Lektur Keagamaan, dan Dosen Pascasarjana UIN Jakarta.
[3] Penelitian Abdul Wahab Khallaf, pakar ushul fiqh, mengenai ayat-ayat hukum menjelaskan bahwa jumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi ketentuan hukum secara tegas hanya sekitar 5,8% atau sebanyak 368 ayat saja, sedangkan jumlah yang terbesar justru berisi nilai-nilai universal, seperti keadilan, cinta kasih, kedamaian, dan kebebasan yang kesemuanya merupakan pesan-pesan moral keagamaan yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushu Al-Fiqh (Kairo, 1956), cet. VII, hal. 34-35.
[4] Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam bukunya yang terkenal: al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah. Akan tetapi, konsep ini sudah disinggung sebelumnya oleh Al-Juwaini Imam al-Haramain dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.
[5] Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Dar al-Jil, Beirut, T.T. Juz III, h. 3. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh sederetan ulama yang sangat otorotatif di bidang fikih, seperti Al-Ghazali (w. 505H); Fakhruddin al-Razi (w. 606 H); Izzuddin ibn Abdissalam (w. 660 H0; Najmuddin al-Tufi (w. 716 H); Ibnu Taimiyah (w. 728 H.); Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H.); dan Muhammad ibn Tahir al-Asyur (w. 1393 H.).
[6] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil, Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1999, h. 125.
[7] Izzuddin ibn Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am, Dar al-Jil, Kairo, T.T. h 72.
[8]Aisyah Abd Al-Rahman Bint Asy-Syati’, Al-Qur’an wa Tafsir Ashr (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1970), hal. 24-32.
[9]Quraish Shihab, “Penetapan Hukum Islam secara Tekstual dan Kontekstual: Tinjauan Mufassir”, dalam Dialog, No. 35 Th. XVI, Februari 1992, hal. 3-5.

Tidak ada komentar: