MENUJU KEMANDIRIAN POLITIK PEREMPUAN[1]
Siti Musdah Mulia[2]
So many men persistently claim for their rights for equity, but in the same time, they ignore the same rights for women. This is what we call the double standard and this is the reality in politics.
Pendahuluan
Pengalaman saya sebagai koordinator program pendidikan pemilih (voter education) yang diperuntukkan khusus bagi perempuan pemilih pada tingkatan akar rumput (grass root), menyongsong Pemilu tahun 1999 sangat relevan dikemukakan dalam kesempatan berharga ini. Program itu dilakukan di 16 propinsi, digagas oleh Muslimat NU, dalam rangka meningkatkan partisipasi politik perempuan, terutama di tingkat pedesaan di mana mayoritas perempuan berada. Program voter education yang dilakukan selama hampir setahun itu menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Meskipun Indonesia telah merdeka selama lebih dari setengah abad, namun perempuan pada umumnya belum memahami hak-hak asasi mereka dan potensi-potensi yang terkandung dibalik hak-hak tersebut, khususnya hak dalam bidang politik. Mereka juga belum mengerti makna demokrasi dan pentingnya Pemilu sebagai sarana untuk membangun masa depan Indonesia yang demokratis, serta kehidupan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.
Program itu juga menyadarkan bahwa pendidikan politik bagi perempuan tidak pernah diselenggarakan secara sungguh-sungguh dan sistemik. Struktur politik negara masa Orde Baru menegasikan hak politik perempuan sedemikian rupa, baik secara individual maupun kolektif. Akibatnya, perempuan mengalami depolitisasi yang luar biasa. Depolitisasi perempuan tercermin dari pertanyaan dan ungkapan yang spontan dilontarkan para peserta, seperti : Apakah boleh menyalahi pandangan orang tua dalam memilih partai ? Apakah sebagai isteri boleh memilih partai yang berbeda dengan suami ? Apakah tidak berdosa memilih partai yang berbeda dengan partai yang berkuasa ? Apakah boleh menyalahi pendapat para imam atau kyai di dalam memilih partai dalam Pemilu nanti ? Apa pentingnya perempuan berkiprah dalam politik ? Bukankah dunia politik itu kotor, kejam, dan penuh kekerasan sehingga tidak pantas ditekuni oleh perempuan ? Bukankah politik itu hanya milik kaum lelaki karena merekalah yang berhak menjadi pemimpin ?
Pengalaman riil dalam voter education itu menyimpulkan bahwa masalah perempuan dan politik di Indonesia terhimpun sedikitnya dalam tiga isu : keterwakilan perempuan yang sangat rendah di ruang publik ; komitmen partai politik yang belum sensitif gender sehingga kurang memberikan akses memadai bagi kepentingan perempuan ; dan kendala nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki.[3]
Oleh karena itu, saya sungguh-sungguh mengapresiasi IRI (International Republican Institute) penyelenggara Konferensi Nasional hari ini dengan mengumpulkan para tokoh perempuan dalam bidang politik untuk bersama-sama memikirkan upaya-upaya mendasar bagi peningkatan partisipasi politik perempuan sekaligus juga meningkatkan kualitas dan kapabilitas para politisi perempuan. Harus ada upaya-upaya sistemik dan berkesinambungan membangun jejaring dan solidaritas yang kuat antar perempuan sehingga pada gilirannya nanti terbangun kemandirian perempuan dalam bidang politik sebagai salah satu syarat perwujudan civil society yang kuat.
Hak Politik Adalah Hak Asasi Manusia
Politik pada hakikatnya adalah kekuasaan dan pengambilan keputusan yang lingkupnya dimulai dari institusi yang paling kecil di lingkungan keluarga sampai ke institusi politik formal tertinggi dalam betuk kehidupan bernegara. Oleh karena itu, pengertian politik secara luas mencakup masalah-masalah pokok dalam kehidupan sehari-hari yang pada kenyataannya selalu melibatkan perempuan. Deklarasi New Delhi tahun 1997 menegaskan bahwa hak politik perempuan harus dipandang sebagai bahagian yang integral dari hak asasi manusia. Jika kita mengakui hak asasi manusia berarti kita pun harus mengakui hak politik perempuan. Hak politik perempuan tidak boleh dipisahkan dari hak asasi manusia.
Hak Asasi Manusia merupakan suatu konsep etika politik modern yang dibangun di atas sebuah kesadaran paling mendasar dalam sejarah kemanusiaan, yaitu kesadaran tentang pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Kesadaran ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa pembedaan dan diskriminasi atas dasar apa pun. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad'afin) dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep hak asasi manusia adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.
Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development). Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya. Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak mengekspresikan pendapat, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun.
Isu hak politik selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),[4] ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM,[5] seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). DUHAM menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi manusia dasar),[6] yaitu hak asasi manusia yang paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak yang paling penting untuk diprioritaskan di dalam berbagai hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak asasi manusia dasar itu adalah serangkaian hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material manusia dalam rangka mewujudkan eksistensi kemanusiaan manusia secara utuh, yaitu manusia yang berharga dan bermartabat. Walaupun, secara eksplisit tidak dijumpai satu ketetapan atau penjelasan yang merinci tentang hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights ini, namun, secara umum dapat disebutkan hak-hak asasi dasar tersebut mencakup hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama.[7] Hak-hak itu, dan juga secara keseluruhan hak asasi manusia didasarkan pada satu asas yang fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.[8]
Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan hak politik, antara lain mernuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.
Secara khusus, hak politik perempuan dalam DUHAM tertuang dalam pasal 2: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.” Hak politik perempuan dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 25 dan 26. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah
Pemenuhan hak politik perempuan di Indonesia, di samping mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM, seperti dipaparkan sebelumnya, juga harus mengacu kepada Pancasila sebagai ideologi negara, konstitusi (khususnya UUD 1945 hasil amandemen kedua, pada pasal-pasal
Membangun Sistem Politik Bebasis Pengalaman Perempuan
Data menunjukkan jumlah penduduk
Selanjutnya, data keterwakilan perempuan
Pertanyaan mendasar adalah mengapa keterwakilan perempuan dalam jabatan publik, termasuk dalam bidang politik sangat rendah? Salah satu jawaban yang dapat dikemukakan adalah hasil kajian hukum, dilakukan oleh Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik LIPI tahun 2006. Kajian tersebut menyimpukan bahwa rendahnya keterwakilan perempuan dalam ruang publik terutama disebabkan oleh ketimpangan struktural dan sosio-kultural masyarakat dalam bentuk pembatasan, pembedaan, dan pengucilan yang dilakukan terhadap perempuan secara terus-menerus, baik formal maupun non-formal, baik dalam lingkup publik maupun lingkup privat (keluarga). Dampaknya, kelompok perempuan, baik sebagai warga negara maupun sebagai anggota masyarakat yang dijamin mempunyai hak yang sama dengan laki-laki tidak terlibat dalam upaya-upaya konkret menentukan prioritas dan pengalokasian sumber-sumber pembangunan. Demikian pula, mereka belum sepenuhnya mendapatkan manfaat dari hasil pembangunan selama ini. Kondisi memprihatinkan itu tergambar dalam capaian indikator pembangunan untuk bidang-bidang strategis, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan ketenagakerjaan.
Di samping itu, secara internal rendahnya keterwakilan perempuan dalam jabatan politik juga disebabkan tidak banyak perempuan tertarik pada dunia politik. Mengapa? Jawabnya, simpel saja. Sebab, masyarakat masih menganut pemilahan yang tegas antara ruang publik dan ruang domestik. Ruang publik di mana aktivitas politik berlangsung selalu digambarkan berkarakter maskulin: keras (tough), rasional, kompetitif, tegas, serba “kotor” dan menakutkan sehingga hanya pantas buat laki-laki. Sebaliknya, ruang domestik selalu dilukiskan berkarakter feminin: lemah lembut, emosional, penurut, pengalah. Seakan meyakinkan bahwa tugas tersebut hanya cocok dan mulia bagi perempuan: sebagai istri, ibu atau pengurus rumah tangga. Pandangan bias gender inilah yang secara sengaja dan sistemik dikonstruksikan di masyarakat melalui sosialisasi nilai-nilai budaya, institusi media, lembaga pendidikan, dan peraturan perundang-undangan. Lebih fatal lagi karena segregasi yang ketat antara ruang publik dan privat tersebut juga dilanggengkan dalam interpretasi ajaran berbagai agama yang hidup di masyarakat.[9]
Konsekuensi logis dari hal demikian, tidak banyak perempuan berminat atau tertarik memasuki partai politik atau berkiprah di dunia politik. Apalagi berambisi merebut posisi sebagai pemimpin atau penentu kebijakan dan pengambil keputusan yang memerlukan ketegasan dan sikap rasional. Apa yang terjadi kemudian? Semua kepentingan, aspirasi dan kebutuhan perempuan yang memang beda dengan laki-laki, tidak terangkat, tidak diakui, tidak dihargai, bahkan terabaikan dan tidak terpenuhi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sementara itu, sejumlah analisis mengungkapkan bahwa perilaku politik setidaknya membutuhkan tiga karakteristik, yakni kemandirian, kebebasan berpendapat, dan tindakan agresif. Sayangnya, ketiga karakteristik tersebut tidak pernah dianggap ideal dalam diri perempuan. Masyarakat umumnya selalu memandang perempuan yang mandiri, berani mengemukakan pendapat, dan agresif sebagai orang yang tidak dapat diterima atau tidak diinginkan. Dengan ungkapan lain, perempuan dengan karakter seperti itu bukan tipe perempuan ideal. Karena itu, ketiga karakter ini memang tidak pernah diharapkan muncul pada diri seorang perempuan.
Dunia politik sesungguhnya identik dengan dunia kepemimpinan. Berada dalam posisi sebagai pemimpin, perempuan mengalami lebih banyak hambatan ketimbang laki-laki. Mengapa? Karena perempuan harus selalu membuktikan bahwa dirinya sungguh-sungguh mampu, memang pantas dan dapat diandalkan. Mari simak penuturan seorang walikota perempuan:“Aku kerap dikritik atas beberapa komentar yang agak menyinggung perasaan yang selanjutnya meledak menjadi pergunjingan publik. Tidak sebagaimana laki-laki dalam posisi yang sama, semua pernyataan mereka seringkali berlalu tanpa tantangan.” Artinya, sejumlah kendala primordial masih menghadang kaum perempuan dalam berkiprah di dunia politik. Di antaranya, persoalan seksime. Bagi politisi laki-laki hampir-hampir tidak menemukan kendala yang berarti berkaitan dengan penampilan fisik mereka, sementara perempuan lebih banyak dinilai berkaitan dengan penampilan fisik mereka, misalnya soal model rambut, model giwang, cara berjalan, cara berbusana, setelah itu baru cara berfikir. Di samping itu, persoalan keluarga sangat berpotensi menimbulkan isu sensitif bagi politisi perempuan dibandingkan dengan politisi laki-laki.
Berdasarkan pengalaman selama ini, paling tidak ada tiga unsur yang merajut kepemimpinan dalam diri seseorang, yaitu kekuasaan, kompetensi diri, dan agresi kreatif. Kekuasaan sebagai unsur paling penting dalam membangun kemampuan memimpin seseorang selalu didefinisikan dengan ciri yang maskulin, yaitu kekuatan atau ketegaran atau kemampuan bertindak yang diperlukan guna mencapai sesuatu demi tujuan yang lebih besar. Persoalannya, keluarga dan masyarakat tidak pernah mempersiapkan perempuan secara serius dan sungguh-sungguh untuk membangun kualitas kekuasaan dalam diri mereka. Lalu, bagaimana mungkin anak perempuan dapat bermimpi menjadi pemimpin bila mereka tidak memiliki gambaran kultural yang mampu membimbing mereka? Tidak heran jika kebanyakan perempuan mengalami kesulitan membebaskan diri dari berbagai pengaruh kultural patriarkal untuk berkiprah dalam dunia kekuasaan, seperti menjadi politisi.
Perempuan ternyata kurang menginginkan kekuasaan manakala yang dilanggengkan di masyarakat adalah gagasan kekuasaan versi laki-laki yang sarat dengan ciri-ciri keperkasaan, kejantanan, dan kekerasan. Karena itu, sudah saatnya mempromosikan kekuasaan menurut definisi perempuan. Yakni, kekuasaan yang mencakup kemampuan memberdayakan, kemampuan memelihara dan menciptakan masyarakat yang lebih harmoni dan bermartabat. Dengan demikian definisi baru kekuasaan merupakan gabungan dari ciri-ciri maskulin dan feminin yang dapat dicapai oleh keduanya: laki-laki dan perempuan.
Ke depan kita perlu mensosialisasikan pengertian baru tentang kekuasaan yang tidak selamanya bernuansa maskulin sehingga perempuan tidak harus mengeliminir unsur-unsur feminitas dalam dirinya untuk menggapai kekuasaan. Perempuan tidak harus menolak
Sudah waktunya dikembangkan suatu konsep mengenai kekuasaan yang berciri feminin, yang berbeda dengan kekuasaan laki-laki yang selama ini menjadi acuan semua pihak. Kekuasaan dalam konsep feminin adalah kekuasaan yang penuh dilimpahi kasih sayang. Kekuasaan semacam ini tidak berpusat pada diri sendiri melainkan lebih diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang lebih mulia bagi banyak orang. Dengan demikian, konsep kekuasaan yang berciri feminin mengintegrasikan kualitas perempuan dengan beberapa karakteristik laki-laki dan kedua atribut itu mempunyai nilai yang sama. Dengan ungkapan lain, kualitas laki-laki dan kualitas perempuan tidaklah bertentangan. Sebab, dalam kelembutan dan kasih sayang perempuan, justru terpendam kekuatan yang dahsyat.
Selain itu, kekuasaan berciri feminin mencakup gagasan memberdayakan orang lain, bukan merusak orang lain. Sebaliknya, gagasan yang selama ini digunakan adalah bahwa untuk berkuasa, seseorang harus rela menginjak orang lain. Kekuasaan hendaknya dimaknai sebagai kemampuan melaksanakan sesuatu yang berguna bagi orang lain. Untuk itu, jabatan hendaknya ditafsirkan sebagai sarana untuk memberdayakan orang lain, bukan menghancurkan atau memperdayakan. Dengan demikian kekuasaan perempuan mencakup nalar, tujuan, agenda yang hedak dicapai. Sidney Verba dari Universitas Harvard menegaskan bahwa sumbangan terpenting dari perempuan di dunia politik adalah bahwa mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat luas daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka sendiri.[10] Artinya, politisi perempuan cenderung memikirkan agenda politik yang berdampak pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat luas ketimbang memikirkan kepentingan khusus mereka.
Dengan mengembangkan definisi kekuasaan yang berbasis pengalaman perempuan, perempuan dapat menjadi politisi yang handal. Politisi yang tidak akan menyakiti hati lawan politiknya, apa pun alasannya. Politisi yang tidak akan menggunakan intrik politik sebagaimana biasa digunakan oleh laki-laki. Seorang politisi perempuan dapat mengasah sisi keibuannya yang selalu tanggap terhadap kebutuhan orang lain untuk menyelesaikan setiap agenda politiknya. Bukankah kekuasaan itu pada intinya adalah kemampuan menyelesaikan masalah?
Selanjutnya, menghadapi dominasi nilai-nilai budaya patriarki dan situasi diskriminatif, agenda perempuan dalam politik hendaknya dimulai dari kegiatan-kegiatan penyadaran (awareness rising). Terutama mengubah cara pandang dan pola pikir (mindset) seluruh masyarakat (laki-laki dan perempuan) tentang pentingnya prinsip-prinsip demokrasi yang menjamin kesetaraan, hak asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan.
Islam Menjamin Hak Politik Perempuan
Bagian ini perlu saya singgung mengingat masih kuatnya anggapan di masyarakat bahwa Islam sebagai agama kelompok mayoritas di
Sebagai perempuan Muslim saya yakin sepenuhnya bahwa Islam adalah agama ideal dan sangat sempurna. Ajarannya mencakup semua tuntunan luhur bagi kehidupan manusia di muka bumi dalam semua bidang, tak terkecuali bidang politik. Tujuan Islam tidak lain agar manusia selamat dan bahagia dalam kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Saya percaya Islam menjanjikan harapan hidup yang lebih baik kepada semua manusia tanpa membedakan ras, suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, dan jender: laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, Islam paling vokal bicara soal keadilan dan persamaan antar manusia, termasuk di dalamnya persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Al-Qur`an, kitab suci umat Islam, sebagaimana halnya kitab-kitab suci agama lain, diturunkan dalam suatu lingkup masyarakat yang tidak hampa budaya. Karena itu, kitab suci memiliki dimensi kemanusiaan, di samping dimensi keilahian. Diyakini teks-teks Al-Qur`an sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan ideal. Dalam konteks relasi gender Al-Qur’an berisi seperangkat nilai yang memberikan landasan bagi kesetaraan dan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama. Perbedaan di antara manusia hanya terletak pada kualitas takwanya, [11] dan soal takwa hanya Tuhan yang berhak menilai, bukan manusia.
Perlu diketahui bahwa ajaran Islam terpola kepada ajaran dasar dan non-dasar. Ajaran dasar ialah ajaran yang termaktub dalam Al-Qur`an dan Sunnah mutawatir yang diyakini datang dari Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, ajaran non-dasar ialah ajaran berupa hasil ijtihad manusia dalam bentuk tafsir, interpretasi atau pemikiran ulama yang menjelaskan tentang ajaran dasar dan implementasinya dalam kehidupan nyata. Yang pertama bersifat absolut, abadi, dan tidak berubah. Sebaliknya ajaran kedua bersifat ijtihadi, relatif, tidak abadi dan bisa berubah seiring dengan tuntutan dinamika masyarakat, serta perkembangan sains dan teknologi. Menariknya, sebagian besar ajaran Islam, khususnya ajaran yang menyinggung soal relasi gender, seperti perkawinan, pewarisan, busana perempuan, kepemimpinan perempuan justru masuk dalam kategori kedua, ajaran non-dasar, yakni lebih banyak bersifat ijtihadi.[12] Untuk itu, diperlukan pembacaan ulang dan upaya-upaya rekonstruksi atas hasil ijtihad atau penafsiran lama yang dinilai bias gender dan bias nilai-nilai patriarki. Penafsiran baru atas teks-teks keagamaan mendesak dilakukan untuk menemukan kembali pesan-pesan keislaman yang hakiki dan universal, seperti pesan persamaan, persaudaraan, kebebasan, kesetaraan dan keadilan, termasuk di dalamnya kesetaraan dan keadilan gender.
Secara normatif Al-Qur`an melukiskan figur ideal seorang perempuan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan, terutama kemandirian dalam bidang politik (al-istiqlal al-siyasah), seperti figur Ratu Bulqis. Al-Qur`an menyebutnya sebagai pemimpin kerajaan superpower ('arsyun 'azhim) yang dikenal dengan kerajaan Saba'.[13] Bahkan, Al-Qur'an menghimbau perempuan agar berani menyampaikan kebenaran,[14] sekalipun harus menentang pendapat publik (public opinion),[15] dan berani melakukan gerakan "oposisi" terhadap pemerintah yang tiranik. Perempuan harus mandiri dalam menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi) yang diyakini kebenarannya sekalipun berbeda dengan pandangan suami.[16] Ringkasnya, dalam jaminan Al-Qur'an, perempuan dapat dengan leluasa memasuki semua sektor kehidupan di masyarakat: politik, ekonomi, dan sektor publik lainnya tanpa pembatasan sedikit pun.
Sayangnya ajaran ideal dan luhur Al-Qur'an itu tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan umat Islam. Mengapa? Sebab, ketika ajaran yang suci itu turun ke bumi dan berinteraksi dengan beragam budaya manusia timbul distorsi, dan itulah yang terjadi dengan ajaran Islam yang berbicara soal relasi gender. Pemahaman yang distortif itu muncul, karena beberapa faktor. Di antaranya karena pemaknaan ajaran agama yang sangat tekstual sehingga mengabaikan aspek kontekstualnya; karena perbedaan tingkat intelektualitas manusia; dan karena pengaruh latar belakang sosio-kultural dan sosio-historis manusia yang menafsirkannya.
Dalam konteks ajaran tentang posisi perempuan, disimpulkan paling tidak ada tiga alasan yang menyebabkan munculnya pemahaman keagamaan yang tidak ramah perempuan atau bias gender. Pertama, pada umumnya umat Islam lebih banyak memahami agama secara dogmatis, bukan berdasarkan penalaran yang kritis dan rasional, khususnya pengetahuan agama yang menjelaskan peranan dan kedudukan perempuan. Tidak heran jika yang muncul adalah pemahaman yang ahistoris. Kedua, pada umumnya masyarakat Islam memperoleh pengetahuan keagamaan melalui ceramah verbal dari para ulama yang umumnya sangat bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhal, bukan berdasarkan kajian mendalam dan pemahaman holistik terhadap sumber-sumber aslinya (Al-Qur`an dan Sunnah). Ketiga, interpretasi agama tentang relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat lebih banyak mengacu kepada pemahaman tekstual terhadap teks-teks suci sehingga mengabaikan pemahaman kontekstual yang lebih mengedepankan prinsip egaliter dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Agama bukan hanya sekedar tumpukan teks, melainkan seperangkat pedoman ilahiah yang diturunkan demi kebahagiaan dan kemaslahatan manusia : perempuan dan laki-laki.
Sejarah Islam awal menunjukkan secara konkret betapa Rasul telah melakukan perubahan radikal terhadap posisi dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Arab jahiliyah abad ke-
Fakta historis tersebut melukiskan secara terang-benderang bahwa Rasul melakukan perubahan radikal, bahkan sangat radikal terhadap posisi dan kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Rasul mengubah posisi dan kedudukan perempuan dari obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek yang dihormati dan diindahkan. Mengubah posisi perempuan yang subordinat, marjinal dan inferior menjadi setara dan sederajat dengan laki-laki. Rasul memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh (pengelola kehidupan di bumi), dan juga sama-sama berpotensi menjadi fasad fi al-ardh (perusak di muka bumi). Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada perbedaan sedikit pun. Karena itu, tugas manusia hanyalah ber- fastabiqul khairat (berlomba-lomba berbuat terbaik) membangun masyarakat yang adil dan sejahtera demi mengharapkan ridha Allah swt.
Penutup
Perjuangan perempuan
Pertama, menggalang networking antar-kelompok perempuan dari berbagai elemen sebagaimana dilakukan melalui Konferensi Nasional hari ini. Perjuangan menuju sukses selalu membutuhkan strategi yang jitu dan solidaritas yang kuat. Networking ini diperlukan terutama dalam upaya membangun struktur politik yang ramah perempuan melalui upaya-upaya revisi semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan politik yang diskriminatif dan tidak memihak perempuan. Di antaranya, revisi UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Susduk, UU Pilpres, dan UU Pemda. Networking ini juga diperlukan dalam mewujudkan komitmen partai yang sensitif gender, serta advokasi jaminan hukum partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik.
Kedua, kelompok perempuan harus berani mendorong dan melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya, khususnya mengubah budaya patriarki yang sangat kental di masyarakat menjadi budaya yang mengapresiasi keseteraan gender dan kesederajatan perempuan dan laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan. Melalui upaya rekonstruksi budaya ini diharapkan di masa depan tidak ada lagi image yang buruk terhadap dunia politik; tidak ada lagi pemilahan bidang kerja: publik dan privat, berdasarkan jenis kelamin; dan tidak ada lagi stereotip terhadap perempuan yang memilih aktif di dunia politik.
Ketiga, kelompok perempuan harus berani mendorong dan melakukan upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama sehingga terwujud penafsiran agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, penafsiran agama yang ramah terhadap perempuan dan yang pasti penafsiran agama yang rahmatan lil alamin, ajaran yang menebar rahmat bagi seluruh makhluk tanpa pengecualian.
Keempat, secara internal perempuan itu sendiri harus selalu berupaya meningkatkan kapasitas dan kualitas diri mereka melalui pendidikan dalam arti yang luas. Selain itu, perempuan harus tulus mengapresiasi prestasi dan karya sesamanya perempuan, serta tulus mewujudkan sikap saling mendukung di antara mereka. Harus ada upaya bersama secara sinergis meningkatkan kualitas diri perempuan dalam bidang politik. Sebab, keunggulan dan kesuksesan dalam bidang apa pun tidak pernah datang secara tiba-tiba dari langit, melainkan semuanya harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Last but not least, dalam peningkatan kapasitas ini perempuan juga harus meningkatkan kemampuan spiritualitas mereka. Diharapkan dengan kekuatan spiritualitas itu politisi perempuan dapat menghindari permainan politik yang tidak etis, kotor, culas dan keji, tidak manusiawi, serta merugikan masyarakat luas. Women can make a difference !!
[1] Disampaikan pada acara Pendidikan Politik yang diselenggarakan oleh DPP Ormas Perempuan Peduli Bangsa pada 21 Mei 2008 di Jakarta.
[2] Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan dan Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah,
[3] Penjelasan lebih rinci soal ini dapat dilihat pada Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan,
[4] DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) merupakan pernyataan definitif yang pertama tentang 'hak asasi manusia' dan yang menyebutkan secara jelas hak-hak itu yang bersifat universal. Dokumen ini adalah kesepakatan internasional yang ditanda-tangani oleh para pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Walaupun demikian, kesepakatan tersebut tidak mengikat secara hukum (not legally binding) dan tidak menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan.
[5] Dalam hal ini Groome menyebutkan sejumlah dokumen historis, yaitu: (1) Magna Charta (1215); (2) Bill of Rights England (1689); (3) Rights of Man
[6] Paragraf pertama dari DUHAM menyatakan: 'Menimbang bahwa penegakan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. Lihat Gunawan Sumodiningrat dan Ibnu Purna (ed), Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009,
[7] Conde, 1999: 11.
[8] Groome, 1999: 4
[9] Ulasan yang luas mengenai hal ini dapat dilihat pada Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, Gramedia,
[10]Sidney Verba, “Women in American Politics”, Bagian penutup dalam Women, Politics, and Change. Louise A. Tilly dan Patricia Gurin, Russel Sage Foundation,
[11]Q.S, al-Hujurat, 49:13
[12] Ijtihad adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami ajaran Islam, memahami hukum-hukum yang terkandung di balik teks-teks suci, baik dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi dengan menggunakan aturan-aturan yang telah disepakati ulama. Walaupun demikian, ijtihad atau hasil rekayasa cerdas para ulama dalam bentuk tafsir dan interpretasi tersebut tetap bernilai relatif, tidak mutlak. Karenanya, tetap terbuka ruang untuk perubahan, revisi dan reinterpretasi.
[13] Q.S. al-Mumtahanah, 60:12 dan al-Naml, 27:23.
[14] Q.S. .al-Taubah, 9:71.
[15] QS. al-Tahrim, 66:12
[16] Q.S. al-Tahrim, 66:11.