15 Februari 2010

Pencatatan Perkawinan

PERLUNYA PENCATATAN PERKAWINAN:

RESPON TERHADAP KEINGINAN PEMERINTAH

MEMPIDANAKAN PELAKU NIKAH SIRRI

Siti Musdah Mulia

Pada suatu seminar: Pentingnya Pencatatan Perkawinan dalam Islam, seorang peserta menyanggah: "apa pentingnya pencatatan? toh Nabi sendiri tidak mencatatkan perkawinannya." Menanggapi pertanyaan naif tadi, dengan enteng saya jawab: "Jangankan Nabi yang hidup di abad ke-7, kakek dan nenek saya yang meninggal beberapa tahun lalu pun tidak mencatatkan perkawinan mereka." Di jaman mereka pencatatan itu belum memiliki makna penting sebagaimana di masa kita sekarang. Kehidupan manusia semakin kompleks dan rumit; segala peristiwa vital dalam kehidupan kita, seperti perkawinan, harus dicatatkan sebagai bukti legal. Tanpa Akta Nikah dapat berarti mengabaikan dan menelantarkan sejumlah hak isteri dan anak-anak. Hal itu sungguh-sungguh bertentangan dengan ajaran Islam yang amat sangat menekankan pemenuhan hak-hak manusia, terutama anak dan isteri.

Pencatatan perkawinan sesungguhnya sudah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (1991) yang mengacu kepada UU Perkawinan Tahun 1974, pasal 2, ayat 2: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku". Hanya saja, KHI belum secara tegas menyatakan bahwa pencatatan adalah salah satu syarat sahnya perkawinan. KHI masih memandang pencatatan sebatas jaminan ketertiban, yakni demi kepentingan tertib administrasi semata (pasal 5). Secara kasat mata pasal-pasal KHI menyangkut pencatatan sangat tidak konsisten, di satu sisi KHI memandang pencatatan hanya sebagai tertib administrasi, namun di lain sisi ditegaskan, perkawinan harus dibuktikan dengan Akta Nikah (pasal 7). Inkonsisitensi tersebut merupakan cerminan pandangan yang mendua di masyarakat mengenai sahnya perrkawinan. Institusi Pengadilan mengakui sahnya perkawinan disamping terpenuhinya lima syarat, juga harus melalui pembuktian Akta Nikah, sementara kalangan agama mengakui sahnya perkawinan cukup dengan memenuhi lima syarat, seperti dalam kitab fiqh, yakni adanya mempelai laki, mempelai perempuan, ijab qabul, wali dan saksi. Artinya, kalangan agama yang menjadi panutan awam memandang sah perkawinan, meski tidak dicatatkan. Akibatnya, perkawinan yang tidak dicatatkan (perkawinan sirri) atau perkawinan bawah tangan tetap berlangsung, bahkan akhir-akhir ini mengalami eskalasi.

Sudah umum diketahui betapa beresikonya perkawinan yang tidak dicatatkan, terutama bagi isteri dan anak-anak. Tanpa Akta Nikah berarti tiadanya proteksi hukum bagi isteri dan anak-anak. Hal ini seharusnya menyadarkan kaum perempuan untuk tidak menikah secara sirri atau menikah bawah tangan atau dinikahi tanpa Akta Nikah. Jika terjadi masalah dalam perkawinan, maka sangat sulit bagi isteri dan anak-anak untuk memperoleh hak-haknya, seperti hak nafkah, hak tunjangan, hak waris, dan hak isteri atas harta gono-gini, serta sejumlah hak lainnya.

Lalu, apakah kita akan membiarkan -atas nama agama- para isteri dan anak-anak kehilangan hak-haknya? Bukankah agama itu membawa rahmat dan anugerah bagi kehidupan manusia, termasuk isteri dan anak-anak? Bukankah Islam seharusnya memberikan solusi bagi persoalan sosial kontemporer umat manusia?

Menarik diungkapkan di sini pernyataan Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih Mazhab Hanbali, dalam kitabnya, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin: "Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri." Pernyataan serupa ditulis Ibnu Rusyd: "bahwa kemashlahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan". Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam sampai kepada kesimpulan bahwa "seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia". Dengan perspektif ini, sudah saatnya kita membangun pemahaman agama yang kondusif bagi pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia, terutama hak para isteri dan anak-anak, melalui pencatatan perkawinan.

Salah satu solusi, merevisi pasal-pasal KHI, khususnya menyangkut definisi sahnya perkawinan (pasal 4). Diusulkan berbunyi: Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam dan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya disertakan sanksi yang ketat bagi mereka yang melanggar aturan, dan sanksi itu harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sehingga efektif menghalangi munculnya kasus perkawinan sirri atau bawah tangan (tidak dicatatkan). Usulan revisi KHI lainnya adalah memasukkan unsur pencatatan sebagai salah satu rukun atau syarat sahnya perkawinan (pasal 14). Dengan demikian, perkawinan sirri atau bawah tangan otomatis batal secara hukum.

Argumentasi teologis dari usulan menjadikan pencatatan sebagai rukun atau syarat sahnya perkawinan sangat jelas. Pertama, berqiyas kepada Q.S. al-Baqarah, 2:282 yang mewajibkan pencatatan utang-piutang. Berdasarkan mafhum muwafaqat dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa tranksaksi utang-piutang saja disyariatkan untuk dituliskan, tentu akan lebih penting lagi mencatatkan akad (tranksaksi) yang mengikat kehidupan dua insan dalam bentuk perkawinan. Apalagi, perkawinan merupakan akad yang yang sangat kuat (mitsaqan ghalizan). Qiyas tersebut dalam istilah ushul fikih disebut qiyas al-aulawi (analogi yang hukumnya pada furu' lebih kuat daripada yang melekat pada asalnya). Perkawinan sejatinya merupakan transaksi yang Maha-penting, bahkan jauh lebih penting dari transasksi lainnya dalam kehidupan manusia. Kalau transaksi utang saja harus dicatat, bukankah transaksi perkawinan merupakan hal yang lebih krusial untuk dicatatkan? Kedua, berdasarkan hadis Nabi saw: … jangan melacur dan jangan melakukan pernikahan sirri” (Lihat Kitab an-Nikah, Sunan at-Tirmizi, hadis no. 1008; Kitab an-Nikah, Sunan an-Nasai no. 3316-3317; Kitab an-Nikah, Sunan Ibn Majah, hadis no. 1886). Ketiga, bersandar pada sejumlah hadis yang menghimbau agar mengumumkan perkawinan (Lihat as-Sarakhsi, al-Mabsut; V:31; Sunan at-Tirmidzi no. 1009; Sunan Ibn Majah no. 1885; dan Musnad Ahmad no. 15545) dan hadis-hadis yang menghendaki hadirnya empat unsur dalam akad nikah demi sahnya sebuah perkawinan.

Abu Hasan al-Mawardi dan Ibn Taimiyah, dua ulama besar abad pertegahan, menegaskan bahwa institusi pemerintah dalam hukum Islam berkewajiban melindungi warganya dari berbagai bentuk eksploitasi dan perlakuan yang merugikan hak-hak mereka. Karena itu, pemerintah wajib menciptakan peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan ketenteraman dan kedamaian. Sebagai uli al-amr (pemegang kekuasan), pemerintah mempunyai dua fungsi utama, yaitu fi harasah al-din (menjaga agama) dan fi siyasah al-dunya` (mengatur urusan dunia). Dalam pelaksanaan kedua fungsi tersebut, pemerintah wajib ditaati oleh warganya sepanjang tidak mengajak kepada kemungkaran.

Dalam konteks pelaksanaan kedua fungsi inilah pemerintah dibenarkan membuat perundang-undangan dalam bidang siyasah al-syar'iyah demi menunjang berlakunya ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Rasul, meskipun belum pernah dirumuskan oleh ulama sebelumnya. Hanya dengan cara inilah, terwujud Islam yang ramah terhadap perempuan dan rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta). Wallahu a'lam bi as-shawab.

Tidak ada komentar: