5 Februari 2010

PENDIDIKAN BERWAWASAN GENDER

PENDIDIKAN BERWAWASAN KEADILAN GENDER

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA

Munculnya Kesadaran Baru

Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam hampir seluruh aspek kehidupan manusia membawa pengaruh yang tidak kecil terhadap pola relasi gender, terutama kaitannya dengan posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat serta peranannya dalam pembangunan di semua bidang kehidupan, tak terkecuali bidang pendidikan. Perubahan-perubahan tersebut berlangsung secara bertahap di berbagai tingkat.

Di tingkat dunia, komitmen untuk mengubah relasi gender ke arah yang lebih adil dan setara terlihat sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengambil langkah-langkah utama dengan menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam piagamnya tahun 1945 dan selanjutnya pada 1946 membentuk Commission on the Status of Women atau CSW (Komisi Kedudukan Perempuan). Kemudian, CSW sebagai komisi fungsional Economic and Social Council atau ECOSOC berfungsi aktif dalam upaya-upaya peningkatan kedudukan dan peran perempuan selaku mitra sejajar laki-laki sehingga terwujud kesetaraan dan keadilan gender. Salah satu instrumen fundamental yang dihasilkan berupa Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women disingkat CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada 1979. Indonesia meratifikasi konvensi ini pada tahun 1984 melalui UU No. 7 tahun 1984. Sayangnya, walau telah 17 tahun berlalu, Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaannya, belum lahir juga sehingga implementasinya tidak terlihat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara..

Perhatian dunia terhadap upaya kesetaraan jender semakin terlihat dengan dicanangkannya tahun 1975 sebagai Tahun Perempuan Internasional oleh PBB, dan tahun 1976 s/d 1985 sebagai Dasa Warsa PBB untuk perempuan. Selama periode ini upaya-upaya pengumpulan dan analisis berbagai data tentang situasi perempuan menjadi prioritas utama bagi PBB dan seluruh badan-badan khususnya. Sungguhpun demikian, analisis data dan indikator yang dikumpulkan dari seluruh dunia menunjukkan bahwa walaupun telah dicapai sejumlah keberhasilan selama seperempat abad terakhir (1975-2000), mayoritas perempuan masih tetap tertinggal jauh di belakang laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pendidikan.

Sebagai respon terhadap situasi perempuan di seluruh dunia yang masih memprihatinkan itu, Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia di Wina tahun 1993 menegaskan perlunya langkah-langkah strategis baru demi memajukan dan melindungi hak-hak perempuan. Deklarasi Wina menekankan dalam pendahuluannya suatu keprihatinan yang mendalam akan perilaku diskriminasi dan tindak kekerasan yang terus-menerus dihadapi kaum perempuan di berbagai belahan dunia.

Deklarasi dan Program Aksi konferensi ini menegaskan tiga point penting sebagai berikut. Pertama, penegasan Hak Asasi Perempuan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia secara integral (Women`s Rights are Human Rights). Kedua, penegasan partisipasi penuh dan setara bagi perempuan dalam kehidupan politik, sipil, ekonomi, sosial dan budaya pada semua tingkat: nasional, regional, dan internasional serta penghapusan segala bentuk diskriminasi berdasarkan jenis kelamin merupakan tujuan utama masyarakat sedunia. Ketiga, penegasan bahwa kekerasan berbasis jender dan segala bentuknya tidak sesuai dengan martabat dan harga diri manusia serta harus dihapuskan.

Bagi Indonesia tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan isi deklarasi dan program aksi tersebut karena penegasan Hak Asasi Perempuan sebagai tercantum dalam Deklarasi Wina sejalan dengan ideologi Pancasila, khususnya sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Adapun landasan konstitusionalnya adalah Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 yang menjamin persamaan kedudukan dan hak bagi semua warga negara: laki-laki dan perempuan, baik di depan hukum dan pemerintahan maupun atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu, hukum perundang-undangan nasional mengakui hal tersebut dalam Undang-Undang No. 68 tahun 1958 tentang pengesahan Konvensi Hak Politik Perempuan, Undang-Undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM.

Kembali ke tingkat internasional, tindak lanjut konkret dari program aksi Konferensi Wina tersebut terlihat dalam Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan di Cairo tahun 1994. Melalui konferensi ini masyarakat internasional untuk pertama kalinya mengakui bahwa pemberdayaan perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan. Program Aksi Cairo melahirkan sejumlah kesepakatan internasional untuk memajukan kesetaraan dan keadilan gender (gender equality and equity) dalam seluruh bidang pembangunan. Menyangkut bidang pendidikan komitmennya adalah: "setiap orang mempunyai hak atas pendidikan yang diarahkan pada perkembangan sumber daya manusia serta harkat dan potensi manusia dengan perhatian khusus pada perempuan dan anak-anak perempuan; kepentingan terbaik anak menjadi pedoman bagi mereka yang bertanggungjawab atas pendidikan dan pembinaan anak, dan tanggung jawab ini pertama-tama terletak pada orang tua mereka."

Kesetaraan dan Keadilan Gender

Untuk konteks Indonesia, setidaknya sepuluh tahun terakhir, perbincangan tentang gender sudah semakin merebak, tetapi dari berbagai pengamatan, ternyata pemahaman masyarakat tentang konsep gender masih rancu. Fatalnya, kesalahpahaman tersebut bukan hanya terjadi di kalangan awam, melainkan terjadi juga di kalangan terpelajar. Masalahnya, istilah gender seringkali dirancukan dengan istilah jenis kelamin, dan lebih rancu lagi, gender diartikan dengan jenis kelamin perempuan. Begitu disebut gender, yang terbayang adalah sosok manusia dengan jenis kelamin perempuan, padahal, istilah gender mengacu pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan.

Karena itu, penting sekali memahami terlebih dahulu perbedaan antara jenis kelamin (sex) dan gender. Jenis kelamin (sex) dibedakan berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal dan patologis sehingga muncul dikotomi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum, dan rahim. Perbedaan biologis tersebut bersifat kodrati, atau pemberian Tuhan, dan tak satupun yang dapat mengubahnya. Boleh jadi, dewasa ini akibat kemajuan teknologi, seseorang dimungkinkan mengubah jenis kelaminnya, tetapi betapapun perubahan itu tidak sampai mengubah fungsinya. Diciptakannya makhluk dengan jenis kelamin berbeda, sesungguhnya dimaksudkan untuk saling melengkapi, saling menghormati, dan saling mengasihi agar tercipta kehidupan damai dan bahagia.

Konsep gender mengacu kepada seperangkat sifat, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan. Timbullah dikotomi maskulin (laki-laki) dan feminin (perempuan). Di masyarakat, laki-laki selalu digambarkan dengan sifat-sifat maskulin, seperti perkasa, berani, rasional, dan tegar. Sebaliknya, perempuan digambarkan dengan sifat-sifat feminin, seperti lemah, pemalu, penakut, emosional, rapuh, dan lembut-gemulai. Maskulinitas dan feminitas ini sesungguhnya merupakan hasil konstruksi sosial, bukan hal yang kodrati. Buktinya, dalam realitas sosiologis di masyarakat ditemukan tidak sedikit laki-laki penakut, emosional, pemalu, lemah, dan lembut. Sebaliknya, cukup banyak perempuan kuat, berani, perkasa, pantang menyerah, rasional, dan sangat tegar. Dengan ungkapan lain, sifat-sifat tersebut bukanlah kodrati, melainkan dapat berubah dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lain.

Ringkasnya, masyarakatlah yang membentuk laki-laki menjadi kuat dan berani, sedangkan perempuan dibentuk menjadi lemah dan penakut. Sejak masih dalam kandungan sampai tua renta, bahkan sampai ke liang kubur, laki-laki diperlakukan sedemikian rupa agar mereka terbentuk menjadi makhluk yang superior, hal yang sebaliknya diperlakukan pada perempuan sehingga mereka menjadi inferior. Fatalnya, bentukan ini dibakukan sedemikian rupa melalui berbagai norma tradisi, adat, budaya, dan hukum, bahkan juga agama sehingga seolah-olah semuanya itu merupakan kodrat atau pemberian Tuhan yang harus diterima apa adanya, dan tidak boleh dipertanyakan lagi.

Perbedaan gender sesungguhnya merupakan hal yang biasa saja sepanjang tidak menimbulkan ketimpangan-ketimpangan gender (gender inequalities). Akan tetapi, realitas di masyarakat menunjukkan bahwa perbedaan gender telah melahirkan berbagai bentuk ketimpangan atau ketidakadilan, baik bagi laki-laki dan terlebih lagi bagi perempuan. Ketimpangan gender terwujud dalam banyak bentuk, di antaranya berupa burden atau pemberian beban kerja yang lebih panjang dan lebih berat kepada perempuan, terutama perempuan pekerja. Sebab, mereka selain dituntut mampu menyelesaikan tugas-tugas rumah tangga -yang di masyarakat selalu dipersepsikan sebagai kewajiban perempuan- mereka juga harus menunjukkan prestasi kerja yang baik di tempat kerja. Timbullah istilah "beban ganda" bagi perempuan pekerja, sebaliknya bagi laki-laki pekerja tidak ada istilah "beban ganda" karena mereka pada umumnya memang tidak bekerja ganda, mereka tidak dituntut menyelesaikan tugas-tugas di rumah tangga sebagaimana halnya perempuan.

Bentuk lain dari ketidakadilan gender adalah kekerasan (violence). Perlakuan kekerasan terhadap perempuan dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori; kekerasan di ranah domestik dan kekerasan di ranah publik. Intensitas kekerasan pada perempuan Indonesia dinilai sangat tinggi. Buktinya, dari penduduk Indonesia yang berjumlah 217 juta, 11,4 % di antaranya atau sekitar 24 juta penduduk perempuan -terutama di pedesaan- mengaku pernah mengalami perlakuan kekerasan, dan sebagian besar berupa kekerasan di rumah tangga, tempat yang selama ini dianggap paling aman buat perempuan (Laporan Meneg Pemberdayaan Perempuan, Kompas 27 April 2000). Kekerasan domestik tersebut, antara lain mengambil bentuk penganiayaan, pemaksaan hubungan seksual dalam kehidupan suami-isteri, pelecehan, atau suami berselingkuh. Bahkan, kasus perkosaan di Indonesia dilaporkan terjadi setiap lima jam. Dapat dipastikan bahwa data kekerasan yang tercatat itu jauh lebih sedikit dari yang seharusnya dilaporkan, ibarat gunung es, yang terlihat hanya sedikit di permukaan. Alasannya, tidak semua perempuan yang mengalami kekerasan bersedia melaporkan kasusnya, sebagian besar menutup diri karena takut atau malu atau demi menutup aib keluarga.

Ketimpangan gender dapat juga mengambil bentuk subordinasi, yakni anggapan bahwa perepuan itu tidak penting, melainkan sekedar pelengkap dari kepentingan laki-laki. Di masyarakat masih kuat anggapan bahwa perempuan itu tidak rasional dan lebih banyak menggunakan emosinya sehingga perempuan tidak bisa tampil sebagai pemimpin. Perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena pada akhirnya kembali ke dapur juga.

Ketidakadilan gender sering pula mengambil wujud stereotipe (pelabelan negatif) yang dilekatkan pada diri perempuan. Misalnya, perempuan sering diberi label sebagai makhluk penggoda sehingga di masyarakat seringkali terdengar ucapan sebagai berikut: "Hati-hati terhadap perempuan karena godaannya jauh lebih dahsyat dari godaan syetan." Implikasi sosial dari pelabelan negatif seperti itu terlihat, misalnya pada kasus pelecehan seksual atau perkosaan, masyarakat selalu berkecenderungan menyalahkan perempuan, padahal mereka sesungguhnya hanyalah korban.

Timbul pertanyaan, mengapa ketidakadilan jender terjadi semakin luas dan menyelimuti hampir semua kelompok perempuan di dunia, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Hal ini sangat berkaitan dengan kesadaran dan kepekaan masyarakat, baik secara individual, maupun kolektif. Kalau masyarakat memandang kondisi ini sebagai suatu kewajaran karena meyakini hal itu terkait dengan takdir, maka mereka akan menerima saja dengan pasrah. Akan tetapi dalam kelompok masyarakat yang kritis tentu akan melihat ketimpangan itu sebagai suatu akibat dari struktur sosial dan budaya yang berlaku. Karena itu, diperlukan upaya-upaya untuk mengubah struktur dan budaya yang ada menuju sistem yang lebih egaliter, adil, dan demokratis. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan.

Untuk memahami lebih baik peran jender laki-laki dan perempuan, perlu dipilah-pilah mana bidang produktif, reproduktif, dan kemasyarakatan. Hanya dengan demikian dapat diperoleh pemahaman tentang kebutuhan-kebutuhan laki-laki dan perempuan serta keterlibatan mereka dalam proses-proses kekuasaan dan pengambilan keputusan. Dengan demikian kebutuhan spesifik laki-laki dan perempuan dapat diketahui dengan tepat dan selanjutnya dapat dirumuskan dalam tahapan-tahapan pembangunan, sejak perencanaan sampai pada evaluasi. Pembangunan dalam semua bidang, tak terkecuali bidang pendidikan, merupakan suatu proses yang harus melibatkan seluruh anggota masyarakat ke dalam tahapan yang sama, sesuai kebutuhan individual.

Mengingat jumlah perempuan yang lebih besar 0.3 persen daripada laki-laki (BPS 2001), eksistensi mereka penting sebagai sumberdaya manusia dalam pembangunan. Namun, kenyataannya mereka belum dapat optimal menyumbangkan kemampuan dan potensinya disebabkan oleh ketimpangan-ketimpangan gender sebagai akibat dari konstruksi sosial dan budaya. Oleh karena itu, konsep gender menjadi sangat diperlukan untuk menganalisis ketimpangan relasi gender yang bertahan antara laki-laki dan perempuan, untuk selanjutnya menemukan solusi yang tepat dalam mengatasinya sehingga kesetaraan dan keadilan gender, sebagai diamanatkan dalam GBHN dapat terwujud.

Ketimpangan Gender Dalam Pendidikan

Kebijakan nasional menyangkut pendidikan dapat ditelusuri dari UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan bahwa kesempatan pendidikan pada setiap satuan pendidikan tidak membedakan jenis kelamin, agama, suku, ras, kedudukan sosial, dan tingkat kemampuan ekonomi, dan tetap mengindahkan kekhususan satuan pendidikan yang bersangkutan (pasal 7). Selanjutnya, GBHN 1999 menggariskan dua hal pokok berkaitan dengan kebijakan pendidikan. Pertama, mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan pada setiap jenjang pendidikan; dan kedua, melakukan pembaharuan sistem pendidikan, termasuk pembaharuan kurikulum berupa diversifikasi kurikulum untuk melayani keragaman peserta didik. Meskipun kebijakan nasional di bidang pendidikan seperti dipaparkan di atas sudah cukup memadai untuk dijadikan acuan pembangunan pendidikan yang berwawasan jender, namun dalam realitasnya masih saja terjadi ketimpangan gender.

Ketimpangan gender dalam pendidikan, antara lain berwujud kesenjangan memperoleh kesempatan yang konsisten pada setiap jenis dan jenjang pendidikan. Perempuan cenderung memiliki kesempatan pendidikan yang lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki, semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin lebar kesenjangannya. Kesenjangan ini pada gilirannya membawa kepada berbedanya rata-rata penghasilan laki-laki dan perempuan. Walaupun dengan latar belakang pendidikan yang sama, rata-rata penghasilan angkatan kerja perempuan secara konsisten lebih rendah dibandingkan dengan angkatan kerja laki-laki.

Data-data pendidikan hasil SUSENAS 1999 menunjukkan kesenjangan yang signifikan. Penduduk perempuan berusia 16 tahun ke atas yang menamatkan SLTP hanya mencapai 29,1%, sementara laki-laki mencapai 32,5%. Penduduk perempuan yang menamatkan SLTA mencapai 33,7%, sedangkan laki-laki 46%. Setiap 100 orang laki-laki berbanding 8 perempuan yang melanjutkan ke perguruan tinggi; yaitu 7 orang di perkotaan dan 1 orang di pedesaan. Selain itu, jumlah perempuan berusia 10 tahun ke atas yang buta huruf sebanyak 8% di perkotaan dan 18% di pedesaan, sedangkan laki-laki 3% di perkotaan dan 9% di pedesaan.

Meskipun diakui jumlah penduduk perempuan yang melek huruf semakin bertambah, namun dibandingkan dengan jumlah penduduk laki-laki relatif masih tertinggal. Buktinya, data tahun 1980 mencatat jumlah perempuan melek huruf 63% dibandingkan laki-laki sebanyak 80%. Bandingkan dengan data tahun 1999, penduduk perempuan melek huruf menjadi 94,7% sedangkan laki-laki menjadi 97,3%.

Data lain yang menunjukkan kesenjangan adalah berkaitan dengan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Ada kecenderungan bahwa semakin tinggi kelompok usia, semakin melebar kesenjangan menurut jender. Pada tahun 1999, APS perempuan kelompok usia SD lebih tinggi daripada laki-laki, namun APS bagi perempuan mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya usia. Akan tetapi, menarik dicatat bahwa meskipun angka partisipasi perempuan lebih rendah, mereka ternyata lebih mampu bertahan ketimbang laki-laki. Angka putus sekolah siswa perempuan selalu lebih kecil, terutama pada tingkat SMU, SMK, dan PT (SUSENAS, 1999). Rendahnya APS perempuan dalam pendidikan akan mengakibatkan proses pendidikan menjadi kurang efisien.

Ketimpangan gender dapat pula diamati dari segi isi buku pelajaran. Kebanyakan muatan buku pelajaran, khususnya Bahasa dan Sastera, IPS, PPKN, Pendidikan Jasmani, Kesenian dan sejenisnya, yang membahas kedudukan perempuan dalam masyarakat cenderung masih menganut nilai-nilai yang bias gender. Perempuan dalam buku-buku tersebut masih di tempatkan dalam peran-peran domestik (domestic roles), sebaliknya laki-laki diposisikan dalam peran-peran publik (productive roles). Dengan demikian isi buku-buku tersebut masih mengakui adanya segregasi ruang yang ketat antara laki-laki dan perempuan; laki-laki di ruang publik, sedangkan perempuan di ruang domestik. Kurikulum dan materi pelajaran yang belum mengacu kepada prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan gender akan menyebabkan perempuan tetap tidak mempunyai mentalitas sebagai warga masyarakat yang produktif.

Menarik dikemukakan hasil penelitian Logsdon terhadap buku-buku pelajaran di sekolah dasar, seperti dikutip Ratna Saptari bahwa isi buku-buku teks yang diberikan di sekolah dasar menunjukkan pembakuan peran-peran sosial perempuan dan laki-laki. Ibu biasanya tinggal di rumah, bapak pergi ke kantor. Ibu tidak berbuat lain kecuali kerja rumah tangga, mengasuh anak, belanja, dan sembahyang. Ibu makan dan mandi setelah bapak. Bapaklah yang mempunyai pekerjaan, menghidupi dan melindungi keluarga.

Menurut Logsdon, gambaran seperti itu sangat janggal, mengingat bahwa perempuan di Indonesia sangat terlibat dalam kegiatan ekonomi dari berbagai sektor, sangat berbeda dengan perempuan di daerah lain, misalnya di India. Lebih lanjut, ia mempertanyakan mengapa dalam banyak situasi di mana perempuan sangat terlibat dalam kehidupan ekonomi, terdapat ideologi yang sama sekali berlawanan dengan apa yang terjadi dalam kenyataan. Analisis yang disodorkan ada dua; pertama, bahwa isi buku tersebut sebenarnya merupakan pencerminan dari kehidupan para penulis buku yang kemungkinan berasal dari kelas sosial yang berbeda sehingga mereka tidak menyadari kalau gambaran yang mereka paparkan dalam buku-buku tidak sesuai dengan mayoritas kelompok sosial yang ada di lapisan bawah. Analisis kedua, bahwa dalam masa pembangunan ini di mana dibutuhkan tenaga kerja murah, kaum perempuan yang mempunyai tugas utama dalam bidang reproduksi tidak akan dipandang sebagai tenaga yang terampil, dan dengan demikian bisa tercipta angkatan kerja tersebut (Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, 1997).

Kemudian dari segi minat terlihat bahwa pada SMK, laki-laki lebih dominan memilih jurusan atau program studi keterampilan atau keahlian pada bidang-bidang kejuruan teknologi dan industri. Sebaliknya, perempuan lebih dominan pada bidang-bidang keahlian yang berkaitan dengan ketatausahaan, perawat kesehatan dan teknologi kerumahtanggaan. Lalu di tingkat mahasiswa terlihat perempuan lebih cenderung pada jurusan-jurusan: keahlian terapan bidang manajemen (57,7%), pelayanan jasa dan transportasi (64,2%), bahasa dan sastra (58,6%, serta psikologi (59,9%). Sebaliknya, laki-laki lebih cenderung memilih jurusan-jurusan: teknologi dan ilmu-ilmu keras (hard sciences) (SUSENAS, 1998). Penjurusan pada pendidikan menengah kejuruan dan pendidikan tinggi mengindikasikan masih adanya stereotipe dalam sistem pendidikan di Indonesia yang berdampak pada mandegnya pola kompetisi yang rasional menurut gender.

Ketimpangan yang sama terlihat pula pada Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Perempuan lebih dominan pada program pendidikan persiapan guru SLTP dan PGSD (68,2%), kecenderungan yang sama pada program sarjana yang menyiapkan guru sekolah menengah (55,7%) (Depdiknas, 1999). Menarik dicermati bahwa jumlah tenaga guru untuk level pendidikan dasar didominasi oleh perempuan, tetapi semakin tinggi level pendidikan semakin berkurang pula jumlah guru perempuanya. Setiap 100 guru SD, 54 di antaranya adalah perempuan, dan setiap 100 guru sekolah menengah, hanya 38 perempuan, seterusnya setiap 100 dosen di Perguruan Tinggi, perempuan hanya 29 orang (SUSENAS, 1999).

Sejumlah hasil penelitian mengungkapkan bahwa kesenjangan gender bukan diakibatkan oleh satu faktor tunggal, melainkan terdapat sejumlah faktor yang saling kait mengkait. Setidaknya, dapat disebutkan empat faktor utama, yakni faktor akses, kontrol, partisipasi dan benefit. Faktor akses terlihat nyata dalam proses penyusunan kurikulum dan proses pembelajaran yang cenderung bias laki-laki (bias toward male). Dalam kedua proses ini harus diakui proporsi laki-laki sangat dominan. Indikasinya dapat dilihat pada penulis buku-buku pelajaran dalam berbagai bidang studi yang mayoritas adalah laki-laki (85%). Selain itu, jumlah tenaga pengajar, khususnya pada SLTP ke atas lebih didominasi laki-laki. Akibatnya, proses pembelajaran menjadi bias laki-laki (bias against female). Kondisi ini semakin diperburuk oleh kenyataan bahwa sensitivitas gender masyarakat, baik laki-laki dan perempuan masih sangat rendah.

Kontrol terhadap kebijakan pendidikan lebih didominasi laki-laki, mengingat laki-laki lebih banyak berada pada posisi strategis dalam pengelolaan pendidikan, terutama dalam jabatan struktural, mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat yang paling rendah. Hal itu menyebabkan partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan dalam bidang pendidikan relatif masih rendah. Akibatnya, sejumlah kebijakan dalam pendidikan dipandang belum sensitif gender.

Partisipasi perempuan yang rendah, khususnya pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, seperti SMK dan PT. Setidaknya ada tiga alasan yang sering dikemukakan berkenaan dengan hal ini (Suleeman, 1995). Pertama, tidak tersedianya sarana dan prasarana sekolah untuk jenjang pendidikan SLTP ke atas di daerah sekitar tempat tinggal. Karena alasan jarak dan keselamatan selama perjalanan menuju ke sekolah menyebabkan banyak orang tua keberatan menyekolahkan anak perempuannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kedua, relatif tingginya biaya pendidikan. Biaya pendidikan masih belum terjangkau oleh kebanyakan penduduk, khususnya yang tidak mampu. Ketiga, masih dianutnya di masyarakat sejumlah norma yang merugikan perempuan, misalnya pandangan yang menyatakan bahwa anak perempuan lebih diperlukan dalam membantu orang tua menyelesaikan tugas sehari-hari di rumah, sedangkan anak laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk membantu menambah penghasilan keluarga.

Sikap sebagian besar orang tua yang dipengaruhi oleh nilai-nilai sosial-budaya yang berlaku serta kondisi ekonomi keluarga mengakibatkan prioritas pendidikan lebih ditujukan untuk anak laki-laki ketimbang anak perempuan. Pengaruh nilai-nilai sosial-budaya juga terlihat pada stereotipe dalam pemilihan jurusan. Perempuan lebih dominan pada program studi yang berkaitan dengan ilmu-ilmu perilaku dan pelayanan sosial, seperti psikologi, ilmu pendidikan, perawat kesehatan, dsb. Sebaliknya, laki-laki lebih fokus pada ilmu-ilmu keras, seperti IPA, otomotif, teknologi industri, dsb.

Faktor benefit terlihat dari dominannya laki-laki dalam posisi sebagai penentu kebijakan, khususnya dalam lembaga birokrasi di bidang pendidikan, demikian juga pada jabatan-jabatan akademis kependidikan. Diperkirakan perempuan tertinggal jauh dalam memperoleh kesempatan pendidikan sejak tiga dekade yang lalu (30 tahun). Karena itu, laki-laki lebih banyak menikmati posisi strategis dalam jabatan-jabatan struktural.

Pentingnya Perspektif Gender Dalam Pendidikan Nasional

Dalam rangka akselerasi tujuan pembangunan nasional, termasuk di dalamnya pembangunan bidang pendidikan, menuju kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka pendidikan yang berwawasan gender menjadi pilihan yang strategis walaupun tentu saja merupakan pilihan yang berat mengingat banyaknya hambatan yang akan dihadapi.

Langkah konkret yang perlu segera diambil adalah merumuskan kebijakan gender dalam pendidikan nasional. Paling tidak tujuan yang akan dicapai melalui kebijakan itu mencakup tiga hal pokok. Pertama, membuka kesempatan pendidikan yang lebih merata pada semua jurusan, jenis, dan tingkat pendidikan dengan mempertimbangkan aspek kesetaraan gender. Kedua, mengeliminasi semua bentuk ketimpangan gender pada jurusan, bidang kejuruan, atau program studi di tingkat pendidikan menengah dan tinggi sehingga terwujud kesetaraan gender dalam berbagai bidang keahlian profesionalisme. Ketiga, memberikan peluang dan kesempatan kepada perempuan untuk berpartisipasi secara optimal pada semua unit dan dalam seluruh tahapan pembangunan pendidikan, mulai dari tahap perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, pelaksanaan program, sampai kepada tahap akhir berupa evaluasi.

Agar tujuan tersebut dapat diwujudkan secara optimal, terlebih dahulu perlu ditingkatkan keseimbangan jumlah guru dan tenaga kependidikan atas dasar gender pada semua bidang dan pada semua tingkatan pendidikan. Selanjutnya, mengembangkan pendekatan proses pembelajaran yang sensitif gender melalui pembinaan dan pelatihan guru-guru, kepala sekolah, dan pengawas pendidikan. Demikian pula perlu ditingkatkan partisipasi perempuan, terutama pada tingkat pengambilan keputusan di semua unit pengelolaan pendidikan nasional.

Berikutnya, seluruh penulis bahan bacaan dan para penanggungjawab dalam bidang pengembangan kurikulum diberikan orientasi tentang kebijakan pendidikan yang berperspektif kesetaraan dan keadilan gender sehingga diharapkan nanti tidak ada lagi kurikulum dan buku-buku bacaan sekolah yang bias gender. Namun, yang paling penting diperioritaskan adalah memberikan peluang yang seluas-luasnya kepada perempuan untuk memasuki semua jenis dan jenjang pendidikan melalui pemberian bea siswa atau subsidi, terutama bagi mereka dari keluarga yang kurang mampu, serta memberikan affirmative action kepada perempuan untuk memasuki jurusan atau program-program studi yang selama ini menjadi monopoli laki-laki, tentu kebijakan dimaksud bersifat sementara, yakni hanya untuk suatu jangka waktu tertentu, sehingga terbangun keseimbangan jumlah siswa dan mahasiswa menurut gender dalam semua jenis dan jenjang pendidikan.

Wallahu a`lam bi al-shawab

Jakarta, 23 Februari 2002

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, Leila, 2000, Wanita dan Gender dalam Islam, Lentera, Jakarta.

Badan Pusat Statistik, 1998, Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia 1997 (SDKI), Jakarta.

Fakih, Mansour, 1997, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

-------------------------, 2000, Survei Angkatan Kerja Nasional, 1999, Jakarta

-------------------------, Statistik dan Indikator Gender, 2001, Jakarta.

Economic and Social Commission for Asia and Pacific (ESCAP), 1998, Women in Indonesia: A Country Profile. United Nations, New York.

Johnson, Allan G, 1997, The Gender Knot , Temple University, USA.

Mulia, Musdah, 1999, Potret Perempuan Dalam Lektur Agama, Badan Litbang Departemen Agama, Jakarta.

------------------- (ed.), 2001, Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam), Tim Pemberdayaan Perempuan Bidang Agama, Departemen Agama, Jakarta.

Regional Workshop on Gender Statistics, 1994. Gender Issues and Statistics: Training Material for Regional Workshop on Gender Statistics, in Bangkok.

Sanday, Peggy Reeves, 1981, Female Power and Male Doinance, Cambridge University, New York.

Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner, 1997, Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial, Grafiti, Jakarta.

Suleeman, Evelyn, 1995, Pendidikan Wanita di Indonesia, dalam T.O. Ihromi (ed.), Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.


Tidak ada komentar: