9 Juli 2008

Mengenang Peristiwa Tragis 1 Juni 2008

MENGENANG PERISTIWA I JUNI 2008
PENODAAN TERHADAP PANCASILA

Siti Musdah Mulia

Semula tak terpikirkan untuk menulis kejadian tragis yang terjadi pada I Juni 2008. Namun, setiap hari sejak kejadian itu, selalu saja ada pertanyaan dari teman, kerabat dan juga wartawan tentang apakah saya hadir di Monas ketika kerusuhan terjadi, lalu apa yang saya alami di sana, dan bagaimana menyikapi persoalan itu; serta sejumlah pertanyaan lain, mulai dari pertanyaan bernada sinis, seperti “ngapain sih ikutan demo segala” sampai pertanyaan yang terlalu sofisticated untuk dijawab secara spontan.
Masih sangat segar dalam ingatan, Minggu tanggal 1 Juni 2008, hari pertama saya keluar rumah setelah hampir 12 hari terbaring sakit. Saya terserang demam berdarah yang konon katanya penyakit itu tidak lagi ditularkan oleh nyamuk seperti selama ini saya pahami, melainkan karena banyak faktor lain. Tepat jam 12.30 setelah salat Zuhur, saya meninggalkan rumah menuju Monas. Meski dalam kondisi fisik lemah tapi dengan semangat berkobar, saya dengan gembira siap bergabung dalam aksi damai. Aksi dikordinatori oleh AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan). Aliansi ini merupakan gabungan dari sekitar 72 ormas dan LSM yang pro-demokrasi dan pro-pluralisme.
Karena sakit, saya tidak mengikuti rapat-rapat persiapan sehingga tidak tahu di mana persisnya tempat kumpul Aliansi di Monas. Saya merasakan ada sedikit feeling bahwa hari ini akan bersejarah dan mungkin itu sebabnya saya sebentar-sebentar melirik jarum jam. Suatu hal yang tidak biasa dalam keseharian saya. Monas cukup luas sehingga butuh petunjuk jelas dan rinci agar tidak nyasar. Saya hanya dapat info sekilas dari staf ICRP, tempat kumpulnya di Monas arah Gambir. Rencananya, di sini kami hanya akan kumpul untuk start, selanjutnya berjalan menuju bunderan H.I. Saya coba telpon Ilma -biasanya dia rajin menghubungi kalau ada acara- tapi, sia-sia. Telponnya bernada sibuk. Kali ini kok dia tidak telpon? Tanya saya dalam hati. Mungkin mengira saya masih sakit, jadi tidak akan hadir.
Setahu saya tujuan satu-satunya aksi damai ini adalah memperingati hari lahir Pancasila. Peringatan ini dilakukan demi memperkuat ikatan kebangsaan dan keindonesiaan yang semula dirajut oleh para the Founding Fathers kita dengan memilih Pancasila sebagai ideologi negara. Kalau dipikir secara mendalam, pilihan itu tentu tidak mudah, tetapi sangat bijaksana. Muncul pertanyaan mengapa tidak memilih ideologi Islam? Bukankah sebagian besar mereka adalah tokoh-tokoh Islam yang sangat dikenal? Jawabnya tegas, memilih agama sebagai ideologi negara akan sangat problematik. Bicara soal agama berarti bicara soal tafsir, dan bicara soal tafsir pasti sangat beragam, tidak pernah tunggal. Pertanyaannya lalu tafsir mana akan dipedomani pemerintah? Sungguh tidak mudah dan pasti sangat problematik. Saya memuji: betapa cerdas dan bijaknya para pendahulu bangsa ini memilih Pancasila.
Pukul 12.40 telpon genggam saya berdering, Masrucha tanya: “sudah sampai dimana?” Jalan Imam Bonjol jawab saya singkat. Lalu katanya: “Saya bingung nih, temen-temen pada berpencar di banyak tempat. Kami dari KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) lagi ngumpul di dekat tenda jualan makanan. Warna tendanya hijau-kuning.“ Ok, saya segera ke sana. Tidak lama berselang, telpon masuk dari Nia Dinata: “Mbak ada dimana? Kami dan orang-orang film ada di pintu dekat Gambir”. Saya jawab: gak lama lagi sampai. Saya bingung, kenapa mereka tidak berada pada satu tempat?
Pukul 12.50 mobil melintasi stasiun Gambir, saya heran pintu sebelah sini tertutup. Saya memperhatikan sejak stasiun Gambir, ada banyak orang berbaju kaos dengan logo PDIP. Rupanya partai PDIP juga memperingati hari Pancasila. Orang-orang PDIP beranjak pulang, mereka di Monas sejak pukul 8 pagi. Saya juga melihat deretan bus pariwisata dengan spanduk PDIP diparkir di luar pagar Monas. Kesan saya, betapa ramainya Monas hari itu.
Pukul 12.55 mobil memasuki taman Monas dari arah pintu Merdeka Barat. Saya minta sopir berhenti di dekat pintu masuk. “Ibu kan baru sembuh, jangan jalan jauh-jauh dulu, biar kita masuk ke dalam aja. Itu beberapa mobil juga berseliweran di dalam, kata sopir.“ Saya belum sempat jawab karena pandangan langsung tertuju ke sekelompok orang berbaris, umumnya berjubah putih dilengkapi penutup kepala dengan membawa bendera HTI dan FPI. Mendadak terasa jantung berdegup kencang. Terus terang saya heran kenapa merasa tidak nyaman? Bukankah saya telah melewati kelompok PDIP yang secara kuantitas jumlahnya jauh lebih banyak? Mengapa tadi saya tidak merasakan hal yang sama? Mestinya, saya harus merasa lebih nyaman berada dekat dengan para pembela Islam. Pastilah mereka itu berakhlak mulia, sopan santun, dan menghindari perilaku kekerasan. Secara logika sehat, dibandingkan dengan kelompok yang tidak menggunakan simbol agama, tentu berada dekat kelompok bersimbol agama membuat diri lebih tenteram dan damai. Apa yang salah dengan perasaan saya?
Sopir tidak menyelami perasaan saya dan terus mengemudikan mobil masuk ke Monas, bahkan hampir menyerempet barisan HTI dan FPI. Dan itu membuat saya semakin nervous. “Aduhh, jangan cari masalah, kalau kamu nabrak bakal susah kita.” “Bukan saya yang salah bu, kilah sopir. Mereka mestinya tahu aturan, ini jalan umum, boleh demo tapi jangan memonopoli jalan.” Saya potong ucapannya: Sudah lah, lebih hati-hati.” Telpon berdering: “Mbak Musdah di mana? Terdengar suara Masrucha. Sudah di dalam Monas, dekat deretan bendera warna merah, di mana sih kumpulnya? kata saya. “Kita terpencar-pencar, tunggu aja di situ, saya minta anggota KPI menjemput mbak. Lima menit menunggu, saya lalu berjalan menuju tenda jualan makanan dan berada sekitar 20 meter dari barisan HTI dan FPI. Saya melihat mereka sedang menyimak instruksi dari komandannya, tidak terdengar apa yang dibicarakan, hanya terlihat anggotanya menganggguk-angguk, tanda setuju. Saya kaget ada orang menyapa; dan mengenali dia dari Aliansi, hanya lupa namanya. Dia menyarankan, jangan dekat barisan FPI. Saya kembali ke mobil menunggu. Kenapa orang KPI yang mau jemput belum nongol juga. Saya telpon Masrucha; “saya menuju ke sana aja ya.“
Muncul begitu saja ide untuk berkeliling Monas melihat situasi sambil mencari di mana teman-teman Aliansi berfokus. Mobil berjalan pelan mengelilingi tugu Monas, saya melihat banyak sekali orang di sekeliling tugu, ada yang berjualan, ada yang rekreasi dengan keluarga, ada juga beberapa ormas berkumpul di sana. Dari kejauhan saya melihat teman-teman Aliansi dan mobil pengangkut peralatan sound system dan logistik panitia. Setelah mengitari tugu dan tiba di dekat mobil toilet, saya minta sopir berhenti karena melihat pemandangan aneh: saya melihat orang-orang berlarian menuju arah yang berbeda-beda; ada yang berlari menuju tugu, ada juga menuju pintu keluar, ada pula lari ke tengah. Ada apa? Kenapa mereka berlarian? Telpon berdering: “Mbak, situasi kacau-balau, kita diserang FPI” terdengar suara Masrucha berat. Telpon berdering lagi; suara Nia Dinata: ”Mbak kita diserang, dan ada instruksi segera menuju ke Galeri Nasional, seberang Gambir. Monas sudah tidak aman.“
Dengan perasaan bingung saya coba menghubungi Anick, koordinator AKKBB. Telponnya tidak diangkat, demikian pula Guntur. Saya mencoba menelpon beberapa nama lagi, semua tidak nyambung. Telpon masuk: “mbak segera keluar Monas kita ketemu di Galeri Nasional“. Mobil berjalan perlahan ke pintu arah Gambir, saya melihat Ilma, Ais dan beberapa anggota Aliansi. Saya turun dan bertemu rombongan Mas Gun (Goenawan Mohammad) Amanda, Syafii Anwar, dan sejumlah aktivis perempuan. Melihat saya naik mobil, Mas Gun bilang: “berani banget Musdah naik mobil, andai FPI tahu Musdah berada di dalam mobil ini, pasti tadi sudah dibakar mereka.“ Ya, alhamdulillah, mereka tidak tahu. Karena mobil Vios kecil, hanya tiga orang yang dapat ikut di mobil: Ais, Amanda dan Pak Syafii Anwar. Kami menuju Galeri Nasional. Sebenarnya, jalan kaki lebih dekat karena tinggal nyeberang, kalau naik mobil malah jadi jauh, harus mutar ke Istiqlal dulu.
Di dalam mobil, sambil memegang kepala dan tengkuknya yang nyeri, Syafii Anwar menceritakan bagaimana dia dipukul orang-orang FPI. “Saya mencoba menolong ibu-ibu dari kebrutalan mereka, malah saya kena pentungan“ Saya memperhatikan wajah Pak Syafii: dia masih bisa tersenyum, begitu datar dia bercerita, tanpa ada marah dan benci. “orang-orang itu tega benar lho, masak kita baru akan mulai orasi singkat sebagai pendahuluan menuju bunderan H.I tiba-tiba kita diserang dengan pentungan dan hantaman batu“ katanya.
Sampai di Galeri, saya bertemu Masrucha, Nia, Mas Gun, Imdad, Jajang, Nong, Shunniya dan beberapa aktivis lain. Teman-teman lain sedang menuju kemari, kata Masrucha. Saya melihat Imdad tidak henti-hentinya menyeka darah yang terus mengucur dari bagian belakang kepalanya. Lalu saya berembuk dengan Amanda sebaiknya Imdad segera dibawa ke RS terdekat, yakni R.S. Abdi Waluyo. Saya menawarkan sopir dan mobil untuk mengantar dan Amanda setuju menemani. Saya tidak bisa ikut karena harus Konferensi Pers. Bagi-bagi tugas lah. Saya juga menawarkan kepada Pak Syafii agar ikut di mobil. Dia menolak karena merasa masih bisa ditahan sakitnya.
Pukul 15.20 sejumlah besar perwakilan Aliansi sudah memenuhi lapangan Galeri. Saya mendapat kabar bahwa pihak Galeri keberatan dengan kehadiran kami yang semakin banyak dan tentu tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Ini darurat. Keberatan mereka, baik karena alasan kebersihan maupun keamanan sangat wajar. Untung lah Mas Gun mampu meyakinkan pihak keamanan Galeri dan menjamin bahwa tidak akan terjadi masalah.
Saya sedih melihat Suaedy, direktur Wahid Institut, dagunya sobek dan berdarah karena hantaman orang FPI. Saya juga sedih mendengar Guntur cedera dan luka parah, Kyai Maman, dan sejumlah tokoh Aliansi lainnya mengalami luka dan cedera. Saya hanya bisa berdoa ketika itu, semoga mereka diberi ketabahan dan kesembuhan dari semua luka yang diderita akibat penyerangan brutal FPI. Semoga Allah memberikan inayah-Nya kepada para korban dan keluarga mereka. Dari hati terdalam saya juga berdoa untuk FPI dan antek-anteknya. Mereka itu secara hakiki juga korban. Korban akibat hegemoni doktrin agama yang otoritarian. Agama yang mengajarkan kebencian kepada sesama, bukan cita kasih kepada sesama. Mereka juga perlu disembuhkan.
Pukul 15.56 Aliansi secara resmi membuat konferensi Pers dimulai dengan pernyataan Mas Gun. Lalu, saya mengusulkan agar yang berbicara kepada media diutamakan kepada korban sehingga dapat menceritakan hal-hal yang sebenarnya terjadi sekaligus sebagai testimoni korban. Saya mengamati para korban kebrutalan FPI menceriterakan kepada pers apa yang mereka alami dengan kesabaran dan kerendahan hati, tidak marah dan berteriak. Tutur pembicaraan mereka terkontrol, tidak memaki apalagi mengumpat FPI. Umumnya, mereka hanya menuntut pemerintah dan aparatnya, khususnya pihak kepolisisan agar mengutamakan sikap netral dan adil, serta lebih siap lagi mengurusi rakyatnya. Agar pemerintah kembali ke koridornya, yakni Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Melakukan pembelaan serius terhadap rakyat, terutama dari ancaman kelompok-kelompok yang selama ini sudah dikenal sebagai pelaku kekerasan dan selalu menggunakan kekerasan sebagai solusi.
Meskipun konferensi pers masih berlangsung, Anick membisikkan agar segera bubar karena pihak FPI sudah menghadang di dekat Galeri. Takutnya terjadi kebrutalan lagi. Ada rasa marah dan geram menyelinap: mengapa kita yang harus mengalah? Lalu, saya sadar bahwa menghindari bahaya jauh lebih baik daripada menerjangnya. Saya harus realistis bahwa banyak anggota Aliansi yang laki-laki membawa isteri dan anak-anak mereka. Yah, ini aksi damai sehingga tidak ada pikiran sedikit pun bahwa kita akan diserang. Apakah kita rela membiarkan mereka yang tidak bersalah itu jadi umpan keganasan FPI?
Masrucha mengajak untuk kumpul lagi di kantor PBNU menggelar Konferensi Pers serupa. Saya jawab; rasanya tenaga kita sudah terkuras habis. Kita pikirkan untuk hari berikutnya saja. Rasa putus asa yang hampir merasuki kami lalu pupus dengan kedatangan Nia dan rombongan. Dia bilang: “kami sempat membuat dokumentasi lengkap atas peristiwa tragis tadi.“ Tenang aja Mbak Musdah. Oh yaaa kami semua di sekitarnya menjerit gembira. Lalu, beberapa orang tidak sabaran segera melihat ke arah pembawa camera, di samping Nia. Selalu ada kegembiraan di balik kesedihan.
Menjelang pulang, saya baru sadar bahwa sopir masih menunggui Imdad di RS. Saya pulang dengan apa ya? Sementara saya agak ngeri melihat orang-orang FPI dengan motor mondar-mandir melintas di depan Galeri. Melihat saya sedang galau, bu Anis Rahmat menawarkan diri untuk mengantarkan ke rumah. Saya, bu Anis, bu Khadijah dan beberapa ibu-ibu lain lalu berjalan keluar dan menunggu di pinggir jalan; menunggu jemputan mobil yang antri karena macet. Karena orang-orang FPI masih mengamati dari seberang jalan raya di depan Galeri, ibu-ibu itu berbisik agar saya tidak berdiri menghadap ke jalan, melainkan menghadap ke dalam Galeri. Alasannya, saya ini sasaran paling dicari oleh mereka. Tidak berapa lama mobil Anis Rahmat muncul dan suaminya sendiri yang menyetir. Jam di tangan menunjukkan pukul 17.20. Perasaan saya jadi tenang, sudah aman. Dalam perjalanan pulang, kami lebih banyak terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing. Saya hanya sempat menelpon sopir agar setelah mengantar Imdad dan Amanda langsung pulang saja. Saya tiba di rumah menjelang azan Magrib.
Setelah salat Magrib saya duduk termenung membayangkan kembali semua kejadian siang tadi. Berbagai gambar dan bayangan dalam benak saya muncul silih berganti. Apa sebenarnya yang terjadi?
Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak agama otoritarian dan agama humanistik. Unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dengan latar belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani oleh agama otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti dan serba-dependen. Sikap submisif kepada otoritas ini dianggap sebagai suatu jalan lurus bagi manusia untuk melepaskan dirinya dari keterasingan, ketersendiriaan dan keterbatasan dirinya. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas diri sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan. Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan organisasi keagamaan. Jadi, sesungguhnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan pada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung pada pemimpin dan sangat loyal pada organisasinya. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme.
Berbeda dengan model otoritarian, agama humanistik, memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakini benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, relasi dengan sesama manusia, serta posisinya di alam semesta. Ia harus mengenal kenyataan kebenaran yang menyangkut keterbatasan, namun sekaligus juga kekuatannya. Menurut agama humanistik keyakinan hendaknya didasarkan pada nalar kritis dan akal budi manusia, bukan dengan bertaqlid buta kepada otoritas agama. Apa pun itu.
Selain itu, suasana keagamaan humanistis adalah gembira. Sebaliknya, bagi kelompok otoritarian penuh diliputi rasa takut, tertekan, dan rasa bersalah. Dengan demikian sikap keagamaan humanistis adalah membebaskan manusia agar menjadi diri sendiri dan hal itu merupakan tuntutan agama dalam arti sebenarnya.
Dalam prakteknya, boleh jadi agama otoritarian dan agama humanistik sama-sama bisa memobilisasi massa, tapi pertanyaannya, dari mana daya gerak itu datang. Dari perintah komandan dan tekanan kelompok ataukah dari kesadaran individu sendiri. Dan karena agama otoritarian tak pernah sepenuhnya membebaskan para pengikutnya, maka perubahan atau sistem sosial-politik apapun yang dihasilkannya tak pernah bebas dan demokratis. Akibatnya, pemimpin bisa berlaku sewenang-wenang dan pengikut mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Mengerikan!.
Jika gerakan keagamaan itu berbasis agama humanistik dan bersifat instrinsik, tentu akan melahirkan program yang humanis, aktif membangun damai dan mengusung prinsip egalitarian, demokrasi dan pluralisme. Sebaliknya, jika berbasis agama otoritarian dan bersifat ekstrinsik tentu program gerakan politik mereka adalah menghancurkan segala sesuatu yang menurut mereka, tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, dan ini akan berujung kepada kekerasan. Ironisnya kekerasan itu dilakukan atas nama submission kepada Tuhan dan atas perintah agama. Ini mengerikan. Agama otoritarian yang berciri ekstrinsik mengusung gagasan anti-pluralisme, anti demokrasi, dan anti hak asasi manusia.
Sepanjang sejarah umat manusia, agama memiliki dua wajah: kedamaian dan kekerasan. Di satu sisi, agama menjadi kontributor utama perang, pertumpahan darah, kebencian dan intoleransi. Tapi, di sisi lain, ia juga mengembangkan hukum dan gagasan yang telah menyediakan peradaban dengan komitmen kultural pada nilai-nilai kedamaian yang agung. Yang disebut terakhir, meliputi empati, keterbukaan dan kecintaan, pemihakan pada kaum tertindas, artikulasi hak-hak asasi manusia, pemaafan dan pengampunan, rekonsiliasi, dan keadilan sosial.
Penelusuran geneologi kekerasan bernuansa agama selalu berujung pada pemahaman eksklusif tentang konsep-konsep tersebut, misalnya konsep jihad atau obsesi mendirikan negara Islam. Terdapat kesan kuat, bahwa mereka memahami konstruk-konstruk budaya tersebut sebagai ajaran agama yang harus diperjuangkan. Padahal, konstruk semacam itu lahir dari problem dan kebutuhan zamannya, sehingga dirasakan tidak lagi relevan untuk diterapkan sekarang. Batasan sektarianisme dalam bentuk apa pun tidak akan pernah bisa ditransendenkan, dan malah dapat menjerumuskan agama sebagai penghalang bagi pengembangan identitas nasional.
Yang perlu dilakukan sekarang adalah upaya terencana untuk menggiring inklusivisme agama ke arah realitas pengalaman baru yang menempatkan agama sebagai kekuatan moral membendung kekerasan dan terorisme. Hal itu bisa dimulai dengan membuka wacana keberagamaan yang memberi ruang kebebasan individu untuk memilih dan mengembangkan keyakinan pribadinya. Langkah selanjutnya adalah mendorong penerimaan atas keragaman organisasi keagamaan yang berfungsi sebagai unit yang kompetitif. Jika ini pun sudah cukup kokoh, maka kerjasama antarkelompok agama, dan bahkan antaragama menjadi sesuatu yang niscaya. Otoritas-otoritas kemasyarakatan dapat diharapkan berkolaborasi untuk secara bersama-sama menyelesaikan isu-isu mendesak, seperti kebodohan, kemiskinan, kekerasan domestik, ketidakadilah jender, penindasan kaum minoritas atau kerusakan lingkungan dan kultural.
Dengan demikian, diharapkan lahir model keberagamaan yang humanistik, instrinksik, inklusif dan terbuka, menjamin kebebasan agama dan meminimalisir intervensi negara. Karena itu, perlu membangun kesadaran dan kepekaan terhadap kemajemukan serta keragaman. Dalam konteks ini, ketentuan perundangan yang dimiliki negara harus bertolak dan mempertimbangkan kemajemukan itu. Publikasi, film, televisi, dan bebagai media komunikasi sepatutnya tidak mengekspose hal-hal yang bersifat anti pluralisme, anti demokrasi dan anti kemanusiaan. Sikap respek terhadap agama-agama harus menjadi bagian kurikulum pendidikan di pelbagai jenjang: mulai tingkat dasar sampai perguruan tingi; baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Semoga!!!

Jakarta, 12 Juni 2008

Tidak ada komentar: