MEMBACA ULANG KOMPILASI HUKUM ISLAM
Siti Musdah Mulia
Pandangan Fiqh Bias Nilai Patriarki
Sudah umum diketahui bahwa sumber penyusunan KHI adalah kitab-kitab fiqh klasik sehingga tidak heran jika kandungannya memuat pandangan yang mendiskreditkan perempuan. Sebab, sudah umum diketahui bahwa fikih sering menempatkan perempuan sebagai obyek seksual, khususnya dalam relasi suami-isteri Pembahasan perkawinan dalam kitab-kitab fiqh menunjukkan perbedaan laki-laki dan perempuan demikian eksplisitnya, misalnya laki-laki boleh berpoligami, sedangkan perempuan mutlak hanya boleh monogami. Bahkan, sejak dari proses memilih jodoh, perempuan dinyatakan tidak punya hak menentukan, yang menentukan adalah ayah atau walinya, dan hak itulah yang disebut hak ijbar dalam fiqh. Selanjutnya, bagi laki-laki ada hak untuk "melihat-lihat" calon istri yang akan dinikahi, sedang bagi perempuan tidak ada sama sekali.
Kitab-kitab fiqh sesungguhnya adalah kitab-kitab yang kandungannya memuat interpretasi atau penafsiran secara kultural terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Dalam sejarah intelektual Islam, syari`ah dibedakan dengan fiqh. Yang pertama adalah ajaran dasar, bersifat universal dan permanen, sedangkan yang kedua adalah ajaran non-dasar, bersifat lokal, elastis, dan tidak permanen. Kitab-kitab fiqh pada umumnya memuat kumpulan fatwa seorang atau sejumlah fuqaha yang ditulis secara berkala. Dengan ungkapan lain, fiqh adalah penafsiran kultural terhadap syariat yang dikembangkan oleh ulama-ulama fiqh semenjak abad kedua hijrah.
Kitab-kitab fiqh amat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan penulisnya. Penulis yang hidup dalam situasi dan kondisi masyarakat yang kekuasaan kaum laki-lakinya dominan (male dominated society), seperti di kawasan Timur Tengah, akan menulis kitab fiqh yang becorak patriarki, demikian pula sebaliknya. Kitab fiqh yang banyak dijadikan rujukan di pesantren, khususnya pesantren di lingkungan Nahdlatul `Ulama adalah kitab `Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq az-Zaujain. Kitab ini dikarang oleh Imam Nawawi al-Bantani, seorang ulama besar yang berasal dari Banten kemudian menikah dengan perempuan Arab dan menetap di Mekkah. Pandangan dalam kitab ini sangat bias gender dan nilai-nilai patriarki. Beberapa culikan dari isi kitab tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut. "Kewajiban istri terhadap suami adalah taat kepadanya, tidak durhaka, tidak keluar dari rumah sebelum mendapat izin dari suami, tidak melakukan puasa sunat tanpa izin suami, dan tidak pula menolak permintaan suami untuk berhubungan seksual kendati sedang berada di punggung unta."
Disebutkan berulang kali dalam kitab tersebut bahwa "Seorang istri yang keluar rumah tanpa izin suami, akan dikutuk oleh sejumlah malaikat, di antaranya malaikat pembawa rahmat, malaikat penjaga langit, malaikat bumi sampai ia kembali lagi ke rumah." Dalam kitab itu seringkali disebutkan betapa murka para malaikat terhadap istri yang tidak taat dan patuh pada suami. Timbul pertanyaan, apa perlunya malaikat intervensi dalam kehidupan suami-istri ?
Pandangan lain yang dijumpai dalam kitab tersebut adalah: "Istri tidak boleh mengambil harta milik suami tanpa izin karena dosanya lebih berat dari mencuri milik orang lain. Mencuri milik suami sendiri akan mendapat siksaan setara dengan 70 pencuri, sedangkan mencuri milik orang lain hanya diancam dengan siksaan setara satu pencuri." Logikanya, kalau mau mencuri, lebih baik mencuri milik orang lain daripada milik suami, sebab lebih ringan hukumannya. Pernyataan tersebut membenarkan pandangan streotip istri sebagai individu yang tidak memiliki harta sendiri dan selalu bergantung pada harta suaminya. Kesimpulannya, gambaran perempuan dalam kitab fiqh selalu inferior.
Sebenarnya, para penulis kitab fiqh, terutama para imam mazhab yang besar, tidak pernah menyebutkan agar pandangan fiqhnya dijadikan rujukan atau acuan dalam pengambilan hukum. Bahkan, hampir semua penulis kitab fiqh dengan rendah hati menyatakan jika pendapat yang ditulis dalam kitab-kitab fiqh itu benar, pendapat itu diakui datang dari Allah, tetapi jika salah, pendapat itu datang dari dirinya sendiri sebagai manusia. Bahkan, seringkali ditemukan pada akhir setiap pokok bahasan dalam kitab-kitab fiqh, para penulisnya mencantumkan kalimat: wallahu a`lam (hanya Allah yang Maha Tahu), jika pendapatku ini benar ambillah, tetapi jika salah tinggalkan. Artinya, para penulis kitab fiqh itu sendiri tetap memberikan ruang bagi kemungkinan adanya koreksi dan revisi terhadap pandangannya. Lalu, mengapa generasi sesudahnya cenderung menjadikan pandangan dalam kitab fiqh itu sebagai sesuatu yang final dan tidak dapat diubah. Dalam ungkapan lain, kitab-kitab fiqh itu telah diperlakukan sebagai hal yang sakral, bahkan melebihi sakralnya suatu kitab suci, dan ini sungguh-sungguh sangat tidak proporsional.
Perlunya Counter Legal Draft atas KHI
Counter legal draft (selanjutnya ditulis CLD) merupakan kritik atas KHI sekaligus sebagai tawaran alternatif bagi amandemen KHI. CLD adalah hasil pengkajian dan penelitian Tim Kajian KHI terhadap naskah KHI yang dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut. Pertama, studi kepustakaan dengan mengumpulkan sejumlah hasil penelitian terdahulu mengenai KHI, baik dalam bentuk tesis, disertasi dan laporan ilmiyah lainnya. Kedua, melakukan survei lapangan di lima wilayah yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam, yakni Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, NTB, dan Jawa Barat. Ketiga, melakukan kajian perbandingan terhadap hukum keluarga Islam yang dipakai di beberapa negara Islam, seperti Tunisia, Yordan, Irak, Syria, dan Mesir. Keempat, melakukan kajian kritis terhadap literatur fikih klasik menyangkut isu perkawinan, waris, dan wakaf. Kelima, merumuskan kesimpulan penelitian dalam bahasa hukum dengan mengambil format counter legal draft. Pilihan format itu dimaksudkan agar hasil penelitian ini segera menarik perhatian publik. Keenam, melakukan tiga kali lokakarya untuk verifikasi (uji sahih) terhadap draft awal, khususnya menyangkut argumentasi teologis, hukum, sosiologis dan politis terhadap draft awal tersebut. Lokakarya tersebut melibatkan sejumlah pakar agama, hukum, sosiologis, dan pakar politik. Ketujuh, melakukan revisi draft awal berdasarkan input dan masukan dari beberapa lokakarya. Kedelapan, melaunching counter legal draft kepada publik untuk diketahui secara luas dengan maksud memberikan bekal dan pencerahan kepada publik agar mereka dapat mendorong dan mengkritisi perubahan KHI. Kesembilan, merevisi kembali hal-hal yang sulit diterima publik, seperti soal perjanjian perkawinan karena menimbulkan kesalahpahaman yang fatal di masyarakat, yakni selalu dimaknai sebagai nikah mut`ah atau perkawinan kontrak. Akhirnya, tim memutuskan untuk menghilangkannya dari draft yang ada. Selanjutnya, Tim ini juga menyatakan bahwa counter legal draft atas KHI tersebut telah menjadi milik publik, bukan lagi milik tim yang dibentuk Pokja PUG Depag.
Setidaknya ada enam alasan mengapa perlu melakukan kajian kritis terhadap KHI. Pertama, tahun 2001 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengumumkan suatu kebijakan nasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang dikenal dengan Zero Tolerance Policy dalam bentuk RAN PKTP (Rencana Aksi Nasional Untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan). Kebijakan Zero Tolerance Policy ini intinya menegaskan komitmen pemerintah untuk tidak mentolerir segala bentuk kekerasan, sekecil apapun. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan sekaligus merespon Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, 20 Desember 1994.
Salah satu poin penting dalam RAN-PKTP tersebut adalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam aspek sosio-kultural atau sosial budaya melalui upaya revisi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mengapa KHI? Karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang diidentifikasi sebagai akar terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan atau dipandang menyumbang bagi timbulnya perilaku kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selanjutnya disebutkan pula bahwa salah satu institusi yang diharapkan melakukan perubahan itu adalah Departemen Agama. Bertolak dari itu kemudian Pokja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama mengambil prakarsa untuk melakukan kajian terhadap KHI ini.
Kedua, adanya tuntutan yang kuat untuk implementasi atau formalisasi syariat Islam di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Cianjur, Madura. Sayangnya dalam upaya formalisasi syariat Islam tersebut, daerah-daerah yang disebutkan tadi terkesan belum memiliki konsep yang jelas mengenai syariat Islam yang akan digunakan. Untuk menjawab kebutuhan tersebut salah satu alternatif yang dapat diberikan adalah menawarkan penggunaan KHI baru yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kearifan budaya di daerah masing-masing.
Ketiga, Direktorat Peradilan Agama pada tahun 2003 (sebelum hijrah ke MA) telah mengusulkan suatu perubahan status hukum KHI dari bentuk Inpres menjadi UU dalam bentuk RUU Terapan Bidang Perkawinan. Selain mengusulkan perubahan status hukumnya, juga penambahan pasal-pasal mengenai sanksi bagi setiap pelanggaran, misalnya pelanggaran dalam hal pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya di institusi yang berwenang akan dikenai sanksi dalam bentuk hukum penjara dan denda. Pasalnya, data yang tercatat di DEPAG, menunjukkan sekitar 48% perkawinan yang berlangsung di masyarakat tidak tercatatkan (unregistered). Hal ini sangat memprihatinkan, sebab tiadanya pencatatan jelas merugikan hak-hak isteri dan anak.
Keempat, sejumlah penelitian baik dalam bentuk tesis maupun disertasi ataupun dalam bentuk kajian ilmiah lainnya menyimpulkan bahwa KHI dalam dirinya mengandung sejumlah persoalan, di antaranya sejumlah pasal yang ada berseberangan dengan produk-produk hukum nasional, seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Tentang Hak-Hak Anak (2000); UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan, bahkan dengan Amandemen UUD 1945. Demikian juga KHI berseberangan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menekankan pada prinsip desentralisasi dengan ciri partisipasi seluruh masyarakat tanpa membedakan laki dan perempuan dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Adapun di tingkat internasional, telah disepakati sejumlah instrumen penegakan dan perlindungan HAM yang tentu saja mengikat bagi negara-negara yang menandatanganinya, termasuk Indonesia. Di antara instrumen tersebut adalah Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia (1948). Kemudian di tingkat Regional Negara-Negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam) disepakati Deklarasi Kairo (1990). Selain itu, kita juga telah meratifikasi beberapa Konvensi Internasional tentang HAM yang relevan dengan isi KHI, di antaranya Konvensi Hak Anak (1990) yang diratifikasi melalui Kepres Tahun 2000 mengenai Hak Anak yang isinya menegaskan batas usia anak adalah 18 tahun; dan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (1999). Keseluruhan konvensi tersebut menekankan pentingnya penghapusan diskriminasi atas dasar ras, kebangsaan, gender, status anak, dan agama.
Kelima, hal lebih penting lagi bahwa sebagai hukum Islam adalah perlu membandingkan KHI dengan hukum keluarga (the family law) yang ada di berbagai negeri Muslim, seperti Tunisia, Yordan, Syria, Iraq, dan Mesir. Negeri-negeri Muslim tersebut berulang kali memperbaharui hukum keluarga mereka. Paling tidak, ada dua hal perlu dicatat dari kajian perbandingan terhadap hukum keluarga tersebut, yaitu: Pertama, semangat reaktualisasi hukum Islam dalam bidang hukum keluarga selalu dimaksudkan untuk melindungi dan memperbaiki status dan kedudukan perempuan serta melindungi anak-anak. Kedua, reformasi pemikiran hukum Islam yang dituangkan dalam bentuk undang-undang keluarga itu dalam banyak hal menyalahi ketentuan dalam kitab-kitab fiqh klasik. Sebagai contoh, Tunisia. Dari sekian banyak pembaruan terhadap UU keluarga Tuisia, tahun 1959 ditetapkan tentang keharusan perceraian di pengadilan dan larangan mutlak untuk berpoligami.
Keenam, berdasarkan hasil survey di empat wilayah: Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat ditemukan kenyataan bahwa mayoritas responden yang terdiri atas hakim agam, kepala KUA, tokoh-tokoh agama menghendaki perubahan KHI. Alasan yang dikemukakan dalam mendukung pernyataan tersebut antara lain: (1) KHI sudah 13 tahun diberlakukan dan belum pernah dilakukan evaluasi kritis terhadapnya, (2) KHI perlu memiliki kekuatan hukum yang pasti serta mengikat dan dapat dipakai sebagai kodifikasi hukum, dan (3) Materi-materi hukum yang terdapat dalam KHI perlu dilengkapi dan disempurnakan agar sesuai dengan kebutuhan praktis masyarakat Indonesia yang semakin kompleks. Selanjutnya, sebagai bahan masukan dalam upaya pembaruan KHI, terutama bidang perkawinan, para responden hampir secara aklamasi menyetujui hal-hal berikut. 1) Pencatatan perkawinan menjadi salah satu rukun perkawinan; 2) Batas minimal usia nikah bagi perempuan ditingkatkan menjadi 19 tahun sehingga sama dengan usia laki-laki; 3) Nusyuz dapat dikenakan bagi suami dan isteri; 4) Rujuk harus dengan seizin isteri.
Di samping itu, materi hukum KHI perlu juga ditambah dan disempurnakan. Di antara materi hukum yang perlu ditambahkan adalah tentang aturan pemberian nafkah pada masa iddah kepada isteri yang dicerai oleh suaminya. Menurut ketentuan yang berlaku, isteri yang masih dalam masa iddah berhak memperoleh nafkah dari suaminya. Tetapi kenyataannya nafkah itu tidak pernah diberikan kalau isterinya tidak menuntut. Ke depan, KHI harus menetapkan kewajiban suami untuk tetap memberi nafkah kepada isterinya selama masa iddah baik diminta ataupun tidak. Hakim tidak boleh menjatuhkan talak sebelum hak-hak isteri tersebut diselesaikan. Begitu juga dengan masalah khulu’. Apabila persyaratan untuk perceraian telah dipenuhi, maka tidak diperlukan lagi khulu’. Khulu’ hanya berlaku jika isteri berkeinginan untuk bercerai tanpa ada alasan. Gugatan cerai yang diajukan isteri tanpa alasan harus diiringi dengan kewajiban membayar iwadh kepada suaminya. Akan tetapi jika gugatan cerai itu cukup beralasan, maka kewajiban membayar iwadh menjadi hilang sama sekali.
Prinsip Dasar Penyusunan CLD
a. Prinsip Kemaslahatan (al-Maslahat)
Sesungguhnya syari'at (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashâlih) dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar`u al-mafâsid). Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, menyimpulkan bahwa syari'at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan (al-mashlahat), keadilan (al-'adl), kerahmatan (al-rahmat), dan kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan hukum Islam. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam.
b. Prinsip Kesetaraan dan Keadilan Gender (al-Musawah al-Jinsiyah)
Gender dan seks merupakan dua entitas yang berbeda. Jika gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya, maka seks secara umum dipakai untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis. Artinya, gender bukan kategori biologis yang berkaitan dengan hitungan kromosom, pola genetik, struktur genital, melainkan merupakan konstruksi sosial dan budaya. Sementara seks merupakan kodrat Tuhan yang bersifat permanen. Meskipun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda, namun perbedaan tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk membedakan, apalagi mendiskriminasikan perempuan. Sebab, keduanya sama-sama makhluk Tuhan yang bermartabat dan harus dihormati.
c. Prinsip Pluralisme (al-Ta`addudiyyah)
Tak terbantahkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat plural. Pluralitas ini terjadi bukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya, dan bahasa melainkan juga agama. Sehingga, kemajemukan di Indonesia tidak mungkin bisa dihindari. Keberagaman telah menyusup dan menyangkut dalam pelbagai ruang kehidupan. Tidak saja dalam ruang lingkup keluarga besar seperti masyarakat negara, bahkan dalam lingkup keluarga, pluralitas juga bisa berlangsung. Setiap orang senantiasa berada dalam dunia pluralitas. Menghadapi pluralitas tersebut, yang dibutuhkan tentu saja bukan pada bagaimana menjauhkan diri dari kenyataan pluralisme tersebut, tetapi pada bagaimana cara dan mekanisme yang bisa diambil di dalam menyikapi pluralitas itu. Sikap antipati terhadap pluralitas, di samping bukan merupakan tindakan yang cukup tepat, juga akan berdampak kontra-produktif bagi tatanan kehidupan manusia yang damai.
d. Prinsip Nasionalitas (al-Muwathanah)
Telah maklum bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun bukan oleh satu komunitas agama saja. Indonesia merekrut anggotanya bukan didasarkan pada kriteria keagamaan, tetapi pada nasionalitas. Dengan perkataan lain, yang menyatukan seluruh warga negara Indonesia bukanlah basis keagamaan, melainkan basis nasionalitas (muwâthanah). Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil jerih payah seluruh warga bangsa, bukan hanya masyarakat Islam melainkan juga non Islam, bukan hanya masyarakat Jawa melainkan juga masyarakat luar Jawa. Dengan nalar demikian, Indonesia tidak mengenal adanya warga negara kelas dua. Umat non-Islam Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai dzimmi atau ahl al-dzimmah dalam pengertian fikih politik Islam klasik.
e. Prinsip Penegakan HAM (Iqamat al-Huquq al-Insaniyah)
Hak asasi manusia dimaksudkan sebagai hak-hak yang dimiliki manusia karena terberikan kepadanya. Hak asasi mengungkapkan segi-segi kemanusiaan yang perlu dilindungi dan dijamin dalam rangka memartabatkan dan menghormati eksistensi manusia secara utuh. Oleh karena manusia dengan martabatnya merupakan ciptaan Allah, maka dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia dimiliki manusia karena diberikan oleh Allah sendiri. Dengan demikian, hak asasi manusia secara otomatis akan dimiliki oleh setiap insan yang lahir di bumi ini. Islam adalah agama yang memiliki komitmen dan perhatian cukup kuat bagi tegaknya hak asasi manusia di tengah masyarakat. Dalam sejarahnya yang awal, Islam hadir justru untuk menegakkan hak asasi manusia, terutama hak kaum mustadh'afin, yang banyak dirampas oleh para penguasa. Islam datang untuk mengembalikan hak-hak kaum perempuan, para budak, dan kaum miskin. Mereka inilah kelompok-kelompok yang rentan kehilangan haknya yang paling asasi sekalipun. Islam secara tegas mengajarkan perlunya penegakan dan perlindungan hak asasi manusia baik secara individual maupun secara kolektif melalui negara. Hak-hak asasi dimaksud, antara lain hak hidup (hifdz al-nafs aw al-hayât), hak kebebasan beragama (hifdz al-dîn), hak kebebasan berfikir (hifdz al-'aql), hak properti (hifdz al-mâl), hak untuk mempertahankan kehormatan (hifdz al-'irdh), dan hak reproduksi (hifdz al-nasl). Menurut al-Ghazali, pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan inilah, seluruh ketentuan hukum dalam Islam diacukan.
f. Prinsip Demokrasi (al-Dimuqrathiyyah)
Demokrasi sebagai sebuah gagasan yang percaya pada prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan manusia untuk mengambil keputusan menyangkut urusan publik, secara mendasar bisa dikatakan paralel dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Artinya, pada dataran prinsipil antara Islam dan demokrasi tidaklah bertentangan. Paling tidak dalam ajaran Islam ditemukan lima ajaran dasar yang dipandang sejalan dengan prinsip demokrasi, yaitu: Pertama, ajaran al-musâwah (egalitarianism). Bahwa manusia memiliki derajat dan posisi yang setara di hadapan Allah. Kedua, al-hurriyah (kemerdekaan). Ketiga, al-ukhuwwah (persaudaraan). Keempat, al-'adâlah (keadilan) yang berintikan pada pemenuhan hak asasi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat-negara. Kelima, al-syûrâ (musyawarah). Bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak untuk ikut berpartsipasi di dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama.
CLD Menawarkan Kesetaraan Gender Dalam Perkawinan
Berdasarkan keenam prinsip dasar tersebut CLD menawarkan paradigma baru dalam perkawinan sebagai berikut. Pertama, perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, asas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj). Ketiga, prinsip dasar perkawinan ada enam, yakni: prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan ( al-musaawah), keadilan (al-'adaalah), kemaslahatan (al-mashlahat), pluralisme (al-ta'addudiyyah), dan demokratis (al-diimuqrathiyyah). Keempat, tujuan perkawinan adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera (sakiinah) berlandaskan kasih sayang (mawaddah dan rahmah); serta untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman, dan bertanggungjawab.
Keempat paradigma tersebut menjadi landasan bagi bangunan kesetaraan gender dalam relasi suami-isteri sebagaimana terbaca dalam rumusan pasal-pasal CLD mengenai soal wali, saksi, pencatatan, usia perkawinan, mahar, perkawinan beda agama, poligami, cerai dan rujuk, iddah, ihdad, pencarian nafkah, nusyuz, posisi dan kedudukan suami-isteri, serta hak dan kewajiban suami-isteri.
Dekonstruksi relasi suami-isteri yang bias gender dimulai dengan meredefinisi perkawinan. Perkawinan dalam KHI dimaknai sebagai perintah Allah dan merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan. Akibatnya, dalam masyarakat dijumpai tidak sedikit perempuan terpaksa menikah karena takut berdosa pada Tuhan dan takut durhaka pada orang tua, meskipun sesungguhnya dia tidak menghendaki terjadinya perkawinan itu sendiri. Implikasi lain dari pemahaman tersebut, masyarakat memaknai perkawinan tidak boleh diputuskan walaupun membawa dampak yang sangat buruk bagi istri dan anak-anak. Konsekuensinya, tidak sedikit perempuan terpaksa bertahan dalam kehidupan perkawinan meski sangat menderita akibat perilaku KDRT dari suami atau anggota keluarga lainnya.
Selain itu, masyarakat memaknai perkawinan sebagai akad kepemilikan, menikahi berarti memiliki. Pemahaman ini membawa kepada relasi yang timpang dalam kehidupan suami-isteri. Karena itu dikatakan suami menikah, isteri dinikahi; suami memberi nafkah, isteri dinafkahi; suami memberi mahar, isteri diberi mahar; suami metalak (menceraikan), isteri diceraikan; suami merujuk, isteri dirujuk; suami poligami, isteri dipoligami; suami kepala keluarga, isteri anggota keluarga dan seterusnya. Pendek kata, tidak tercermin jaminan kesetaraan kedua pihak: laki-laki dan perempuan dalam perkawinan. Tidak mengherankan jika banyak perempuan tidak memiliki posisi tawar dalam perkawinannya. Pemahaman masyarakat tersebut memiliki acuan yang jelas dalam kitab-kitab fikih klasik.
Ulama dari keempat mazhab tampaknya sepakat mendefinisikan nikah sebagai akad yang digunakan untuk mengatur intifa'u zauj bi bidh'i zaujah wa sa'iri badaniha min baitsu al-taladzudz (pemanfaatan suami atas kelamin istrinya dan seluruh tubuhnya untuk tujuan kenikmatan). Dengan akad nikah ini, suami memiliki hak secara penuh untuk memanfaatkan alat kelamin istrinya. Sebagian ulama merasa perlu membedakan antara milk al-intifa' dan milk al-manfa'ah. Milk al-intifa' mengisyaratkan bahwa kepemilikan bersifat temporer, semantara milk al-manfa'at pemilikan manfaat tersebut berlangsung secara terus-menerus. Namun, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi makna yang fundamental dari hak yang dimiliki oleh laki-laki. Rumusan definisi perkawinan yang dibuat para pemuka mazhab fiqih tersebut secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai obyek seksual, sebagai barang milik yang berhak dinikmati (milk al-mut'ah, milk al-budh'). Akibat dari objektivikasi tersebut, kedudukan perempuan menjadi tersubordinasi dan terkendalikan oleh pihak laki-laki, termasuk dalam persoalan hak seksualnya. Bahkan, pandangan Mazhab Hanafi menyatakan bahwa sesungguhnya hak menikmati seks itu merupakan hak laki-laki, bukan hak perempuan. Artinya, suami boleh memaksa istri untuk melayani keinginan seksualnya jika istri menolaknya.[1] Sangat jelas bahwa yang diperhitungkan dari diri perempuan dalam perkawinan hanyalah aspek fisik dan seksualitasnya.
Pemahaman yang timpang dan tidak adil gender itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam dan juga tidak menguntungkan bangunan demokrasi dan upaya penegakan HAM dalam masyarakat, karenanya perlu ada revisi. Tawaran revisi CLD mengubah relasi suami-isteri yang timpang tadi menjadi setara dan adil yang diliputi kasih sayang dan nilai-nilai kemanusiaan. Perubahan relasi suami-isteri yang setara dan adil harus dimulai dengan mengubah makna perkawinan. Perkawinan hanyalah sebuah pilihan dalam hidup manusia, bukan suatu keharusan apalagi kewajiban. Hak untuk menikah dan berkeluarga merupakan salah satu hak manusia yang paling asasi yang disebut dengan hak non derogable (hak yang tidak boleh dikurangi dengan alasan apa pun). Manusia bebas memilih untuk menikah atau tidak menikah. Dalam kaitan dengan agama, tidak ada perbedaan derajat antara orang menikah dan tidak menikah, yang membedakan di antara manusia hanyalah kualitas takwanya, bukan perkawinannya (QS. al-Hujurat, 13). Oleh karena itu, perlu dipertegas dalam definisi bahwa perkawinan adalah sebuah transaksi yang melibatkan dua pihak yang setara: laki-laki dan perempuan, dan dilakukan atas dasar kerelaan dan kesediaan dari kedua pasangan, bukan atas dasar paksaan dan semacamnya.
Al-Qur`an (al-Ahzab, 7; an-Nisa, 21 dan 154) selalu menggambarkan ikatan perkawinan dengan mitsaqan ghalidzan, yakni sebagai perjanjian suci antara kedua belah pihak yang setara dan penuh diliputi cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, kedua belah pihak berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan perjanjian tersebut. Selanjutnya, Al-Qur`an juga menegaskan hubungan egalitarian suami-istri, seperti terbaca pada ayat-ayat: az-Zariyat, 49; Fatir,11; an-Naba`, 78; an-Nisa`, 20; Yasin, 36; as- Syura, 11; az-Zukhruf, 12; al-Baqarah, 187; dan an-Najm, 53. Penegasan relasi yang setara tersebut ditemukan pula dalam sejumlah hadis Nabi. Kesemua ayat dan hadis tersebut secara tegas menyimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam lebih merupakan suatu akad atau kontrak.[2] Kontrak itu terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan). Jadi, perkawinan adalah sebuah akad atau kontrak yang mengikat dua pihak yang setara, yaitu laki-laki dan perempuan yang masing-masing telah memenuhi persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak untuk membentuk keluarga.
Menarik dicatat bahwa Al-Qur`an membahas soal perkawinan secara rinci dalam banyak ayat. Tidak kurang dari 104 ayat, baik dengan menggunakan kosa kata nikah (berhimpun) yang terulang sebanyak 23 kali, maupun kata zauwj (pasangan) yang dijumpai berulang 80 kali. Memahami hakikat perkawinan dalam Islam tidak bisa tidak, kecuali mengurai seluruh ayat yang berbicara tentang perkawinan dengan menggunakan metode tematik dan holistik sekaligus, lalu mencari benang merah yang menjadi intisari dari seluruh penjelasan ayat-ayat tersebut. Dari keseluruhan ayat yang membahas soal perkawinan dapat disimpulkan sejumlah prinsip dasar yang seharusnya menjadi landasan perkawinan. Pertama, prinsip monogami.[3] Kedua, prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang)[4]; ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi[5]; keempat, prinsip mu`asyarah bil ma`ruf (pergaulan yang sopan dan santun)[6], baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi kemanusiaan; dan kelima prinsip kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak melanggar ketentuan syari`ah.
Hakikat pernikahan tertinggi secara indah digambarkan dalam Al-Quran surah al-A'raf, 7: 189). Menurut ayat tersebut pernikahan adalah penyatuan kembali pada bentuk asal kemanusiaan yang paling hakiki, yakni nafsin wahidah (diri yang satu). Allah Swt. sengaja menggunakan istilah nafsin wahidah karena dengan istilah ini ingin ditunjukkan bahwa pernikahan pada hakikatnya adalah reunifikasi antara laki-laki dan perempuan pada tingkat praktik, setelah didahului reunifikasi pada tingkat hakikat, yaitu kesamaan usul-usul kejadian umat manusia dari diri yang satu.
Dalam ayat yang lain (al-Rum, 30: 21). ditekankan keterkaitan antara kesatuan hakiki, min anfusikun, sebagai bentuk kesatuan pada level teoretis idealistis dengan kesatuan praktik (pernikahan) yang tenteram dan penuh kasih dan sayang. Ketenteraman dan kasih sayang ini tidak akan bisa diperoleh kalau satu dengan yang lain saling menegasikan dan mensubordinasikan. Di sini tidak pula dikenal konsep dominasi, baik oleh suami maupun isteri. Dominasi sesungguhnya selalu membawa kepada pengabaian hak dan eksistensi pasangan. Jika unsur dominasi dalam relasi suami-isteri dihilangkan maka yang terbangun kemudian adalah hubungan yang berkeadilan, penuh diliputi kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Itulah yang dikehendaki dalam CLD. Semoga berguna dan bermanfaat. In urîdu illa al-ishlâh mastatha’tu. Wa mâ tawfîqiy illâ billâh.@
[1] Abdurrahman Al-Jaza'iri, Al-Fiqh ala Madzahib Al-Arba'ah,jil. IV, h. 4.
[2] An-Nisa`, 4:21 dan Al-Baqarah, 2:231
[3] An-Nisa`, 4:3 dan 129.
[4] Ar-Rm, 30:21
[5] Al-Baqarah, 2:187
[6] An-Nisa`, 4: 19; at-Taubah, 9:24 ; al-Haj, 22:13
9 Juli 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar