TEOLOGI ANTI KEKERASAN
Siti Musdah Mulia
Percaya atau tidak! Doa yang paling banyak diucapkan umat Islam adalah Allahumma anta al-salam wa minka as-salam wa ilayka ya‘udu as-salam fa hayyina rabbana bi as-salam wa adkhilna jannata daara as-salam, tabarakta rabbana wa ta‘alayta yaa zal Jalaali wa al-ikraam. (Ya Allah Engkaulah Yang Maha Damai, Engkaulah sumber kedamaian, kepada-Mu lah kembali kedamaian, hidupkanlah kami di dunia dengan penuh kedamaian, dan masukkanlah kami kelak ke surga-Mu, negeri penuh kedamaian, Maha Suci Engkau, Maha Mulia, Maha Sempurna, dan Maha Pemurah).
Di lingkungan pesantren, terutama pesantren klasik, biasanya sehabis menunaikan shalat maghrib berjamaah, sejumlah wirid dipanjatkan sebelum doa bersama. Doa tersebut merupakan bacaan favorit kalangan pesantren. Di dalamnya disebut berulang kali salah satu dari al-asma’ al-husna, yakni al-salam (Maha Damai).
Kata Islam dan al-Salam berasal dari akar kata yang sama, salima, yang berarti kedamaian, keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Muslim berarti manusia yang cinta damai. Disebut Muslim jika perilaku selalu terkendali, jauh dari kekerasan, baik ucapan apalagi tindakan. Muslim sejati selalu menimbulkan rasa damai bagi orang-orang di sekitarnya. Memang tidak mudah menjadi Muslim sejati, karena godaan untuk berbuat kekerasan seringkali lebih besar dari motivasi merajut damai.
Islam secara teologis merupakan rahmat bagi seluruh alam. Ajarannya mengandung nilai-nilai universal yang meliputi semua aspek kehidupan manusia, meliputi persoalan manusia sejak sebelum dilahirkan sampai ke saat kematian. Dari aspek hukum, Islam meliputi berbagai persoalan manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Dari aspek psikologis, ajarannya memberikan ketenteraman lahir batin. Dan dari aspek antropologi ajarannya ditujukan kepada semua bangsa dan masyarakat.
Islam amat menonjolkan ajaran persamaan antarsesama manusia. Seluruh ajarannya mengedepankan persamaan nilai dan derajat kemanusiaan (Q.S. al-Hujurat, 49:13). Kalaupun dalam realitas, terlihat ada perbedaan di antara mereka, perbedaan itu tidaklah dimaksudkan untuk saling menindas, mendiskriminasi, dan bermusuhan. Perbedaan dibuat untuk tujuan luhur, yaitu saling mengenal agar timbul saling pengertian (mutual understanding); dan sekaligus menguji siapa lebih bertakwa kepada-Nya.
Manusia hanya dibedakan dari aspek prestasi dan kualitas takwanya dan bicara soal takwa Allah semata berhak menilai, bukan manusia. Manusia hanya berfastabiqul khairat (berlomba berbuat terbaik). Demikian ajaran yang termaktub dalam teks-teks suci ajaran Islam. Namun, ketika ajaran luhur itu turun ke bumi dan diimplementasikan dalam kehidupan manusia, terjadilah distorsi, baik sengaja atau tidak. Sebagian manusia mendapatkan perlakuan tidak sama, diskriminasi, dan bahkan mengalami kekerasan atas nama agama karena perbedaan tafsir, pemahaman agama, perbedaan aliran, dan seterusnya.
Ajaran Islam, seperti termuat dalam kitab suci Al-Qur’an, sarat dengan nilai-nilai yang dapat dikembangkan sebagai basis teologi anti-kekerasan, ajaran toleransi dan pluralisme keagamaan modern. Salah satunya dapat diambil dari ayat berikut: “Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,” (Q.S. al-Maidah, 5:48). Ajakan dalam ayat tersebut sejalan dengan firman Allah: ...”bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku (Q.S. al-Kafirun, 109:6). Penegasan tersebut merefleksikan satu komimen bahwa masing-masing kelompok keagamaan dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar, tanpa memutlakkan pendapat dan memaksakannya kepada orang lain.
Pengalaman sejarah Islam masa-masa awal membuktikan betapa besar resistensi penduduk Mekkah terhadap ajaran Islam. Namun, menghadapi resistensi berlebihan itu, Allah hanya memerintahkan Nabi membacakan firman-Nya: “Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan dengan benar. Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Saba’, 34: 24-26).
Ayat itu menyiratkan komitmen anti-kekerasan dan ajaran toleransi yang sangat tinggi. Nabi tidak diperintahkan menyatakan absolusitas kebenaran ajarannya, tetapi justru sebaliknya. Nabi diperintahkan menjawab: Mungkin kami yang benar, mungkin pula kamu yang benar. Mungkin juga kami salah, mungkin pula kamu keliru. Di antara kita tidak pasti mana yang benar dan mana yang salah. Kita serahkan saja pada Tuhan untuk memutuskannya karena Dia-lah yang Maha Benar. Jadi, Nabi tidak diperkenankan melakukan pemaksaan, apa lagi kekerasan. Sebab, kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah. Kekerasan bukan solusi. Bahkan, kekerasan selalu berujung pada munculnya kekerasan baru yang boleh jadi lebih dahsyat lagi.
Mari simak ayat berikut: Jika Tuhanmu menghendaki tentunya semua manusia yang ada di muka bumi akan beriman. Lalu apakah kamu berkeinginan memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri untuk beriman? (Q.S. Yunus, 10:99). Ayat ini intinya menyadarkan Nabi, betapa ia sendiri tidak berpretensi memaksa manusia menerima dan mengikuti ajarannya: Ayat itu jelas mengecam perilaku kekerasan apa pun alasannya.
Menarik dicatat, ada penegasan Al-Qur’an bahwa keselamatan akan tercurah kepada semua pengikut kitab suci mana pun, asalkan mereka memiliki tiga syarat: percaya kepada Allah swt, hari akhirat, dan berbuat baik (Q.S. al-Baraqah, 2:62). Cyril Glasse, seorang teolog terkenal, mengagumi isi ayat tersebut. Sebab, di dalamnya disebutkan juga keselamatan bagi umat beragama lain, dan memandang pengakuan itu sebagai kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama.
Akhirnya, apa yang harus dilakukan? Paling tidak ada tiga hal: Pertama, perlu upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti seluas-luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Tujuannya, mengubah masyarakat; dari berbudaya eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis. Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya sikap damai dan saling menghargai di antara sesama manusia dan warga bangsa di tanah air. Ketiga, reinterpretasi ajaran agama sehingga yang tersosialisasi di masyarakat hanyalah ajaran yang membebaskan manusia dari belenggu kebencian dan kekerasan; ajaran yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Wa Allah a'lam bi as-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar