22 Juni 2008

Busung Lapar dan MDG"s

GIZI, MASYARAKAT BERKUALITAS

DAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs[1]

Siti Musdah Mulia[2]

Pendahuluan

Pertama-tama saya mengapresiasi panitia Anugerah Saparinah Sadli 2007 karena mengambil tema sangat strategis: Gizi, Masyarakat Berkualitas dan Pencapaian Tujuan MDGs. Mengapa tema ini penting? Paling tidak ada empat alasan.

Pertama, pemerintah pada tahun 2000 telah menyepakati Millenium Development Goals yang antara lain menegaskan perlunya negara memenuhi hak kesehatan warga. Sebab, salah satu indikasi masyarakat berkualitas terlihat dari tingkat kesehatannya. Bicara soal kesehatan, tidak bisa tidak harus dimulai dari perbaikan gizi masyarakat, khususnya pada anak balita. Karena itu, pencapaian MDGs hanya dimungkinkan manakala gizi masyarakat mengalami peningkatan kualitas.

Kedua, problem gizi buruk masyarakat adalah akumulasi dari berbagai persoalan sosial di masyarakat, seperti malnutrisi, korupsi, kemiskinan, pengangguran, pengalokasian dana yang tidak responsif gender, dan orientasi kebijakan pembangunan yang monokultur serta penataan konsumsi yang berorientasi pasar.

Ketiga, masalah gizi buruk masyarakat merupakan gambaran nyata dari pengabaian terhadap hak-hak perempuan. Masyarakat masih kuat dipengaruhi budaya patriarki dan nilai-nilai bias gender sehingga pengelolaan gizi anak sepenuhnya dibebankan pada ibu. Sebagian besar mereka tidak mengerti masalah gizi karena pemiskinan dan pembodohan, serta akibat ketimpangan struktural.

Keempat, di tengah-tengah berita Pilkada yang merebak di berbagai wilayah muncul fenomena yang paradoks. Para calon gubernur, bupati, walikota tanpa malu menyebutkan jumlah harta kekayaan mereka yang melimpah, sementara di depan mata ditayangkan gambar anak-anak penderita busung lapar. Hal ini menunjukkan betapa kesenjangan dan ketidakadilan telah terjadi di masyarakat. Situasi ini harus segera diakhiri agar tidak meletupkan keresahan sosial yang mendalam, dan boleh jadi membawa kepada revolusi sosial yang tidak diinginkan.

Jaringan Penanggulangan Busung Lapar

Persoalan rendahnya kualitas gizi masyarakat kembali mencuat di negara ini, setelah media massa nasional kembali membongkarnya dipertengahan tahun 2005 lalu. Sejak saat itu, kasus busung lapar menjadi sorotan publik, terutama busung lapar di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mempunyai ranking tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya. Pemberitaan yang gencar tentang kasus tersebut, memaksa pemerintah turun tangan dan menetapkan kasus busung lapar sebagai kejadian luar biasa (KLB). Akan tetapi, berita mengenai tragedi busung lapar ini kembali menjadi tragedi tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa politik yang hingar bingar di pusat dan daerah. Berita ini kalah seksi dari berita-berita Pilkada yang menelan biaya mahal dan terjadi di berbagai wilayah republik ini.

Tahun 2005 sejumlah NGO yang peduli pada upaya-upaya penanggulangan busung lapar di tanah air secara spontan menggagas suatu jaringan yang disebut Jaringan Penanggulangan Busung Lapar.[3] Jaringan ini muncul sebagai respon konkret terhadap meningkatnya kasus busung lapar atau gizi buruk, bahkan telah menjadi ancaman serius terhadap masa depan negeri ini. Data Departemen Kesehatan pada tahun 2004 menunjukkan, sekitar 5 juta anak balita terancam kekurangan gizi, 3,6 juta anak balita menderita kurang gizi dan 1,5 juta anak balita menderita gizi buruk. Data tersebut sejatinya hanyalah fenomena “Gunung Es.” Artinya, yang terjadi sesungguhnya jauh lebih parah dan lebih memprihatinkan.

Penderita gizi dapat dipolakan kepada dua kelompok: Penderita gizi kurang dan penderita gizi buruk yang lebih dikenal dengan sebutan busung lapar. Penderita gizi buruk mudah dikenali karena terlihat secara kasat mata dari kondisi tubuh anak: sakit, kurus, perut buncit atau badan membengkak, dan lemah. Sebaliknya, penderita gizi kurang tidak mudah diketahui atau dikenali oleh masyarakat umum. Akibatnya, meskipun jumlahnya lebih banyak, namun mereka kurang mendapatkan perhatian, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarkat. Penderita gizi kurang sangat berpotensi menjadi penderita gizi buruk atau busung lapar, apabila tidak dilakukan upaya-upaya pemulihan dan pengobatan secara cepat dan tepat.

Jika problem gizi kurang dan gizi buruk tidak segera ditangani secara serius, bangsa ini akan kehilangan satu generasi atau bahkan lebih. Mengapa? Sebab, gizi buruk, terutama pada anak-anak usia balita, berdampak pada berkurangnya sel-sel otak. Akibatnya, meskipun penderita gizi buruk masih dapat bertahan hidup dan tumbuh menjadi dewasa, mereka tetap akan menderita kelemahan mental, terhambat pertumbuhan fisiknya dan rentan terhadap penyakit. Mereka dengan demikian akan menjadi apa yang disebut dengan “goblok permanen” dan kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Sementara itu, keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak.

Dengan ungkapan lain, anak-anak penderita kurang gizi yang menurun status gizinya menjadi penderita gizi buruk atau busung lapar, tidak akan bisa dipulihkan kembali menjadi anak yang tumbuh normal. Mereka akan menghadapi dua kemungkinan kondisi yang sama buruknya, yaitu: meninggal dunia atau bertahan hidup dalam kondisi lemah (retardasi) mental. Sebab gizi buruk atau busung lapar bersifat irreversible. Tak terbayangkan apa yang terjadi dengan masa depan negeri ini apabila 5 juta anak yang terancam kekurangan gizi itu tak terselamatkan dan jatuh dalam kondisi busung lapar. Indonesia akan menghadapi masalah hilangnya sebuah generasi atau bahkan akan kehilangan masa depannya sendiri.

Menghadapi persoalan rendahnya kualitas gizi masyarakat, kita tidak perlu mencari siapa yang harus bertanggungjawab atas masalah ini. Sebab, sikap demikian hanya mengulur waktu dan sia-sia, padahal kondisi yang memprihatinkan akibat busung lapar tidak bisa ditunda penanganannya. Masalah busung lapar harus menjadi perhatian bersama semua pihak baik masyarakat secara umum, pemerintah, tokoh-tokoh agama, LSM, profesional dan sebagainya. Pihak-pihak ini dalam kapasitasnya masing-masing harus mampu memberi peran yang signifikan dalam memerangi masalah busung lapar yang demikian nyata di hadapan kita.

Busung Lapar Merupakan Tragedi Nasional

Kelompok agamawan yang diorganisir oleh ICRP (Indonesian Conference on Religion for Peace) memandang masalah busung lapar sebagai masalah semua umat beragama. Sebab, bukankah musuh agama yang paling nyata adalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan kelaparan? Mereka menyatakan bahwa: meskipun kami berbeda dalam hal keyakinan, namun kami mempunyai kesamaan dalam hal kemanusiaan. Bagi kami busung lapar adalah tragedi kemanusiaan yang tidak lagi dilihat sebagai problem internal satu pemeluk agama saja. Busung lapar di negara Indonesia yang kaya-raya ini adalah tragedi yang memalukan. Bagi kelompok agamawan tragedi busung lapar ini adalah tamparan keras. Kami malu karena umat kami tidak bisa makan, miskin, dan tidak mendapat gizi yang baik. Kelompok agamawan mengakui bahwa pertanggungjawaban atas kesejahteraan umat adalah kewajiban yang juga harus diperjuangkan oleh kelompok-kelompok agama.

Tragedi busung lapar merupakan tragedi nasional. Karena itu, semua umat beragama, bahkan semua pihak hendaknya memberi prioritas khusus untuk segera menangani. Selanjutnya, kepada tokoh agama dan kelompok-kelompok agama dihimbau untuk bergandeng tangan mengatasi masalah busung lapar ini. Masalah busung lapar bukan lagi masalah umat dari kelompok tertentu saja, tetapi menjadi masalah bagi seluruh umat. Untuk itu, diserukan kepada kelompok agama agar melepaskan identitas-identitas keagamaan dalam menangani masalah busung lapar karena masalah umat adalah masalah kemanusiaan yang tidak terkait dengan identitas-identitas keagamaan.

Selain itu, kepada masyarakat dihimbau untuk meningkatkan rasa solidaritas bersama dan peduli dalam menangani masalah busung lapar. Dihimbau kepada masyarakat yang lebih mampu untuk mengulurkan tangannya dalam membantu saudara-saudara mereka yang tidak bisa mendapatkan gizi secara baik. Kemudian, kepada pemerintah diharapkan untuk mengeluarkan kebijakan strategis dan mendasar dalam menangani masalah busung lapar. Masalah busung lapar adalah representasi dari gagalnya pemerintah dalam menangani problem-problem masyarakat, khususnya kemiskinan. Jelas bahwa busung lapar pada umumnya terjadi akibat kemiskinan yang melanda masyarakat dan belum mendapat penyelesaian.

Kasus anak balita penderita gizi buruk atau busung lapar dan kematian dini akibat busung lapar yang banyak diberitakan di media massa, sebenarnya bukanlah kasus baru. Busung lapar telah mengancam jutaan anak-anak Indonesia di berbagai provinsi sejak tahun 1998. Jumlah dan keluasan anak-anak penderita gizi buruk menegaskan bahwa gizi buruk atau busung lapar adalah bencana nasional yang dampaknya tak kalah seriusnya dengan bencana-bencana nasional lainnya. Ironisnya, berbeda dengan penanganan bencana bususng lapar, berbagai bencana yang telah dinyatakan sebagai bencana nasional mendapat perhatian dan penanganan serius, baik dari pemerintah maupun seluruh komponen masyarakat. Pada setiap bencana nasional, berbagai sumberdaya, pengetahuan dan beragam bentuk solidaritas masyarakat dikerahkan untuk membantu para korban dan mencegah meluasnya jumlah korban. Ini terjadi karena apa yang disebut sebagai bencana nasional seringkali dikaitkan dengan jumlah korban yang bersifat massal dan dapat dilihat secara kasat mata. Sebaliknya, menghadapi bancana busung lapar, pemerintah dan masyarakat kurang memberikan perhatian.

Busung Lapar Cerminan Pengabaian Hak-Hak Perempuan

Masalah gizi kurang dan gizi buruk bukan hanya saja menjadi persoalan medis semata, tetapi juga merupakan masalah sosial yang krusial. Problem kemiskinan yang terus menerus mendera masyarakat berkorelasi positif dengan meningkatnya jumlah anak-anak penderita gizi. Sementara itu, tingkat solidaritas masyarakat terhadap masalah ini juga belum mendapat perhatian yang luas dan serius. Persoalan ini semakin memprihatinkan ketika pemerintah sebagai penanggungjawab atas kesejahteraan warganya tidak optimal dalam menangani masalah kesehatan dan pemenuhan gizi masyarakat, padahal tingkat kualitas kesehatan masyarakat merupakan indikator nyata dari kemajuan suatu negara. Selain itu, masalah gizi anak ini juga erat kaitannya dengan persoalan-persoalan riil di masyarakat, seperti perkawinan anak-anak (child marriage), perkawinan kontrak, perempuan buruh migran, pembantu rumah tangga, dan pengabaian hak-hak asasi perempuan.

Problem Ketidakadilan Gender

Anak dan perempuan merupakan kelompok rentan di masyarakat. Disebut rentan karena keduanya merupakan kelompok yang paling banyak menanggung resiko kematian karena alasan kesehatan. Anak-anak dan perempuan hamil atau melahirkan adalah kelompok masyarakat yang rentan terhadap penyakit dan kematian. Akibat kurang terjangkaunya pelayanan kesehatan ke seluruh desa dan kelurahan mempengaruhi besarnya angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan (AKI). Tingginya angka kematian ibu hamil dan melahirkan menegaskan adanya problem ketidakadilan gender dalam masyarakat yang berdampak pada masalah busung lapar. Dinas kesehatan di beberapa tempat menyatakan bahwa berdasarkan data anak-anak penderita busung lapar diketahui bahwa sebagian dari anak-anak penderita busung lapar adalah anak-anak dengan berat badan lahir (BBL) rendah. Anak-anak yang rendah berat badannya saat lahir mengindikasikan adanya problem asupan makanan dan gizi pada ibu-ibu hamil. Ini berarti bahwa hak atas kesehatan reproduksi bagi para ibu belum mendapatkan perlindungan dan pemenuhan sebagaimana mestinya.

Problem Rendahnya Kualitas Pendidikan Perempuan

Data-data yang ada menunjukkan secara jelas bahwa kondisi pendidikan orang tua anak balita penderita gizi kurang dan gizi buruk (busung lapar) sangat rendah. Mayoritas orang tua mereka berpendidikan SD ke bawah. Sementara lainnya tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Rendahnya tingkat pendidikan warga berdampak pada minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang masalah pangan, gizi dan kesehatan. Kondisi seperti ini berdampak pada sikap dan perilaku masyarakat, khususnya kelompok miskin, di dalam konsumsi pangan yang tidak memenuhi kecukupan gizi. Minimnya pendidikan juga merefleksikan minimnya pemenuhan hak atas informasi. Dengan tidak terpenuhinya hak atas informasi, bisa dimengerti kalau masalah gizi dan kesehatan menjadi masalah krusial bagi masyarakat yang tidak terdidik.

Problem Minimnya Akses Perempuan Terhadap Pelayanan Kesehatan dan Air Bersih

Kemiskinan yang ditandai oleh kualitas pendidikan yang rendah, kian diperburuk oleh minimnya pelayanan kesehatan dan sumber air bersih. Di beberapa wilayah terdata bahwa kelompok perempuan Demikian pula, penguasaan atas sumberdaya lahan, khususnya lahan pertanian sangat minim. Mayoritas keluarga dari anak-anak penderita gizi buruk dan busung lapar tidak memiliki lahan pertanian, baik lahan sawah maupun lahan kering. Ketiadaan lahan membuat mereka bergantung pada pasar dalam hal pengadaan pangan. Sementara penghasilan mereka tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat akibat kenaikan BBM. Kondisi ini melahirkan beragam masalah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kelompok perempuan tersingkirkan dari pengelolaan pertanian sejak revolusi hijau diterapkan secara luas dengan padi sebagai komoditi andalan, makanan pokok bergeser ke beras. Kini dengan naiknya harga BBM, harga beras semakin mahal, sementara mayoritas lahan pertanian adalah lahan kering, sehingga warga bergantung pada pasar untuk mendapatkan beras.

Minimnya ketersediaan air membuat perempuan harus berjalan berkilo-kilo meter dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendapatkan air bersih. Sementara pada saat yang sama, perempuan bertanggung jawab dalam mengurus anak-anak, menyediakan makan bagi keluarga, mengurus ternak, dan lain-lain tanggung jawab pekerjaan dalam rumah tangga. Ketiadaan air juga meningkatkan masalah serius dalam hal sanitasi dan kesehatan.

Solusi dan Rekomendasi

Agar masalah gizi kurang dan gizi buruk (busung lapar) tidak lagi menjadi masalah keseharian masyarakat di berbagai wilayah Indonesia, solusi dan sekaligus rekomendasi berikut patut dipertimbangkan:

Pertama, untuk Pemerintah Pusat.

Segera membangun sistem penanggulangan rawan pangan, gizi kurang dan gizi buruk atau busung lapar yang berorientasi pada pendekatan yang mengatasi akar masalah. Busung lapar bukanlah bencana alam yang bisa diatasi hanya dengan pendekatan emergency jangka pendek tanpa disertai perubahan-perubahan kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan riil mayoritas rakyat. Pemerintah sudah semestinya menjalankan kewajiban yang diembannya untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan strategis di tingkat nasional yang mengarah ke pengurangan tingkat kemiskinan secara signifikan dan berkelanjutan, pengembangan diversifikasi ekonomi melalui pengembangan industri kecil dan menengah, pemanfaatan dan pengembangan potensi dan sumberdaya lokal untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri dalam anggaran pemerintah, dan penghentian praktek korupsi di segala lini dan kejahatan sistematis lainnya.

Selain itu, sangat perlu meningkatkan orientasi pembangunan pada peningkatan akses masyarakat atas pelayanan dasar dan sumberdaya ekonomi, dengan menjalankan sepenuhnya kebijakan untuk mengalokasikan minimal 20% anggaran pembangunan untuk pendidikan dan 15% anggaran pembangunan untuk kesehatan. Perbaikan dalam sistem penganggaran (budgeting) dengan memperhatikan partisipasi kelompok-kelompok marjinal, khususnya kelompok miskin dan kelompok perempuan. Sistem budgetting juga memperhatikan ketepatan waktu perencanaan dan realisasi alokasi anggaran. Mengembangkan potensi lokal untuk meningkatkan ketersediaan dan akses masyarakat atas pangan, dengan kebijakan pangan yang secara strategis mengembangkan potensi lahan kering dan konservasi lahan kritis. Melakukan sosialisasi berbagai kebijakan yang terkait dengan penghapusan ketidakadilan gender pada seluruh jajaran pemerintahan dan berbagai kelompok strategis di daerah.

Kedua, untuk Pemerintah Daerah.

Segera merumuskan dan melaksanakan sistem penanganan masalah gizi buruk dan rawan pangan dengan berangkat dari akar masalah. Konsep ini diterjemahkan dalam pendekatan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pendekatan emergency tetap diperlukan, namun dijalankan secara lebih cepat dan sampai pada sasaran. Penanganan dengan pendekatan emergency tanpa disertai dengan pendekatan yang mengatasi akar masalah hanya akan memboroskan sumberdaya, memperbesar peluang penyelewengan atau korupsi.

Kemudian, Pemda diharapkan secara serius dan terus-menerus melakukan sosialisasi di seluruh jajaran pemerintahan dan menerapkan secara luas kebijakan yang terkait dengan upaya penghapusan ketidakadilan gender di segala bidang kehidupan. Mengeliminasi terjadinya perkawinan anak-anak, perkawinan kontrak, perkawinan tanpa pencatatan. Mewujudkan pemenuhan dan penegakan hak-hak asasi perempuan, terutama berkaitan dengan hak atas informasi kesehatan reproduksi, Memperbaiki pelayanan KB dangan meningkatkan jumlah akseptor laki-laki.

Tidak kurang pentingnya, Pemerintah Daerah segera memperbaiki kelemahan atas pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, khususnya di bidang pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan. Menyelesaikan kasus-kasus korupsi, membangun sistem pengawasan yang efektif dengan memperluas demokratisasi dan akuntabilitas kekuasaan. Memperbaiki sistem penganggaran (budgeting) dengan memperhatikan partisipasi kelompok-kelompok marjinal, khususnya kelompok miskin dan kelompok perempuan. Mengembangkan program kesehatan lingkungan untuk mengurangi intensitas wabah penyakit, seperti malaria, TBC, diare, ISPA, campak. Ini diperlukan karena penyakit merupakan salah satu faktor penyebab berkembangnya busung lapar di sejumlah daerah. Juga sangat perlu merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang mengarah ke pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Di antaranya berupa kebijakan pengembangan usaha tani lahan kering; perluasan diversifikasi pangan; pengembangan diversifikasi usaha ekonomi untuk memperluas kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan; peningkatan alokasi anggaran untuk meningkatkan akses kelompok miskin terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan; serta perluasan upaya konservasi lahan kritis.

Hal lain perlu dilakukan, segera meningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dengan lebih mendekatkan prasarana pelayanan ke komunitas-komunitas miskin atau menerapkan sistem pelayanan keliling (mobile), meningkatkan aktivitas petugas kesehatan dan posyandu, mengefektifkan kembali fungsi posyandu untuk monitoring atau deteksi dini, memenuhi hak ekonomi petugas kesehatan. Program revitalisasi posyandu tidak akan berjalan efektif tanpa peningkatan akses masyarakat atas posyandu dengan lebih mendekatkan posyandu ke komunitas-komunitas atau menerapkan sistem pelayanan keliling.

Last but not least, segera memperluas ketersediaan dan akses masyarakat atas sumberdaya air, baik air bersih maupun air untuk kegiatan di sektor pertanian. Perluasan ketersediaan air bisa dilakukan, di antaranya dengan memperbanyak pembangunan sumur, memperbanyak pembangunan jebakan air, memperbaiki dan memperluas sarana irigasi.

Walahu a’lam bi al-shawab.

Lampiran.

Fakta Busung Lapar Di Indonesia

Gambaran tentang Masalah Pangan, Kelaparan, Gizi Buruk dan Busung Lapar

Di Beberapa Daerah pada Tahun 1998, 1999, 2005

Daerah/

Wilayah

tahun 1998

tahun 1999

tahun 2005

Indonesia

2.201.450 anak umur 0 – 4 tahun terancam kurang gizi

Sedikitnya 17,5 juta KK tidak mampu makan dua kali sehari

Delapan persen dari 20,87 juta (1,67 juta) anak usia 0 – 4 tahun menderita busung lapar

Empat juta anak di bawah dua tahun mengalami kekurangan gizi

Diperkirakan, 35% (7,7, juta) anak balita mengalami kurang gizi

Jawa Barat

3,9 juta KK tidak bisa makan dua kali sehari

7.726 anak balita menderita busung lapar, 7 di antaranya meninggal

107.500 anak balita menderita gizi buruk

Jawa Timur

230.000 anak balita menderita kurang gizi, 14.000 anak balita menderita gizi buruk, 400 anak balita menderita busung lapar, 6 di antaranya meninggal

144 anak balita di ponorogo menderita kurang gizi, 37 anak balita di Surabaya menderita busung lapar

Jawa Tengah

Jumlah anak balita penderita kurang gizi meningkat, dari 2 anak (Oktober) menjadi 33 anak (Desember)

261 anak balita menderita kurang gizi, 61 anak balita menderita busung lapar

Pada tahun 2001, 3.702 anak balita menderita kurang gizi

710 anak balita di kabupaten Rembang, 64 di kota Semarang, 442 di kabupaten Semarang, 117 di Tegal, 243 di Boyolali, menderita gizi buruk

Sumatera Barat

Jumlah keluarga rawan pangan meningkat dari 45.017 KK menjadi 48.323 KK

54.000 bayi dan anak balita menderita gizi buruk

Sedikitnya 9.488 anak balita menderita gizi buruk, 63 di antaranya meninggal

Yogyakarta

Tiga persen (4.755) anak balita menderita gizi buruk

NTB

65% KK terancam rawan pangan, setengahnya sudah tidak memiliki persediaan makanan

910 anak gizi buruk, 21 anak meninggal akibat busung lapar



[1]Disampaikan pada acara Anugerah Saparinah, tgl 24 Agustus 2007, di Jakarta.

[2]Koordinator Jaringan Penanggulangan Busung Lapar Nasional.

[3]Jaringan Busung Lapar adalah sebuah jaringan yang terbentuk secara secara spontan pada 28 Juni 2005 di Jakarta untuk merespon persoalan busung lapar secara nasional. Jaringan ini terdiri dari kalangan aktivis, agamawan, medis, seniman, budayawan, pekerja sosial, akademisi dan kelompok profesi yang peduli terhadap persoalan sosial bangsa, khususnya masalah busung lapar.

Tidak ada komentar: