27 Juni 2009

MENGUTUK PORNOGRAFI

MENGUTUK PORNOGRAFI :

MENGHARGAI KEBEBASAN MANUSIA

Siti Musdah Mulia[1]

Mengapa Pornografi Marak?

Salah satu isu penting yang dihadapi bangsa Indonesia di era reformasi ini adalah merebaknya kasus-kasus pornografi pada semua elemen masyarakat, mulai dari perkotaan sampai dengan pedesaan, mulai dari kalangan elit sampai ke kalangan "akar rumput". Sejumlah kajian menyimpulkan bahwa kondisi krusial tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi dari beberapa faktor. Pertama, lumpuhnya sistem hukum di negeri ini dan salah satu indikasinya adalah tidak tegaknya sejumlah peraturan perundang-undangan yang ada berkaitan dengan penghapusan pornografi. Kedua, kurang berfungsinya lembaga keluarga dalam memainkan peran edukatif mendidik anggota mereka. Ketiga, gagalnya institusi pendidikan, termasuk lembaga pendidikan agama dalam menanamkan moralitas dan nilai-nilai etika kepada anak didik. Keempat, masih kentalnya budaya patriarki di masyarakat yang memandang perempuan sebagai subordinat laki-laki dan memposisikan perempuan hanya sebagai obyek seksual. Akibatnya, media cetak dan elektronik penuh dengan gambar tubuh perempuan yang erotis. Kelima, kuatnya interpretasi agama yang bias jender dan tidak akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Interpretasi agama yang memposisikan perempuan sebagai penggoda dan sumber fitnah, serta tidak memiliki kemandirian sebagai manusia utuh. Keenam, pengaruh globalisasi yang menyebarkan pola hidup kapitalistik, hedonistik, dan materialistik.

Akan tetapi, faktor-faktor penyebab pornografi yang disinggung tadi tidak banyak dibahas dalam mencari solusi. Ironisnya, faktor penyebab utama yang sering dijadikan "kambing hitam" bagi maraknya pornografi adalah ulah dan kebebasan kaum perempuan, terutama kebebasan dalam berbusana dan berekspresi, serta kebebasan dalam pergaulan. Umumnya masyarakat menuding perempuan sebagai sumber masalah: perempuan mempertontonkan bagian-bagian tubuhnya yang sensual sehingga kasus-kasus pornografi tumbuh bak jamur di musim hujan. Dengan asumsi dasar seperti ini maka solusi yang ditawarkan mudah ditebak, yaitu mengontrol tubuh perempuan dan membatasi kebebasannya. Akhirnya, lahirlah UU Anti Pornografi yang isinya sungguh-sungguh menempatkan perempuan sebagai obyek, bukan subyek hukum.

Apa itu pornografi? Betulkah perempuan penyebab meningkatnya kasus-kasus pornografi di negeri ini? Betulkah upaya mengeliminasi pornografi harus dilakukan melalui undang-undang yang diskriminatif terhadap perempuan? Mengapa dalam banyak isu, perempuan selalu diposisikan sebagai obyek? Bagaimana Islam memandang pornografi? Dan apa solusi yang ditawarkan Islam dalam upaya mengeliminasi pornografi? Pertanyaan-pertanyaan kritis inilah yang akan dijawab dalam tulisan berikut.

Pornografi: Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Istilah pornografi berasal dari bahasa Yunani kuno porne, maksudnya adalah budak seks perempuan, dan graphos yang berarti penulisan atau penggambaran mengenai tindak-tanduk tersebut. Analisis semantik terhadap akar kata pornografi membawa kepada kesimpulan dasar bahwa inti utama pornografi adalah eksploitasi tubuh perempuan, pengebirian hak-hak dasar perempuan, serta penyalahgunaan tujuan seksualitas terhadap perempuan.

Menurut kamus Webster, "pornografi adalah tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu seksual orang yang melihat atau membacanya." Definisi senada dinyatakan oleh HB. Jassin, budayawan terkemuka sebagai berikut. Pornografi menciptakan fantasi pembaca atau penonton ke daerah-daerah seputar kelamin, fantasi itu kemudian membakar berahi. Makin lama seseorang terekspos pada materi porno, besar kemungkinan makin intens rangsangan seksual yang ditimbulkannya."[2] HB Yassin menekankan pornografi sebagai karya manusia dalam bentuk cerita, gambar, film, tarian atau pun lagu yang diciptakan semata-mata dengan maksud membakar nafsu berahi orang lain sehingga merangsang syahwat serta dapat menimbulkan pikiran-pikiran jorok di benaknya."

Definisi lainnya menjelaskan bahwa pornografi adalah kegiatan kreatif dalam bentuk tulisan, gambar, film dan sebagainya yang sama sekali tidak mengandung nilai-nilai sastrawi maupun artistik, melainkan semata-mata dibuat untuk merangsang berahi seksual. Selain itu, Diana E.H. Russell, mencoba mendefinisikan pornografi sebagai "Materi yang menggabungkan seks dan atau eksposur alat kelamin dengan cara menyalahgunakan dan merendahkannya dalam sikap seolah mendukung, mengizinkan maupun mendorong perilaku demikian."

Berikutnya, Gloria Steinem mencoba membedakan antara pornografi dan erotika. Istilah yang disebutkan terakhir itu berasal dari kata eros, berarti cinta yang berkobar-kobar. Sebaliknya pornografi memiliki akar kata porno atau prostitusi, yang mengandaikan dominasi seksual laki-laki terhadap perempuan.

Pada tahun 1960-an dan tahun 1970-an definisi pornografi direduksi hanya pada segala sesuatu yang menyangkut tindakan seksual yang menyinggung standar-standar masyarakat serta merendahkan nilai dan martabat masyarakat tersebut.

Pada tahun 1989, Catharine A. MacKinnon menawarkan definisi legal pornografi sebagai penggambaran tegas perendahan perempuan secara seksual melalui gambar dan atau perkataan, dan termasuk di dalamnya perempuan yang didehumanisasi serta diobjekkan, sebagai seseorang sedang menikmati kesakitan, perendahan martabat, maupun perkosaan dalam konteks yang membuat kondisi-kondisi ini menjadi seksual.[3]

Selanjutnya dalam perkembangan di Amerika, pornografi berubah menjadi tayangan massa, yaitu ketika tayangan video mulai merambah ke rumah-rumah, pornografi masuk pada periode booming dan menjadi industri bisnis jutaan dollar. Industri ini tidak henti-hentinya diprotes banyak kalangan seperti kalangan agama, pengikut garis politik kanan, dan kelompok feminis. Dari kelompok feminis muncul dua tokoh ternama: Catharine MacKinnon dan Andrea Dworkin. Keduanya merupakan simbol bagi perlawanan terhadap pornografi. Sebab, bagi mereka berdua, pornografi merupakan isu feminis. Artinya, persoalan pornografi harus dilihat dengan perspektif argumentasi hak-hak perempuan.

Adapun menurut Reader's Companion to US Women's History, sebelum tahun 1980-an, yang dimaksudkan dengan pornografi secara umum adalah bahan-bahan yang kandungan seksualnya eksplisit. Definisi legal dari pornografi, menurut mereka, adalah obsenitas (obscenity) yang menarik minat rendahan, menyinggung perasaan dan tidak mempunyai nilai artistik, politik maupun keilmiahan yang serius. Definisi tersebut menjadi referensi argumen legal bagi kelompok penentang pornografi di Amerika Serikat. Mereka bertumpu pada pemikiran bahwa kadar pengumbaran seksualitas pada karya pornografi itulah yang menjadi penyebab kerusakan dan kesakitan (harm) di kalangan masyarakat.

Dari ragam pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun pornografi sudah menjadi endemik di tengah kita, namun hingga saat ini belum ditemukan satu rumusan yang jelas dan disepakati bersama mengenai pengertian pornografi. Namun, tidak salah jika dirumuskan bahwa pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, lukisan, tulisan, foto, film, video, terawang, tayangan atau media komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada publik alat vital dan bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan sensualitas dan atau seksualitas, serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan seks manusia yang patut diduga menimbulkan ransangan nafsu berahi pada orang lain. Pornografi adalah upaya menimbulkan rangsangan syahwat pada seseorang, baik laki-laki maupun perempuan. Artinya, segala bentuk ekspresi yang sensual dan erotis serta merangsang, baik dilakukan oleh laki-laki atau perempuan masuk dalam kategori pornografi dan karenanya harus dihilangkan.

Pornografi jelas merugikan dan merendahkan martabat kemanusiaan perempuan karena mereka menjadi obyek pelecehan dan eksploitasi. Itulah mengapa dalam Ensiklopedia Feminisme yang diusung kelompok feminis merumuskan pornografi sebagai penggambaran material seksual yang mendorong pelecehan seksual dengan kekerasan dan pemaksaan. Kaum feminis cenderung melihat pornografi dan pornoaksi sebagai bentuk perilaku kekerasan dan pemaksaan terhadap perempuan.

Persoalannya sekarang, bagaimana menjelaskan kenyataan bahwa perempuan secara konkret adalah korban eksploitasi? Bahwa kontrol sosial (laki-laki) terhadap perempuan melalui seksualitasnya merupakan bentuk ketimpangan gender. Hubungan seksual antara perempuan dan laki-laki merefleksikan dan memelihara posisi subordinasi perempuan. Hal ini kemudian menunjukkan bagaimana konstruksi patriarki tentang seksualitas membatasi perempuan dalam setiap aspek kehidupannya.

Perspektif atau cara pandang patriarki atau bersifat mendewakan laki-laki inilah yang menjelma dalam beragam kebijakan negara. Buktinya, pemerintah selalu dan selalu "melindungi" kekuasaan laki-laki dengan cara menyakini bahwa kontrol laki-laki terhadap perempuan ada pada setiap tingkat hubungan sosial antara kedua jenis kelamin tersebut. Indikator lain dalam bentuk yang lebih nyata adalah pemerintah membuat standar 'judicial review' sebagai upaya pengawasan terhadap norma-norma hukum, khususnya melalui pembagian kekuasaan serta pemisahan antara hukum privat dan publik. Segregasi tersebut menempatkan perempuan pada posisi marjinal sehingga sulit akses pada bidang-bidang pembangunan.

Yang pasti serangkaian riset menunjukkan pornografi jelas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pornografi adalah sikap merendahkan martabat perempuan seperti dalam beberapa bentuk pornografi. Meskipun penggambaran perempuan dalam pornografi ada pula yang menyenangkan secara seksual, namun problemnya terletak pada penyalahgunaan terhadap tubuh perempuan. Dalam pornografi, tubuh perempuan dikelompokkan dan dijual sebagai bahan hiburan. Sebuah riset menyimpulkan bahwa sebetulnya bila kegiatan seksual semata yang ditampilkan dalam pornografi tidaklah mempunyai dampak yang merusak. Akan tetapi, yang krusial justru sikap dan ideologi dibalik visualisasi gambar-gambar porno tersebut, yakni pelecehan martabat perempuan, pengebirian hak-hak asasi perempuan sebagai manusia utuh, dan penghancuran kemanusiaan perempuan.

Sejak tahun 1970-an kelompok feminis di Amerika sudah menyatakan sikapnya yang tegas menolak pornografi. Sebab, pornografi merupakan salah satu penyebab kekerasan terhadap perempuan. Sebagaimana diucapkan penulis Robin Morgan, yang kemudian menjadi kutipan terkenal, "Pornografi teorinya, perkosaan adalah prakteknya." Sebaliknya, kelompok yang menerima pornografi mendasarkan argumen mereka pada hak seseorang untuk mengekspresikan kebebasan mereka termasuk hasrat seksualnya. Majalah Playboy dipandang sebagai majalah yang membawa kebebasan seksualitas yang sebelumnya cenderung direpresi. Majalah ini juga melihat seks sebagai bagian dari aktivitas manusia sehari-hari. Namun, John Stoltenberg menjelaskan bahwa apa yang disebut kebebasan seksual (sexual freedom) seharusnya dibarengi dengan keadilan seksual (sexual justice). Lalu, jika bicara soal keadilan seksual, kesimpulannya adalah pornografi tidak memberikan kesetaraan bagi perempuan, bahkan pornografi mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan.

Cara Memandang Tubuh Perempuan

Persepsi seseorang terhadap pornografi sangat dipengaruhi oleh cara pandang mereka terhadap tubuh perempuan. Pertanyaannya, apakah tubuh perempuan merupakan sumber dosa? Lalu mengapa Tuhan menciptakan makhluk berjenis kelamin perempuan? Apakah pornografi dapat dieliminasi hanya dengan menutup rapat tubuh perempuan sebagaimana terjadi dalam budaya Arab? Mengapa tubuh perempuan rentan mengalami perlakuan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan?

Perbedaan interpretasi mengenai pornografi sangat dipengaruhi oleh pandangan tentang entitas perempuan. Kelompok yang memandang perempuan hanyalah seonggok daging, tidak punya perasaan, tidak punya hati nurani, dan tidak punya potensi, pasti berkeyakinan bahwa pornografi itu muncul karena ulah perempuan, karena mereka mengumbar tubuhnya sedemikian rupa. Sebaliknya, mereka yang memposisikan perempuan sebagai manusia utuh, mulia dan bermartabat pasti tiba pada kesimpulan bahwa pornografi adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagai agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, ramah perempuan dan rahmatan lil alamin, Islam datang menggugat semua bentuk pornografi yang rentan mengeksploitasi tubuh perempuan.

Pandangan yang mengemuka di masyarakat adalah bahwa pornografi dapat dituntaskan hanya jika tubuh perempuan ditutup rapat dan perempuan dikontrol sedemikian rupa, seperti: dilarang keluar malam; harus menutup rapat seluruh tubuh; dilarang mengekspresikan tubuh dengan mengumbar sensualitasnya. Bahkan tidak sedikit tokoh masyarakat berpandangan sebagai berikut: "untuk menghindari anak-anak dari perkosaan dari bahaya pornografi maka di dalam rumah anak-anak harus menutup tubuhnya rapat-rapat."

Logika semacam ini dijumpai pula dalam kebijakan otonomi daerah. Dalam salah satu Perda Syariat tertulis; "Untuk menghindari perempuan dari perbuatan maksiat, dosa dan dari tindakan perkosaan, maka perempuan dilarang keluar malam."[4] Menggelikan, perempuan sebagai korban justru dilarang dan dibatasi, sementara pelaku maksiat dan pemerkosanya yang nota bene adalah laki-laki malah dilepaskan dan bebas berkeliaran. Mengapa bukan para penjahat tersebut yang ditangkap dan dipenjarakan sehingga terbangun rasa aman dan tenteram di masyarakat yang menjadi prasyarat bagi pembangunan kesejahteraan masyarakat. Artinya, yang perlu diawasi dan dikontrol adalah para pelaku kejahatan di masyarakat, bukan para korban atau mereka yang berpotensi menjadi korban. Cara ini mungkin efektif dalam membangun kestabilan dan kesejahteraan masyarakat.

Masih disangsikan, apakah betul logika penutupan atau pengharusan jilbab bagi perempuan serta pembatasan dan pengekangan tubuh perempuan akan berdampak positif bagi upaya mengeliminasi perkosaan dan pornografi? Sayangnya dalam realitas sosiologis di masyarakat tidak seperti itu, dalam kehidupan nyata justru lebih kerap terjadi makin hipokrit masyarakat maka makin tinggi angka kekerasan dan pelanggaran hak-hak perempuan. Buktinya, negara Saudi Arabia yang pemerintahnya memperlakukan kebijakan ketat berupa menutup rapat tubuh perempuan ternyata memiliki angka perkosaan dan kasus pelecehan seksual yang sangat tinggi.

Pertanyaannya, bagaimana paradigma yang tidak adil itu terbentuk dalam masyarakat? Jawabnya simpel saja. Berabad-abad lamanya konstruksi sosial, termasuk di dalamnya konstruski nilai-nilai etika yang selama ini ada dalam masyarakat merupakan pantulan dari nilai-nilai moral yang dideskripsikan oleh kaum laki-laki berdasarkan cara pandang mereka. Selama ini kaum perempuan didikte dan dipinggirkan oleh kekuasaan kultur patrialkal, termasuk di bidang moralitas. Penilaian moralitas dalam masyarakat yang timpang sejak zaman dahulu kala dalam mitos-mitos menghasilkan setumpuk stereotip negatif, seperti perempuan dianggap sebagai penggoda, perusak kesucian laki-laki, pembawa bencana dan lainnya.[5]

Akibatnya kebijakan dan hukum yang dibuat pun cenderung berpihak pada laki-laki dan merugikan pihak perempuan, termasuk kebijakan anti aborsi dan kebijakan anti pornografi. Kebijakan anti pornografi misalnya, melulu hanya dilihat dari perspektif moralnya saja, padahal ada masalah yang lebih penting yang seharusnya menjadi fokus perhatian yakni pornografi berpotensi menjadikan perempuan sebagai objek.

Dalam rekomendasi umum No. 19 yang dikeluarkan Komite PBB tahun 1992 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dinyatakan secara tegas tentang sikap-sikap tradisional dimana perempuan dianggap subordinasi laki-laki. Sikap-sikap ini juga mengakibatkan berkembangnya pornografi, penggambaran dan eksploitasi komersial lainnya atas perempuan sebagai objek seksual daripada sebagai individu-individu. Semua ini memberikan dorongan pada kekerasan berbasis gender.

Kesimpulannya, kelompok feminis melihat pornografi sebagai bentuk perilaku kekerasan dan pemaksaan terhadap perempuan. Pornografi mempunyai andil yang sangat signifikan dalam mempromosikan perempuan sebagai obyek seks. Fatalnya, di masyarakat lalu tertanam anggapan bahwa 'kekuatan' utama perempuan adalah tubuhnya, bukan faktor-faktor lain seperti: keunggulan intelektual, kepribadian, keluasaan wawasan, kecakapan dan keuletannya bekerja. Tidak mengherankan jika pada umumnya laki-laki menganggap perempuan hanyalah sebagai pemuas syahwat. Sebuah penelitian misalnya menunjukkan bahwa sekelompok laki-laki yang disuguhi film yang sarat dengan adegan seks, kemudian bertemu dan berbicara dengan perempuan yang berpenampilan seksi, ternyata perhatiannya lebih tertuju pada tubuh perempuan itu ketimbang apa yang dikatakannya.

Konsekuensinya, karena perempuan dianggap sebagai sekedar makhluk yang keunggulan utamanya adalah daya tarik seksual, maka laki-laki tidak merasa bersalah untuk memperlakukannya sekadar sebagai 'alat permainan seks' atau sekedar seonggok daging. Perempuan tdak lagi dilihat sebagai manusia yang berjiwa dan punya perasaan. Cara pandang ini, pada gilirannya mendorong laki-laki melihat dan memperlakukan perempuan sebagai kaum yang derajatnya lebih rendah dan lebih pinggiran. Pandangan subordinatif tersebut menjadi akar terjadinya berbagai praktek pelecehan seksual terhadap perempuan seperti terlihat dalam berbagai bentuk pornografi. Tambahan lagi karena pornografi sendiri lazim memuat unsur-unsur yang mengandung pembenaran terhadap kekerasan seksual terhadap perempuan. Misalnya saja banyak film porno yang memuat adegan perkosaan, baik secara sendiri-sendiri maupun beramai-ramai terhadap perempuan. Akibat kuatnya tertanam cara pandang semacam itu, kita bisa meramalkan bahwa pelecehan, penindasan, dan eksploitasi terhadap perempuan akan terus bertahan dan media pornografi memberi justifikasi terhadap perendahan martabat perempuan tersebut. Karena itu, harus ada upaya sistemik dan terorganisasi untuk melindungi masyarakat, khususnya kaum perempuan, dari jebakan kekerasan dan pemaksaan melalui berbagai cara.

Terlebih lagi, sering digambarkan bahwa perempuan, yang menjadi korban, juga "menikmati" pemerkosaan tersebut. Begitu juga dengan beragam aktivitas seksual tidak manusiawi lainnya, seperti aktivitas seksual dengan cara-cara yang sadis, aktivitas seksual dengan binatang. Gambaran-gambaran semacam ini membangun pandangan yang salah mengenai aktivitas seksual yang sebenarnya membuat perempuan menderita. Tidak salah jika disimpulkan bahwa pornografi adalah produk yang sangat tidak bersahabat dengan perempuan dan merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Oleh karena itu, amat penting diakui realitas sosiologis di masyarakat yang menunjukkan bahwa pornografi dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Penekanan pelaku pornografi kepada laki-laki dan perempuan di sini menjadi sangat penting mengingat selama ini yang paling sering dituding sebagai pelaku pornografi hanya perempuan dan mengabaikan pelaku laki-laki. Penekanan laki-laki sebagai pelaku pornografi sangat penting mengingat dalam banyak kasus pornografi, perempuan sesungguhnya hanyalah objek kekerasan dan korban eksploitasi seksual yang tidak punya kemampuan untuk menolak.

Dalam konteks pornografi, pada umumnya perempuan terjebak dalam kondisi tidak punya pilihan lain akibat ketidakmandirian dalam bidang ekonomi, sosial, dan psikologis. Ketidakmandirian tersebut merupakan konsekuensi logis dari pola asuh yang bernuansa patriarki dan sistem pendidikan yang tidak membebaskan perempuan. Sejak kecil perempuan dikondisikan dan disosialisasikan untuk menjadi manusia penurut, pelayan, lembut, harus mengalah, tidak ambisi, tidak responsif, tidak kritis, dan tidak berani mengutarakan pendapat.

Islam Akomodatif Terhadap Nilai-Nilai Kemanusiaan

Tujuan akhir dari semua ajaran Islam adalah memanusiakan manusia, yakni terwujudnya manusia yang pasrah dan tunduk kepada Tuhannya dan berbuat baik kepada sesamanya makhluk. Islam berisi seperangkat ajaran moral untuk menuntun manusia menjadi makhluk yang bermoral, dalam term Islam disebut akhlak al- karimah (berbudi luhur). Tujuan itu dinyatakan secara eksplisit dalam sabda Nabi Muhammad saw: “Aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan akhlak mulia”. Seluruh ibadah dalam Islam diarahkan untuk membangun manusia yang bermoral, salat misalnya tujuan akhirnya adalah "tanha an al-fahsya' wa al-munkar" (mencegah manusia dari berbuat yang amoral dan tidak senonoh), demikian pula dengan ibadah mahdah lainnya: puasa, zakat dan haji. Bahkan, semua ibadah: mahdah dan ghairu mahdah yang dilakukan manusia haruslah dapat memantulkan kebaikan atau efek positif, baik bagi dirinya sendiri, sesama manusia, maupun bagi alam semesta. Persis sebagaimana dinyatakan dalam sabda Nabi: "Yang disebut Muslim sesungguhnya adalah orang yang mampu mengendalikan ucapan dan perbuatannya sehingga membuat nyaman dan tenteram bagi orang-orang Muslim di sekitarnya."

Oleh karena itu, hasil akhir dari keberagamaan seseorang adalah menjadi manusia yang berakhlak mulia, manusia yang dapat menimbulkan rasa nyaman, tenteram dan damai bagi sesamanya. Agama harus membawa kemaslahatan bagi kemanusiaan. Dengan demikian, tingkat keimanan seseorang akan terefleksi dari kualitas akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari. Dan indikasi utama dari berakhlak karimah itu adalah menjauhi segala perkataan, perbuatan, dan perilaku yang amoral (fahisyah), termasuk di dalamnya semua bentuk pornografi.

Islam mengutuk pornografi. Sebab, pornografi mendorong seseorang: laki-laki dan perempuan kepada perbuatan amoral (fahisyah), dan segala bentuk perbuatan amoral adalah dosa. Titik tolak untuk memahami pornografi dalam Islam adalah firman Allah swt: “Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga organ reproduksinya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakan pula kepada perempuan yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan menjaga organ reproduksinya. Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa tampak padanya….” (QS Al-Nuur [34]:30-31).

Ayat di atas berbicara dalam konteks pedoman pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram (laki-laki dan perempuan yang tidak terhalang menikah). Menarik dikaji bahwa dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan, Tuhan menekankan pada dua hal pokok, yaitu mengontrol pandangan dan memenej organ seksual. Dalam kaitan dengan pornografi, sebagaimana dinyatakan dalam definisi sebelumnya, terlihat bahwa aktivitas pornografi sangat terkait erat dengan media visual. Karena itu ajaran agama yang menuntun manusia agar mampu mengontrol pandangan dan memenej organ seksual menjadi sangat relevan.

Lebih lanjut, dari ayat tersebut terlihat betapa Islam mengambil sikap yang lebih hati-hati, yakni mengedepankan tindakan preventif ketimbang kuratif. Dan tindakan preventif dimaksud adalah dalam bentuk membatasi pandangan mata dan menjaga organ-organ reproduksi. Artinya, mencegah jauh lebih efektif dan effisien ketimbang mengobati. Mencegah dapat dilakukan dengan membatasi secara ketat semua aspek yang dapat membawa kepada pornografi, di antaranya, mengawasi secara ketat semua hal yang membawa kepada perdagangan perempuan dan anak perempuan; mengawasi secara ketat pembuatan iklan, film, sinetron yang mengeksploitasi birahi seksual. Semua lembaga pendidikan juga harus memberlakukan aturan dan kontrol yang ketat terhadap semua bentuk pornografi. Aturan yang ketat itu bukan hanya ditujukan kepada peserta didik an sich, melainkan juga terhadap seluruh civitas pendidikan, para guru, staf, karyawan dan para peserta didik itu sendiri.

Selain itu, sudah waktunya mengubah kurikulum pendidikan agama pada semua tingkatan. Terbukti, pendidikan agama yang diberikan selama ini terlalu banyak menekankan pada aspek kognisi sehingga tercipta individu-individu yang mengerti ilmu agama, tetapi tidak mampu menginternalisasi ajaran agamanya itu ke dalam wujud perilaku sehari-hari. Agama akhirnya gagal mewujudkan manusia-manusia yang bermoral atau berakhlak karimah. Oleh karena itu, agama jangan hanya dihayati pada tataran simbolis semata sebagaimana dipraktekkan di masyarakat, melainkan harus dipahami lebih pada tataran substansinya, yakni membangun kesadaran kemanusiaan yang hakiki menuju terciptanya kemaslahatan manusia dan kerahmatan alam semesta. Pelaksanaan agama seperti inilah yang diharapkan dapat memerangi pornografi.

Hal lain yang tidak kurang pentingnya adalah membenahi lembaga hukum. Peraturan dan perundang-undangan kita juga harus tegas mengatur soal pelarangan pornografi di semua sektor. Demikian pula dengan aparat hukumnya. Mereka harus mampu menegakkan hukum secara adil, tanpa pandang bulu. Keadilan hanya akan terwujud manakala ada supremasi hukum, dan supremasi hukum hanya dapat dibangun jika kita memperlakukan semua orang sama di depan hukum. Seluruh elemen dalam masyarakat harus bersatu-padu dan bergandeng tangan memerangi semua bentuk pornografi. Sebab, taruhannya adalah kelangsungan peradaban manusia di masa depan.

Selain itu, menarik dikaji mengapa perintah untuk mengontrol pandangan mata dan organ seksual hanya ditujukan kepada kelompok tertentu, yakni orang-orang yang beriman, tanpa membedakan laki-laki dan perempuan, bukan kepada semua manusia, bahkan juga bukan kepada semua yang mengaku Muslim. Mengapa perintah Tuhan itu hanya ditujukan pada orang beriman? Sebab, hanya orang beriman yang dapat mematuhi dan melaksanakan perintah Tuhan. Perintah itu tidak ditujukan kepada mereka yang tidak beriman karena hasilnya akan sia-sia saja. Mereka pasti tidak akan mematuhinya karena motivasi seseorang untuk memenuhi perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya sangat terkait dengan tingkat keimanan seseorang. Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, semakin kuat pula motivasi untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan-Nya demikian sebaliknya.

Kepatuhan seseorang memenuhi perintah Tuhan sangat tergantung pada tingkat kualitas imannya, demikian sebaliknya. Karena itu, perintah dan larangan Tuhan hanya ditujukan kepada hambanya yang beriman, bukan kepada selainnya. Dalam konteks ini masing-masing kita perlu melakukan introspeksi diri apakah kita masih tergolong orang beriman atau bukan. Sebab, yang tahu tentang keimanan kita hanya diri kita sendiri dan Tuhan tentunya. Terhadap mereka yang tidak beriman; tidak mematuhi perintah Tuhan, termasuk perintah untuk mengontrol pandangan dan organ seksual, harus diatur dengan aturan manusia. Di sinilah perlunya negara membuat regulasi yang jelas dan tegas.

Hal lain yang perlu dicermati dari ayat di atas, adalah penekanan perintah pada laki-laki dan perempuan. Keduanya harus sama-sama mampu mengontrol mata dan organ seksual mereka. Ayat itu jelas sekali menunjukkan adanya kesetaraan dan keadilan gender. Di hadapan Tuhan laki-laki dan perempuan adalah sama (Q.S. al-Hujurat, 49:13), keduanya diperintahkan untuk menahan diri dari berbagai hal yang dapat menodai kesucian diri mereka dan bertanggungjawab atas semua pelanggaran yang mereka lakukan.

Akan tetapi, ajaran Islam yang demikian luhur menempatkan laki-laki dan perempuan itu dalam posisi yang setara, ternyata implementasinya di ruang sosial mengalami distorsi. Di masyarakat, perempuan selalu dituding sebagai pembawa fitnah dan bencana, penggoda, khususnya dalam isu pornografi. Buktinya, setiap kali muncul kasus pornografi yang disalahkan pasti pelaku perempuan dan membiarkan pelaku laki-laki. Selain sebagai pelaku, tidak jarang justru laki-laki yang menjadi otak atau dalangnya. Pada banyak kejahatan pornografi ditemukan pimpinan mafianya adalah laki-laki.

Kebiasaan masyarakat untuk selalu menyalahkan perempuan berangkat dari pandangan stereotipe bahwa perempuan adalah makhluk penggoda dan ironisnya pandangan ini mendapatkan legitimasi dari ajaran Islam, terutama ajaran tentang perempuan sebagai penyangga moral. Umumnya masyarakat selalu menuntut perempuan menjadi penyangga moral. Sikap tersebut mungkin dilhami oleh ajaran agama, seperti bunyi hadis yang banyak disosialisasikan: “Perempuan adalah tiang negara, jika perempuan itu baik maka baiklah bangsa itu secara keseluruhannya. Namun, jika perempuan itu rusak maka rusak pula negaranya.” Makna tekstual dari hadis tersebut adalah baik buruk suatu negara tergantung kepada kondisi perempuannya, jika mereka baik, maka negarapun menjadi baik, demikian pula sebaliknya. Akan tetapi, dalam kenyataannya, hadis di atas selalu dipakai sebagai dalil untuk mendiskreditkan perempuan dan memberi stigma perempuan sebagai penyebab kehancuran sebuah negara. Sebaliknya, laki-laki selalu dikenang sebagai pembela negara, meskipun dalam realitasnya merekalah yang paling sering membuat onar yang tidak sedikit membawa kepada kehancuran negara.

Berbeda dengan perempuan, laki-laki kurang ditekankan untuk bertanggungjawab menyangga moral masyarakat. Perspektif yang bias gender ini membawa kepada penanganan masalah penghapusan pornografi menjadi tidak efektif, untuk tidak menyebutnya sia-sia. Konsekuensinya, yang dituduh sebagai pelaku pornografi dan harus dihukum hanyalah perempuan karena dialah yang harus menyangga moral, bukan laki-laki. Padahal, Islam secara simpatik tetapi sangat tegas mengingatkan manusia: laki-laki dan perempuan agar mampu mengontrol diri, terutama mengontrol syahwat sehingga tidak menimbulkan keonaran di masyarakat betapapun kecilnya. Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hal dosa dan pahala.

Cara Efektif Memerangi Pornografi

a. Penguatan Institusi Keluarga

Diperlukan perspektif baru dalam menangani pornografi, yakni perspektif yang lebih adil dan lebih humanis, serta lebih sensitif gender. Harus ada pernyataan yang tegas bahwa pelaku pornografi terdiri dari laki-laki dan perempuan. Demikian pula yang menjadi korban adalah laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi menjadi pelaku dan juga sama-sama berpotensi menjadi korban. Bahkan, ada indikasi, keterlibatan perempuan, baik dalam posisi sebagai pelaku apalagi korban dalam banyak kasus pornografi adalah karena mereka dipaksa dan dieksploitasi. Hal itu, antara lain disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan desakan ekonomi. Sebab lain, jebakan budaya kapitalisme yang mengunggulkan nilai-nilai materialistik dan konsumtif. Oleh karena itu, upaya untuk mencegah praktik-praktik pornografi harus melibatkan partisipasi dan tanggungjawab seluruh elemen masyarakat secara bersama-sama.

Upaya untuk mencegah meluasnya tindakan pornografi dari perspektif agama haruslah dimulai dari keluarga. Bukan hal yang kebetulan jika dalam Al-Qur`an dijumpai sekitar 70 ayat yang berbicara mengenai pentingnya institusi keluarga. Keluarga harus menjadi tonggak awal dalam membangun masyarakat dan selanjutnya bangsa yang bermoral. Nilai-nilai moral yang sangat ditekankan dalam setiap agama harus dimulai pelaksanaannya dalam kehidupan keluarga. Keluarga adalah unit terkecil di masyarakat yang memiliki banyak fungsi, dan di antara fungsinya yang sangat strategis adalah fungsi edukatif dan fungsi religius. Pendidikan agama harus dimulai dari keluarga. Pendidikan agama di luar keluarga hanyalah bersifat komplementer, melengkapi nilai-nilai yang sudah ditanamkan di keluarga.

Pendidikan agama yang hendak ditanamkan kepada anak-anak sejak dini adalah pendidikan agama yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga mereka terdorong menjadi manusia yang bertanggung jawab dan berguna bagi sesamanya. Bukankah hadis Nabi saw. mengatakan: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi sesamanya”? Dari hadis tersebut dipahami bahwa sejahat-jahat manusia adalah yang mengeksploitasi sesamanya. Karena itu, yang dikehendaki bukanlah pendidikan agama yang hanya menekankan pada hal-hal yang bersifat legal formal belaka, melainkan pendidikan agama yang menekankan pada tiga aspek penting dalam diri manusia, kognisi, afeksi, dan psikomotorik sehingga dapat membangun moralitas yang kokoh dalam diri seseorang.

Persoalannya, tidak semua keluarga memiliki fondasi yang kuat untuk membimbing anggota-anggotanya. Bagaimana seorang ayah dan ibu dapat diharapkan mampu menurunkan nilai-nilai agama kepada anak-anaknya, sementara mereka sendiri tidak menghayati nilai-nilai tersebut apalagi mengimplementasi-kannya dalam kehidupan mereka sehari-hari? Contoh apa yang dapat dipetik anak-anak dari orang tua semacam itu. Bahkan, tidak sedikit diberitakan para ayah itu sendiri yang mencabuli anak perempuannya. Akhirnya, menjadi tugas kita bersama, terutama pemerintah dan lembaga-lembaga keagamaan, bagaimana menjadikan setiap keluarga itu berkualitas dan mampu menjalankan fungsinya dengan optimal. Kita harus merumuskan langkah-langkah konkret mempersiapkan calon-calon ayah dan ibu yang berakhlak karimah, seperti diingatkan oleh sahabat Nabi, Ali ibn Abi Thalib r.a: “Didiklah anak-anakmu dua puluh tahun sebelum ia lahir”. Maksudnya, pendidikan anak haruslah dimulai dari pendidikan terhadap kedua calon orang tuanya. Untuk mendapatkan anak yang berkualitas perlu mempersiapkan terlebih dahulu orang tua yang berkualitas. Sebab, dampak dari suatu pendidikan baru terlihat setelah kurun waktu 20 tahun, karena itu pendidikan, termasuk di dalamnya pendidikan seks yang bertanggungjawab perlu dipersiapkan sejak awal terhadap suatu generasi.

b. Mengelola Pendidikan Seks Yang Bertanggungjawab

Yang paling mendesak dilakukan dalam lingkungan keluarga adalah memberikan pendidikan seks (sexual education). Tentu yang dimaksudkan di sini dengan pendidikan seks bukanlah tentang hubungan seksual yang bersifat biologis. Sebab, secara biologis setiap orang, seperti halnya makhluk Tuhan lainnya, bisa melakukan hubungan seksual tanpa diajari sekalipun. Tetapi, tidak semua orang mengetahui bentuk hubungan seksual yang aman, nyaman dan bertanggungjawab.[6]

Setiap anak: laki-laki dan perempuan, sejak usia dini hendaknya sudah diperkenalkan tentang organ-organ reproduksi manusia serta fungsi-fungsinya dengan menekankan pada bagaimana menggunakan organ-organ tersebut secara bertanggungjawab. Jadi titik penekanannya di sini adalah tanggungjawab (responsibility). Manusia adalah makhluk Tuhan yang dianugerahi sejumlah organ reproduksi yang harus digunakan secara bertanggungjawab sesuai dengan posisinya sebagai makhluk yang amat terhormat, yakni sebagai khalifah fil-ardh (pengelola bumi). Setiap orang hendaknya menyadari posisinya yang sangat strategis itu agar selalu terdorong untuk berperilaku positif, dan menjauhi perilaku negatif, termasuk perilaku amoral yang mengandung unsur pornografi.

Dalam rangka mengemban tugas sebagai khalifah itu manusia harus menjaga kesucian diri dan keturunan, termasuk menjaga diri dari perbuatan zina karena zina adalah perbuatan yang paling keji dan jalan yang sesat (QS. al-Israa 17: 32). Zina memberikan dampak yang sangat buruk bukan hanya kepada sipelaku itu sendiri, melainkan juga kepada anak-anak yang lahir akibat perbuatan zina tersebut. Dalam konteks zina, ajaran Islam sangat menekankan pada unsur preventif (pencegahan): “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang amat buruk” (QS Al-Isra' [17]:32).

Sejumlah mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud mendekati zina adalah seperangkat niat, perkataan, dan perbuatan yang mendorong ke arah zina. Termasuk dalam kategori mendekati zina adalah sengaja berduaan antara laki-laki dan perempuan untuk tujuan memuaskan syahwat; mengucapkan ungkapan-ungkapan yang merangsang, baik oleh laki-laki maupun perempuan; mempertontonkan bagian-bagian tubuh yang merangsang (laki dan perempuan), baik secara langsung maupun melalui gambar-gambar porno yang merangsang berahi. Sesuai dengan kaidah fikih, “lil-wasail hukm al-maqashid (hukum dari semua kegiatan perantara sama dengan hukum dari perbuatan yang menjadi tujuan). Artinya, semua aktivitas prolog yang dilakukan sebelum sampai kepada zina adalah haram sebagaimana haramnya zina itu sendiri.

Ajaran Islam sangat kaya akan materi pendidikan seks. Misalnya, ajaran yang mengatakan bahwa hubungan seks antara suami-istri harus dilakukan di tempat tertutup, jauh dari penglihatan orang lain, termasuk anak-anak yang belum dewasa (mumayiz). Penting sekali menjelaskan tentang larangan melakukan aktivitas seksual di hadapan anak-anak. Karena walaupun saat itu mereka belum memahami apa yang dilihatnya, tetapi hal itu akan menempel dalam ingatannya dan akan muncul sewaktu-waktu. Tidak mustahil mereka akan menceritakan apa yang dilihatnya itu kepada orang lain, atau memberikan pengaruh negatif lainnya pada dirinya. Selanjutnya, anak yang mumayiz dan sudah balig tidak dibolehkan melihat aktivitas seksual karena dikhawatirkan membawa pengaruh yang besar pada kepribadiannya di masa depan.

Syariat Islam melarang seorang suami atau isteri menceritakan segala apa yang berkaitan dengan pasangannya di tempat tidur kepada orang lain, seperti tertera dalam hadis-hadis Nabi sebagai berikut: "Barang siapa yang menceritakan hubungan seks dengan istrinya kepada orang lain, sesungguhnya ia adalah setan."[7] Nabi juga memberikan sejumlah pedoman etik dalam hubungan seksualitas suami-isteri, misalnya dengan menutup pintu dan gorden: "Jika seorang laki-laki mendatangi istrinya, tutuplah pintunya dan tutuplah gordennya." Hadis lainnya menyebutkan agar hubungan seksualitas itu tidak terlihat oleh anak-anak: "Jauhilah olehmu bersetubuh di tempat yang dapat dilihat oleh anak-anak sehingga mereka menceritakan keadaanmu itu."[8] "Seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya di tempat yang dapat dilihat anak-anak, akan mendorong mereka berbut zina."[9] Hadis lain menyebutkan: "Seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya di tempat yang dapat dilihat anak-anak dan dapat didengar perkataan dan desah napasnya, ia tidak akan beruntung selama-lamanya."[10]

Selain itu, ada larangan tegas bagi pasangan suami-isteri melakukan hubungan intim di tempat terbuka: "Janganlah menyetubuhi istrimu di bawah pohon yang berbuah atau di bawah sinar matahari kecuali memberi pelindung agar tidak terlihat orang lain.[11] Jangan pula dilakukan di atas atap bangunan,[12] di dalam perahu, dan jangan dilakukan dengan menghadap kiblat atau membelakanginya."[13] Hadis lainnya adalah: "Barang siapa menyetubuhi istrinya di bawah langit (di lapangan terbuka) atau di jalan yang dilewati orang, ia akan dilaknat Allah, malaikat, dan manusia seluruhnya."[14]

Dengan demikian, hubungan seksual yang dilakukan di tempat yang terbuka tidak dibolehkan secara mutlak karena akan menimbulkan rangsangan yang membawa kepada perbuatan haram. Ali ibn Abi Thalib bahkan menganggap hubungan seksual yang dilakukan secara terang-terangan merupakan perbuatan amoral yang harus dijauhi, dan seorang Muslim tidak boleh melihat perbuatan tersebut, apalagi ikut mempraktekkannya.

Bukan hanya itu, demi mengontrol mata dan syahwat, seseorang bahkan dilarang melihat dan menonton hewan yang sedang melakukan hubungan seks. Al-Sukuni menyebutkan bahwa: "Imam Ali pernah melewati hewan yang sedang bersetubuh di tengah jalan, ia kemudian memalingkan wajahnya. Seseorang bertanya, " Mengapa Anda melakukan hal itu, wahai Amirul Mukminin?" Ia menjawab, "Sesungguhnya perbuatan tersebut tidak boleh ditiru karena termasuk perbuatan tidak bermoral, kecuali jika terjadi di tempat tertutup sehingga tidak terlihat oleh laki-laki atau perempuan."[15]

Ajaran-ajaran tersebut mengandung nilai-nilai akhlak bagi manusia. Manusia tidak layak mencontoh perilaku binatang dalam melakukan hubungan seks. Binatang memenuhi kebutuhan seksnya dengan membangkitkan instingnya yang tidak ada hubungannya dengan akal, tetapi manusia yang dimuliakan derajatnya dengan akal budi tidak pantas melakukan perbuatan seperti binatang. Dengan adanya akal, manusia harus membedakan dirinya dengan binatang dan menjadikan perilaku seksualnya sebagai perilaku yang diridhai Allah swt. Berada di tempat yang tertutup ketika melakukan hubungan seks merupakan bagian dari etika yang menjadikan hubungan seks sebagai perbuatan ibadah. Keindahan hubungan seks adalah justru berada di tempat yang tertutup, sehingga perbuatan tersebut menjadi rahasia dan terjaga dari penglihatan orang lain.

Selain itu, sejak kecil anak-anak harus diajarkan rasa malu. Malu mempertontonkan hal-hal yang tidak senonoh dan sebaliknya juga malu menonton orang lain melakukan hal-hal yang tidak senonoh. Bagi orang yang memiliki rasa malu yang tinggi tentu tidak akan tergoda membaca bahan bacaan yang bersifat porno atau menonton atau melihat tayangan atau tontonan yang mesum dan porno. Sebab, rasa malu inilah salah satu faktor penentu yang dapat mencegah seseorang dari perbuatan maksiat. Itulah sebabnya dinyatakan dalam hadis: al-haya'u minal iman (rasa malu adalah sebagian dari iman).

Demikian nilai-nilai pendidikan seks yang harus diajarkan kepada anak sejak dini. Bahkan yang menarik, dalam Al-Qur'an dinyatakan secara jelas bahwa salah satu ciri orang beriman adalah mampu mengelola organ-organ seksualnya, seperti tertera dalam ayat berikut: "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu: mereka yang khusyu' dalam salatnya; mereka yang menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak berguna; dan mereka yang menjaga organ-organ reproduksinya…" (QS. al-Mukminun, 23:5).

Tidak keliru kalau disimpulkan bahwa dalam upaya menghindari pornografi, Islam menawarkan solusi dalam bentuk kemampuan mengontrol diri, khususnya dalam mengelola organ-organ reproduksi, atau saya sebut dengan istilah menejemen syahwat. Tampaknya, upaya memenej syahwat sangat penting, bahkan mungkin lebih penting daripada memenej qalbu. Mungkin sudah waktunya kita mengemas suatu bentuk pendidikan yang enaknya diberi nama "pelatihan menejemen syahwat" melengkapi pendidikan atau pelatihan menejemen qalbu yang akhir-akhir ini semakin banyak ditawarkan di masyarakat.

Penutup

Harus ada upaya sistemik dan terorganisasi untuk melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dan kaum perempuan dari jebakan pola hidup kapitalistik, hedonistik dan materialistik melalui berbagai cara yang efektif dan berkesinambungan. Upaya-upaya dimaksud, di antaranya mengubah pandangan budaya masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh budaya patriarki, budaya yang menempatkan perempuan hanya sebagai pendamping, pelengkap dan obyek; mengusahakan adanya perundang-undangan dan peraturan yang melindungi masyarakat, khususnya perempuan dan anak sembari merevisi aturan-aturan lama yang sudah tidak kondusif lagi; dan merekonstruksi interpretasi atau pemahaman keagamaan, khususnya pandangan fiqh tradisional yang seringkali tidak sensitif gender dan menempatkan perempuan sebagai objek seksual belaka.

Rekonstruksi budaya dilakukan melalui jalur pendidikan dalam arti seluas-luasnya, termasuk pendidikan seksual dalam keluarga. Di samping keluarga, lembaga lain yang harus dibenahi adalah lembaga pendidikan formal. Setiap lembaga pendidikan hendaknya secara bertanggungjawab memberlakukan aturan dan kontrol yang ketat terhadap semua bentuk pornografi, tetapi dengan cara yang arif bijaksana. Aturan yang ketat itu bukan hanya ditujukan kepada peserta didik an sich, melainkan juga terhadap seluruh civitas pendidikan, para guru, para staf dan para pengurus yayasan atau lembaga bersangkutan. Selain itu, sudah waktunya mengubah kurikulum pendidikan agama pada semua tingkatan. Terbukti, pendidikan agama yang diberikan selama ini terlalu banyak menekankan pada aspek kognisi sehingga tercipta individu-individu yang mengerti ilmu agama, tetapi tidak mampu menginternalisasi ajaran agamanya itu dalam wujud perilaku sehari-hari. Agama harus dipahami lebih pada tataran yang bersifat substantif, bukan hanya pada tataran simbolistik. Agama harus diajarkan secara kritis dan rasional, bukan melulu dogmatis. Sebab, hanya dengan cara demikian kita dapat membangun kesadaran kemanusiaan yang hakiki yang menghargai manusia tanpa diskriminasi gender.

Hal lain yang tidak kurang pentingnya adalah membenahi lembaga hukum. Peraturan dan perundang-undangan yang berlaku juga harus tegas mengatur soal pelarangan pornografi di semua sektor, mulai dari tahap produksi, distribusi, pengemasan barang, penjualan dan seterusnya. Demikian pula dengan aparat hukumnya. Mereka harus mampu menegakkan hukum secara adil, tanpa pandang bulu. Keadilan hanya akan terwujud manakala ada supremasi hukum, dan supremasi hukum hanya dapat dibangun manakala disertai keadilan, yakni memperlakukan semua orang secara sama dan sederajat di depan hukum.

Terakhir, seluruh elemen masyarakat harus bersatu-padu dan bergandeng tangan membangun kinerja yang kuat dan jaringan kerja yang solid untuk memerangi semua bentuk pornografi. Sebab, taruhannya adalah kelangsungan peradaban manusia di masa depan.

Wallahu a`lam bi as-shawab.[]



[1]Professor riset bidang lektur agama, dan Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

[2] Majalah Pantau, Nomor 21 Januari 2002.

[3] Catharine A. MacKinnon, Toward A Feminist Theory of The State, Harvard University Press, America.

[4] Siti Musdah Mulia, Perda Syariat dan Peminggiran Perempuan, Jurnal Perempuan No. 49, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta, 2006.

[5] Ulasan yang lebih dalam soal ini lihat Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, Gramedia, Jakarta, 2005.

[6] Penjelasan lebih luas soal pendidikan seks ini lihat Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung, 2005.

[7] Fathi Yakun, Al-Islam wa al-Jins, Cet. Ke-2 , Muassasah al-Risalah, Beirut, 1975, hal. 39.

[8] Ibid, hal. 115.

[9] Hadi Al-Madrisi, Al-'Alaqat al-Zaujiyah, Cet. Ke-1, Beirut, Dar al-Zahra, hal. 75.

[10] Ibid.

[11] Al-Thabrasyi, Makarim al-Akhlak, Cet. Ke-4, Mansyurat al-Muassasah al Alami li al-Mathbuat, Beirut, 1982, hal. 210

[12] Ibid., hal. 211

[13] Ibid., hal. 212

[14] Hadi Al-Madrisi, Al-'Alaqat al-Zaujiyah, Cet. Ke-1, Dar al-Zahra, Beirut, hal. 114.

[15] Al- Shaduq, Man La Yadhuruhu al-Faqih., Cet. Ke-5, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1970, hal. 304.

21 Juni 2009

Bangsa Yang Mudah Melupakan

Sambutan untuk acara peluncuran buku: SELEPAS BAPAKKU HILANG

Karya Fitri Wiji Thukul di TIM tgl 16 Juni 2009

Bangsa yang Mudah Melupakan

Rasanya baru kemarin Orde Baru tumbang, rasanya baru kemarin reformasi dimulai oleh para mahasiswa. Mei 1998, masih kuat dalam ingatan, mahasiswa Trisaksi dibunuhi, gedung-gedung dibakari dan mereka yang terjebak di dalamnya mati. Mei 1998, masih terasa bau anyir darah dan bau asap yang sengit, dan orang-orang keturunan Tionghoa panik, cemas, dan sebagian menjadi korban: harta, nyawa dan kehormatan.

Sebelumnya, masih di ujung usia Orde Baru, anak-anak muda, mereka para aktifis demokrasi, anggota partai, dan aktifis kesenian dihilangkan. Sebagian dikembalikan, namun sebagian besar lainnya masih hilang, hingga sekarang. Siapa yang bertanggungjawab atas nasib mereka, siapa yang bertanggungjawab untuk mencari mereka? Siapa yang bertanggungjawab mencari siapa yang bertanggungjawab?

Impunitas adalah jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Impunitas adalah kata yang mujarab untuk menjelaskan bahwa mereka yang bertanggungjawab tidak dimintai tanggungjawabnya. Dan, yang seharusnya bertanggungjawab memintai tanggungjawab melepaskan tanggungjawabnya.

Malam ini, tiba-tiba, kita jadi ingat Munir, anak muda pekerja HAM yang tekun, bapak dua anak, yang terpanggil untuk terus mencari para korban yang belum pulang. Ia ingin melawan impunitas, dan terus mencari, mencari. Mulai dari penyair jalanan, Wiji Thukul hingga Herman Hendrawan, sampai akhirnya ia sendiri dihentikan, diracun dan mati. Siapa yang bertanggungjawab atas kematian Munir? Pantaskah semua perkara besar ini tanggungjawabnya hanya dibebankan kepada seorang pilot?

Tiba-tiba kita juga ingat peristiwa Semanggi, anak-anak muda itu, para mahasiswa itu, ditembaki, sebagian mati. Tiba-tiba kita juga ingat banyak korban dan keluarganya terbengkelai hak-hak mereka. Semuanya dibiarkan tanpa penyelesaian, tanpa harapan. Ibu-ibu yang kehilangan anak; para isteri yang kehilangan suami; dan anak-anak yang kehilangan bapak; semua diacuhkan. Mereka dianggap bukan siapa-siapa! Para korban pelanggaran HAM dibiarkan merintih, sengsara dan nestapa.

Masih pantaskan kita menyebut diri sebagai bangsa yang beradab? Sementara para korban HAM di sekeliling kita dibiarkan merana, tanpa cinta dan pengharapan?

Hari-hari belakangan ini sebagai rakyat kita disuguhi tontonan amat menarik. Para politisi tiba-tiba punya banyak waktu luang menyapa rakyat. Dengan senyum mengembang dan wajah ceria, padahal sebagian mereka sebelumnya jarang tersenyum. Mereka melambaikan tangan kepada rakyat yang berkerumun bagai semut.

Tidak susah membentuk kerumunan massa karena banyak ahlinya di lapangan, yang penting tersedia dana. Maklum, di samping miskin, rakyat pun sangat ingin melihat pemimpin politik mereka dari dekat. Sebab, selama ini mereka hanya terlihat jauh di layar kaca.

Berbagai cara dilakukan demi menarik hati rakyat. Sebagian datang ke pasar-pasar tradisional, sebagian pergi ke sentra-sentra industri kecil seperti pedagang kripik tempe. Tanpa risih mereka mencicipi tempe yang mungkin tidak pernah mereka sentuh sebelumnya. Ada pula sengaja naik becak, kendaraan yang selama ini dianggap sebagai pengganggu ketertiban.

Mereka juga memanfaatkan media, berpidato tanpa teks, meski isi pidatonya sama sekali tidak mencerminkan visi kenegarawanan. Kita lalu tidak dapat membedakan mana fiksi dan mana fakta. Masih pantaskan kita menyebut diri sebagai bangsa yang jujur jika pemimpin politiknya hanya pandai berakting?

Sepanjang masa kampanye, para politisi memberi janji sebanyak-banyaknya. Kan hanya janji? Tidak ada tuntutan untuk merealisasikan janji. Bukankah bangsa ini sudah terkenal sangat pelupa? Jadi, tidak masalah! Tidak masalah mengobral janji apa pun. Masih pantaskan kita menyebut diri sebagai bangsa religius, jika para pemimpin tidak henti-hentinya berdusta dan munafik?

Rakyat pun bertanya-tanya dari mana dana yang dipakai untuk berkampanye di televisi, di koran, di radio, dan di jalan-jalan? Masih pantaskan kita menyebut diri sebagai bangsa yang besar, jika para pemimpin hanya pandai membuang uang, sementara rakyat butuh beras, butuh obat, butuh air bersih? Masih pantaskan???

7 Juni 2009

Adakah Islam Bicara Soal Homo?

Adakah Islam Bicara Soal Homo?

Oleh Siti Musdah Mulia

Al-Quran hanya menyebut dua jenis identitas gender: laki-laki dan perempuan. Sementara, literatur fiqih menyebut empat varian: perempuan; laki-laki; khunsa, waria atau banci (seseorang yang memiliki alat kelamin ganda dan umumnya senang berpenampilan atau berdandan sebagai perempuan); dan mukhannits (laki-laki secara biologis, namun mengidentifikasi diri sebagai perempuan dan menginginkan pergantian kelamin) atau mukhannats (secara biologis laki-laki, mengidentifikasi diri sebagai perempuan, tapi tidak ingin mengubah jenis kelamin mereka). Kajian fiqih tidak mengenal istilah untuk orientasi seksual homo: gay dan lesbi serta lainnya. Maka tidak heran jika pembahasan soal homo dalam fiqih selalu menggunakan istilah khunsa.

Menurut Dede Oetomo (1999: 261), banci atau waria sama sekali tidak merujuk kepada orientasi seksual. Ini label negatif untuk menunjuk perilaku dan identitas gender yang gagal. Karena itu, orangtua akan menyebut anaknya banci bila ia tidak bersikap wajar sesuai identitas gendernya. Berpegang pada dasar ini, maka jelas sekali bahwa bahasa Arab tidak mengenal kosa kata untuk merujuk orientasi seksual homo.

Pertanyaan kita: bagaimana mungkin Islam yang lahir di Arab mengutuk homo? Padahal, homoseksualitas berkaitan dengan orientasi seksual, sedangkan khunsa berhubungan dengan identitas gender. Perlu segera digarisbawahi: umumnya kaum muslim menyebut homo dalam pengertian sodomi.

Fiqih dan Sejarah

Para fuqaha berbeda pendapat soal hukuman terhadap homo. Imam Syafi’i menegaskan bahwa perilaku homo dapat dikenai hukum hanya jika dilakukan di depan publik. Selanjutnya, al-Auza`i dan Abu Yusuf menyamakan hukuman sodomi dengan zina.

Fakta sejarah tidak menjelaskan adanya kasus penghukuman atas praktik homo pada masa Nabi Muhammad. Eksekusi pertama terhadap homo justru terjadi sesudahnya, ketika terjadi hukuman mati terhadap pasangan homo pada masa Abu Bakar. Lalu, pada masa Umar bin Khattab, beliau menginstruksikan agar seorang homo dibakar hidup-hidup. Namun, karena mendapat kritik keras, lalu hukumannya diringankan menjadi dirajam.

Pemahaman teologi Islam soal homo selalu dikaitkan dengan kisah Luth. Pemahaman itu sudah dianggap final dan mutlak. Namun, kajian kritis akibat tuntutan dinamika masyarakat dan penemuan sains dan teknologi membawa kepada sejumlah pertanyaan baru. Apakah pengikut Luth dilaknat karena mereka memiliki orientasi seksual homo yang tidak mungkin diingkari karena bersifat “takdir“ (biologis), atau mereka dilaknat karena mengekspresikan perilaku seksual terlarang, seperti sodomi? Lalu, apakah kaum homo yang tidak mengekspresikan perilaku seksual terlarang, yakni perilaku seksual yang mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, dan membahayakan kesehatan, seperti sodomi, perkosaan, pedofili, berzina, melacurkan diri, dan gonta-ganti pasangan, juga akan tetap akan dilaknat? Apakah laknat Allah kepada kaum Luth yang homo lebih dahsyat daripada laknat Allah kepada umat Nabi Nuh yang bukan homo? Ingat: Al-Quran mengisahkan bahwa laknat Allah kepada umat Nuh, yang bukan homo (dan tidak ada informasi bahwa mereka homo), adalah yang paling dahsyat, sehingga hal itu disebut kiamat pertama karena memusnahkan semua makhluk, kecuali sedikit pengikut Nuh.

Selain itu, pertanyaan lain yang juga mengganjal: Mengapa para ulama begitu antusias menceritakan kisah Luth sebagai dakwah anti-sodomi atau liwath? Saya jadi teringat guru madrasah yang mendramatisasi kisah ini di dalam kelas, membuat beberapa murid menggigil ketakutan dan mimpi buruk. Belakangan penulis dapat info bahwa ia seorang gay!

Hegemoni Heteronormativitas

Adalah fakta yang terang-benderang bahwa tafsir keagamaan sangat dihegemoni oleh heteronormativitas, yaitu ideologi yang mengharuskan manusia berpasangan secara lawan jenis dan tunduk pada aturan heteroseksualitas yang menggariskan tujuan perkawinan untuk prokreasi, menghasilkan keturunan. Heteronormativitas memandang seksualitas yang normal, baik, natural dan ideal adalah heteroseksual, marital, reproduktif dan nonkomersial. Sebaliknya, homoseksual: gay atau lesbi dipandang immoral, tidak religius, haram, penyakit sosial, menyalahi kodrat, dan bahkan dituduh sekutu setan.

Dalam komunitas muslim arus-utama, penolakan terhadap homo dipandang mutlak, tidak dapat dipertanyakan lagi. Tiap upaya mengkritisi pandangan Islam soal ini, apalagi mengubahnya, dianggap perbuatan melawan hukum Islam, menentang syari’ah. Pokoknya, semua kesimpulan ahli-ahli fiqih (fuqaha) di masa lalu berkaitan dengan homo, sebagaimana terbaca dalam kitab-kitab fiqih, adalah final dan mutlak. Alasannya, sudah merupakan ijma` (konsensus fuqaha) bahwa homo hukumnya haram, pelakunya harus dihukum berat: dibunuh, dirajam atau dibakar. Titik!!!

Sejumlah pertanyaan penting muncul: Apakah umat Islam sekarang tidak boleh membaca ulang pandangan fuqaha terdahulu yang begitu kaku soal homo? Apakah tidak mungkin merumuskan kembali pandangan keislaman yang lebih akomodatif dan lebih humanis, mengingat banyak hal telah berubah dalam realitas sosiologis, terutama berkaitan dengan homo? Apakah mustahil umat Islam sekarang memberikan perlindungan terhadap dan pemenuhan atas hak-hak asasi kelompok homo yang tertindas akibat orientasi seksual dan identitas gendernya? Bukankah Islam mengklaim diri sebagai agama pembawa rahmat dan janji pembebasan bagi semua kelompok mustadh’afin (tertindas) seperti dibuktikan Rasul pada masa awal perjuangannya? Bukankah Islam mengklaim diri sebagai agama penentang ketidakadilan dan semua bentuk kekerasan, pelecehan, diskriminasi, pengucilan dan stigmatisasi terhadap siapa pun? Bukankah Islam mengajarkan pemeluknya mencintai dan mengasihi sesama manusia, bahkan juga mengasihi semua makhluk?

Penelusuran Al-Quran dan Hadis

Secara teologis, penolakan terhadap homoseksual dinisbahkan pada ayat-ayat Al-Quran yang berkisah tetang Nabi Luth AS (lihat QS. al-Naml, 27: 54-58, Hud, 11:77-83; al-A’raf, 7: 80-81; al-Syu’ara, 26:160-175). Di samping Al-Quran, ditemukan juga sejumlah hadis Nabi. Di antaranya, hadis riwayat Tabrani dan al-Baihaqi, Ibnu Abbas, Ahmad, Abu Dawud, Muslim dan Tirmizi.

Informasi dan petunjuk yang dapat disimpulkan dari sejumlah ayat dan hadis itu sebagai berikut. (1) Luth adalah Nabi dan Rasul Allah SWT, pembawa risalah sebagaimana nabi dan rasul lainnya. (2) Nabi Luth diutus ke dunia untuk mengajarkan manusia cara berketuhanan dan berkemanusiaan yang benar. (3) umat Luth melakukan kezaliman, pembangkangan dan kedurhakaan, sehingga Allah murka dan menimpakan bencana, azab, dan malapetaka yang dahsyat. (4) Salah satu bentuk pelanggaran kaum Luth adalah mengekspresikan perilaku seksual terlarang; mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, dan penganiayaan dalam bentuk sodomi. Al-Quran menggunakan empat kosa kata yang tidak secara langsung dapat diartikan liwath atau sodomi, yaitu al-fahisyah (al-A’raf, 7:80); al-sayyiat (Hud, 11:78); al-khabaits (al-Anbiyaa, 21: 74) dan al-munkar (al-Ankabuut, 29:21).

Temuan berikutnya, (5) ada kesan bahwa pengikut Luth adalah biseksual. Sebab, dikatakan bahwa kaum laki-laki mendatangi sesama jenis dan berpaling dari isteri-isteri mereka. Umat Luth mengekspresikan perilaku seksual analseks (sodomi atau liwath) dengan cara yang amat keji dan tercela. Ada indikasi kuat, telah terjadi perilaku kekerasan dan eksploitasi berbasis seksual. (6) Allah juga menimpakan azab pedih terhadap istri Luth, padahal tidak ada informasi bahwa ia lesbian atau melakukan sodomi. (7) Laknat dan azab pedih bukan hanya ditimpakan kepada kaum Luth, melainkan juga kepada umat nabi-nabi lainnya, seperti umat Nabi Nuh, Hud, Syuaib, Saleh, dan Musa. Bahkan, azab bagi umat Nuh jauh lebih dahsyat, sehingga peristiwa itu disebut kiamat pertama. Artinya, Allah selalu murka kepada umat yang berbuat keji dan zalim serta melampaui batas, tidak peduli dengan orientasi seksual dan identitas gender mereka.

Akhirnya, dua kesimpulan yang tak kalah penting. (8) Al-Quran tidak menyebutkan perintah untuk mendiskreditkan kaum homo, apalagi membunuhnya. Dan (9) Allah Mahatahu siapa yang patut menerima azab-Nya dan siapa pula yang berhak mendapatkan rahmat dan karunia-Nya (al-Ankabuut, 29:21). Manusia, apa pun orientasi seksualnya, hanya dapat berfastabiqul khairat, berlomba berbuat kebajikan seoptimal mungkin.

Tawaran Pemikiran

Umat Islam hampir sepakat bahwa ijtihad dalam arti pembaruan hukum Islam adalah suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika masih hidup. Sebab, kandungan Al-Quran dan Hadis yang bicara tentang aturan hukum jumlahnya amat sedikit jika dibandingkan dengan kompleksitas persoalan sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum, seperti soal homo.[1]

Untuk itu, perlu sekali bagi kita untuk menggali hukum-hukum baru yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dengan tiga prinsip sebagai berikut:

Prinsip maqashid al-syari`ah

Pembaruan hukum Islam harus tetap mengacu kepada sumber utama Al-Quran dan Sunnah. Penting dicatat, pemahaman terhadap kedua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan literal teks, melainkan lebih banyak kepada pemaknaan non-literal atau kontekstual dan tetap mengacu kepada prinsip maqashid al-syari`ah.[2] Prinsip ini mengandung nilai-nilai keadilan (al-`adl), kemaslahatan (al-mashlahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan (al-musawah), kasih sayang (al-rahmah), keragaman (al-ta`addudiyah), dan hak asasi manusia (al-huquq al-insaniyah).

Berangkat dari prinsip Maqashid al-Syari`ah, Ibnu Muqaffa` mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Quran ke dalam dua kategori: ayat ushuliyah, yang bersifat universal karena menerangkan nilai-nilai utama Islam; dan ayat furu`iyah, yang bersifat partikular karena menjelaskan hal-hal spesifik. Kategori pertama adalah ayat-ayat yang berbicara soal keadilan, sedangkan kategori kedua, ayat-ayat tentang uqubat (bentuk hukuman), dan hudud (bentuk sanksi), serta ketentuan perkawinan, waris, dan transaksi sosial. Sayangnya, umat Islam lebih menfokuskan perhatian pada ayat-ayat partikular, dan mengabaikan ayat-ayat universal sehingga mereka sering lupa pada tujuan sejati syari’ah, yaitu memanusiakan manusia.

Prinsip relativitas fiqh

Fiqih adalah formulasi pemahaman Islam yang digali dari Al-Quran dan Sunnah, sifatnya relatif, tidak absolut dan dapat berubah. Sebagai hasil ijtihad atau rekayasa cerdas pemikiran manusia, tidak ada jaminan fiqih tidak mengandung kesalahan atau kekeliruan. Fiqih selalu dipengaruhi faktor-faktor sosio-kultural dan sosio-historis. Oleh karena itu, fiqih tidak mungkin berlaku abadi untuk semua ragam manusia sepanjang masa. Boleh jadi, suatu pandangan fiqih cocok untuk suatu masyarakat tertentu, kurun waktu tertentu, namun belum tentu cocok untuk masyarakat lain yang memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda dengan kurun waktu yang lain. Artinya, suatu pandangan fiqih mungkin dapat diterima, tetapi penerimaan itu tidak harus menghalangi kita bersikap kritis, atau mencegah kita menerima pandangan fiqih lainnya.

Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fiqih dari Mazhab Hanbali, merumuskan prinsip di atas sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri.[3] Pernyataan senada dilontarkan Ibn Rusyd: kemaslahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan.[4] Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam berkesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.[5]

Prinsip tafsir tematik

Al-Qur’an dan Sunnah sarat dengan muatan nilai-nilai luhur dan ideal. Hanya saja, ketika nilai-nilai itu berinteraksi dengan beragam budaya manusia, terjadi sejumlah distorsi. Pemahaman yang distortif itu muncul antara lain karena perbedaan tingkat intelektualitas dan pengaruh latar belakang sosio-kultural dan sosio-historis. Di samping itu, teks-teks suci itu sendiri mengandung makna-makna literal dan simbolis. Kosa kata bahasa Arab dikenal sangat kaya makna sehingga satu kata dapat memiliki sejumlah penafsiran berbeda tergantung konteksnya.

Beragamnya penafsiran dalam memahami teks-teks suci merupakan keniscayaan, dan itulah agaknya maksud Hadis Nabi yang menyatakan, “Ikhtilaf ummati rahmah” (perbedaan pendapat di antara umatku merupakan rahmat). Untuk itu, dibutuhkan kearifan, ketelitian, dan sikap demokratis dalam memahami teks-teks suci, khususnya berkaitan dengan isu seksualitas. Dengan kata lain, penafsiran baru mendesak dilakukan, demi menemukan kembali pesan-pesan moral keagamaan yang menjanjikan rahmat bagi seluruh makhluk.

Akhirul Kalam

Berdasarkan tiga prinsip itu, kita perlu membaca ulang pemahaman Islam tentang homo. Jika para ulama di masa lalu telah memberikan kontribusinya yang besar dalam perumusan pemahaman keislaman soal homo, mengapa ulama sekarang tidak dapat melakukan hal serupa? Saya khawatir ada ketakutan yang sangat besar. Sebab, reinterpretasi ini akan mengubah bangunan sistem hukum Islam yang selama ini dianggap sudah mapan dan tidak dapat dipertanyakan lagi. Selain itu, reinterpretasi pemahaman Islam soal homo akan mempertanyakan ulang semua konsep yang dianggap baku berkaitan dengan keluarga dan perkawinan.

Kekhawatiran itu dapat dimaklumi. Akan tetapi, demi membangun peradaban yang lebih baik, saya mengusulkan tiga hal. Pertama, melakukan upaya rekonstruksi budaya; mengubah nilai-nilai budaya yang tidak adil terhadap manusia, termasuk homo, dengan membangun budaya baru yang ramah dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, reformasi semua bentuk peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan tidak berpihak kepada kelompok marjinal dan tertindas. Dan ketiga, reinterpretasi ajaran Islam yang memarginalkan homo dan menstigma mereka sebagai pendosa terlaknat.

Selanjutnya, kita perlu menyosialisasikan interpretasi agama yang ramah terhadap kelompok tertindas dan memihak terhadap semua manusia, apa pun orientasi seksual dan identitas gendernya. Wa Allah a'lam bi al-shawab.

[1] Dede Oetomo, Gender and Sexual Orientation in Indonesia, in Fantasizing the Feminine in Indonesia, Routledge, London, 1999, h. 261.



[1] Penelitian Abdul Wahab Khallaf, pakar ushul fiqh, mengenai ayat-ayat hukum menjelaskan bahwa jumlah ayat-ayat Al-Qur’an berisi ketentuan hukum secara tegas hanya sekitar 5,8% atau sebanyak 368 ayat, sedangkan jumlah yang terbesar justru berisi nilai-nilai universal, seperti keadilan, cinta kasih, kedamaian, dan kebebasan yang kesemuanya merupakan pesan-pesan moral keagamaan yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushu Al-Fiqh (Kairo, 1956), cet. VII, hal. 34-35.

[2] Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam bukunya yang terkenal: al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah. Akan tetapi, konsep ini sudah disinggung sebelumnya oleh Al-Juwaini Imam al-Haramain dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.

[3] Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Dar al-Jil, Beirut, T.T. Juz III, h. 3. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh sederetan ulama yang sangat otorotatif di bidang fiqih, seperti Al-Ghazali (w. 505H); Fakhruddin al-Razi (w. 606 H); Izzuddin ibn Abdissalam (w. 660 H0; Najmuddin al-Tufi (w. 716 H); Ibnu Taimiyah (w. 728 H.); Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H.); dan Muhammad ibn Tahir al-Asyur (w. 1393 H.).

[4] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil, Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1999, h. 125.

[5] Izzuddin ibn Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am, Dar al-Jil, Kairo, T.T. h 72.