7 Juni 2009

Adakah Islam Bicara Soal Homo?

Adakah Islam Bicara Soal Homo?

Oleh Siti Musdah Mulia

Al-Quran hanya menyebut dua jenis identitas gender: laki-laki dan perempuan. Sementara, literatur fiqih menyebut empat varian: perempuan; laki-laki; khunsa, waria atau banci (seseorang yang memiliki alat kelamin ganda dan umumnya senang berpenampilan atau berdandan sebagai perempuan); dan mukhannits (laki-laki secara biologis, namun mengidentifikasi diri sebagai perempuan dan menginginkan pergantian kelamin) atau mukhannats (secara biologis laki-laki, mengidentifikasi diri sebagai perempuan, tapi tidak ingin mengubah jenis kelamin mereka). Kajian fiqih tidak mengenal istilah untuk orientasi seksual homo: gay dan lesbi serta lainnya. Maka tidak heran jika pembahasan soal homo dalam fiqih selalu menggunakan istilah khunsa.

Menurut Dede Oetomo (1999: 261), banci atau waria sama sekali tidak merujuk kepada orientasi seksual. Ini label negatif untuk menunjuk perilaku dan identitas gender yang gagal. Karena itu, orangtua akan menyebut anaknya banci bila ia tidak bersikap wajar sesuai identitas gendernya. Berpegang pada dasar ini, maka jelas sekali bahwa bahasa Arab tidak mengenal kosa kata untuk merujuk orientasi seksual homo.

Pertanyaan kita: bagaimana mungkin Islam yang lahir di Arab mengutuk homo? Padahal, homoseksualitas berkaitan dengan orientasi seksual, sedangkan khunsa berhubungan dengan identitas gender. Perlu segera digarisbawahi: umumnya kaum muslim menyebut homo dalam pengertian sodomi.

Fiqih dan Sejarah

Para fuqaha berbeda pendapat soal hukuman terhadap homo. Imam Syafi’i menegaskan bahwa perilaku homo dapat dikenai hukum hanya jika dilakukan di depan publik. Selanjutnya, al-Auza`i dan Abu Yusuf menyamakan hukuman sodomi dengan zina.

Fakta sejarah tidak menjelaskan adanya kasus penghukuman atas praktik homo pada masa Nabi Muhammad. Eksekusi pertama terhadap homo justru terjadi sesudahnya, ketika terjadi hukuman mati terhadap pasangan homo pada masa Abu Bakar. Lalu, pada masa Umar bin Khattab, beliau menginstruksikan agar seorang homo dibakar hidup-hidup. Namun, karena mendapat kritik keras, lalu hukumannya diringankan menjadi dirajam.

Pemahaman teologi Islam soal homo selalu dikaitkan dengan kisah Luth. Pemahaman itu sudah dianggap final dan mutlak. Namun, kajian kritis akibat tuntutan dinamika masyarakat dan penemuan sains dan teknologi membawa kepada sejumlah pertanyaan baru. Apakah pengikut Luth dilaknat karena mereka memiliki orientasi seksual homo yang tidak mungkin diingkari karena bersifat “takdir“ (biologis), atau mereka dilaknat karena mengekspresikan perilaku seksual terlarang, seperti sodomi? Lalu, apakah kaum homo yang tidak mengekspresikan perilaku seksual terlarang, yakni perilaku seksual yang mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, dan membahayakan kesehatan, seperti sodomi, perkosaan, pedofili, berzina, melacurkan diri, dan gonta-ganti pasangan, juga akan tetap akan dilaknat? Apakah laknat Allah kepada kaum Luth yang homo lebih dahsyat daripada laknat Allah kepada umat Nabi Nuh yang bukan homo? Ingat: Al-Quran mengisahkan bahwa laknat Allah kepada umat Nuh, yang bukan homo (dan tidak ada informasi bahwa mereka homo), adalah yang paling dahsyat, sehingga hal itu disebut kiamat pertama karena memusnahkan semua makhluk, kecuali sedikit pengikut Nuh.

Selain itu, pertanyaan lain yang juga mengganjal: Mengapa para ulama begitu antusias menceritakan kisah Luth sebagai dakwah anti-sodomi atau liwath? Saya jadi teringat guru madrasah yang mendramatisasi kisah ini di dalam kelas, membuat beberapa murid menggigil ketakutan dan mimpi buruk. Belakangan penulis dapat info bahwa ia seorang gay!

Hegemoni Heteronormativitas

Adalah fakta yang terang-benderang bahwa tafsir keagamaan sangat dihegemoni oleh heteronormativitas, yaitu ideologi yang mengharuskan manusia berpasangan secara lawan jenis dan tunduk pada aturan heteroseksualitas yang menggariskan tujuan perkawinan untuk prokreasi, menghasilkan keturunan. Heteronormativitas memandang seksualitas yang normal, baik, natural dan ideal adalah heteroseksual, marital, reproduktif dan nonkomersial. Sebaliknya, homoseksual: gay atau lesbi dipandang immoral, tidak religius, haram, penyakit sosial, menyalahi kodrat, dan bahkan dituduh sekutu setan.

Dalam komunitas muslim arus-utama, penolakan terhadap homo dipandang mutlak, tidak dapat dipertanyakan lagi. Tiap upaya mengkritisi pandangan Islam soal ini, apalagi mengubahnya, dianggap perbuatan melawan hukum Islam, menentang syari’ah. Pokoknya, semua kesimpulan ahli-ahli fiqih (fuqaha) di masa lalu berkaitan dengan homo, sebagaimana terbaca dalam kitab-kitab fiqih, adalah final dan mutlak. Alasannya, sudah merupakan ijma` (konsensus fuqaha) bahwa homo hukumnya haram, pelakunya harus dihukum berat: dibunuh, dirajam atau dibakar. Titik!!!

Sejumlah pertanyaan penting muncul: Apakah umat Islam sekarang tidak boleh membaca ulang pandangan fuqaha terdahulu yang begitu kaku soal homo? Apakah tidak mungkin merumuskan kembali pandangan keislaman yang lebih akomodatif dan lebih humanis, mengingat banyak hal telah berubah dalam realitas sosiologis, terutama berkaitan dengan homo? Apakah mustahil umat Islam sekarang memberikan perlindungan terhadap dan pemenuhan atas hak-hak asasi kelompok homo yang tertindas akibat orientasi seksual dan identitas gendernya? Bukankah Islam mengklaim diri sebagai agama pembawa rahmat dan janji pembebasan bagi semua kelompok mustadh’afin (tertindas) seperti dibuktikan Rasul pada masa awal perjuangannya? Bukankah Islam mengklaim diri sebagai agama penentang ketidakadilan dan semua bentuk kekerasan, pelecehan, diskriminasi, pengucilan dan stigmatisasi terhadap siapa pun? Bukankah Islam mengajarkan pemeluknya mencintai dan mengasihi sesama manusia, bahkan juga mengasihi semua makhluk?

Penelusuran Al-Quran dan Hadis

Secara teologis, penolakan terhadap homoseksual dinisbahkan pada ayat-ayat Al-Quran yang berkisah tetang Nabi Luth AS (lihat QS. al-Naml, 27: 54-58, Hud, 11:77-83; al-A’raf, 7: 80-81; al-Syu’ara, 26:160-175). Di samping Al-Quran, ditemukan juga sejumlah hadis Nabi. Di antaranya, hadis riwayat Tabrani dan al-Baihaqi, Ibnu Abbas, Ahmad, Abu Dawud, Muslim dan Tirmizi.

Informasi dan petunjuk yang dapat disimpulkan dari sejumlah ayat dan hadis itu sebagai berikut. (1) Luth adalah Nabi dan Rasul Allah SWT, pembawa risalah sebagaimana nabi dan rasul lainnya. (2) Nabi Luth diutus ke dunia untuk mengajarkan manusia cara berketuhanan dan berkemanusiaan yang benar. (3) umat Luth melakukan kezaliman, pembangkangan dan kedurhakaan, sehingga Allah murka dan menimpakan bencana, azab, dan malapetaka yang dahsyat. (4) Salah satu bentuk pelanggaran kaum Luth adalah mengekspresikan perilaku seksual terlarang; mengandung unsur kekerasan, pemaksaan, dan penganiayaan dalam bentuk sodomi. Al-Quran menggunakan empat kosa kata yang tidak secara langsung dapat diartikan liwath atau sodomi, yaitu al-fahisyah (al-A’raf, 7:80); al-sayyiat (Hud, 11:78); al-khabaits (al-Anbiyaa, 21: 74) dan al-munkar (al-Ankabuut, 29:21).

Temuan berikutnya, (5) ada kesan bahwa pengikut Luth adalah biseksual. Sebab, dikatakan bahwa kaum laki-laki mendatangi sesama jenis dan berpaling dari isteri-isteri mereka. Umat Luth mengekspresikan perilaku seksual analseks (sodomi atau liwath) dengan cara yang amat keji dan tercela. Ada indikasi kuat, telah terjadi perilaku kekerasan dan eksploitasi berbasis seksual. (6) Allah juga menimpakan azab pedih terhadap istri Luth, padahal tidak ada informasi bahwa ia lesbian atau melakukan sodomi. (7) Laknat dan azab pedih bukan hanya ditimpakan kepada kaum Luth, melainkan juga kepada umat nabi-nabi lainnya, seperti umat Nabi Nuh, Hud, Syuaib, Saleh, dan Musa. Bahkan, azab bagi umat Nuh jauh lebih dahsyat, sehingga peristiwa itu disebut kiamat pertama. Artinya, Allah selalu murka kepada umat yang berbuat keji dan zalim serta melampaui batas, tidak peduli dengan orientasi seksual dan identitas gender mereka.

Akhirnya, dua kesimpulan yang tak kalah penting. (8) Al-Quran tidak menyebutkan perintah untuk mendiskreditkan kaum homo, apalagi membunuhnya. Dan (9) Allah Mahatahu siapa yang patut menerima azab-Nya dan siapa pula yang berhak mendapatkan rahmat dan karunia-Nya (al-Ankabuut, 29:21). Manusia, apa pun orientasi seksualnya, hanya dapat berfastabiqul khairat, berlomba berbuat kebajikan seoptimal mungkin.

Tawaran Pemikiran

Umat Islam hampir sepakat bahwa ijtihad dalam arti pembaruan hukum Islam adalah suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika masih hidup. Sebab, kandungan Al-Quran dan Hadis yang bicara tentang aturan hukum jumlahnya amat sedikit jika dibandingkan dengan kompleksitas persoalan sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum, seperti soal homo.[1]

Untuk itu, perlu sekali bagi kita untuk menggali hukum-hukum baru yang lebih akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dengan tiga prinsip sebagai berikut:

Prinsip maqashid al-syari`ah

Pembaruan hukum Islam harus tetap mengacu kepada sumber utama Al-Quran dan Sunnah. Penting dicatat, pemahaman terhadap kedua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan literal teks, melainkan lebih banyak kepada pemaknaan non-literal atau kontekstual dan tetap mengacu kepada prinsip maqashid al-syari`ah.[2] Prinsip ini mengandung nilai-nilai keadilan (al-`adl), kemaslahatan (al-mashlahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan (al-musawah), kasih sayang (al-rahmah), keragaman (al-ta`addudiyah), dan hak asasi manusia (al-huquq al-insaniyah).

Berangkat dari prinsip Maqashid al-Syari`ah, Ibnu Muqaffa` mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Quran ke dalam dua kategori: ayat ushuliyah, yang bersifat universal karena menerangkan nilai-nilai utama Islam; dan ayat furu`iyah, yang bersifat partikular karena menjelaskan hal-hal spesifik. Kategori pertama adalah ayat-ayat yang berbicara soal keadilan, sedangkan kategori kedua, ayat-ayat tentang uqubat (bentuk hukuman), dan hudud (bentuk sanksi), serta ketentuan perkawinan, waris, dan transaksi sosial. Sayangnya, umat Islam lebih menfokuskan perhatian pada ayat-ayat partikular, dan mengabaikan ayat-ayat universal sehingga mereka sering lupa pada tujuan sejati syari’ah, yaitu memanusiakan manusia.

Prinsip relativitas fiqh

Fiqih adalah formulasi pemahaman Islam yang digali dari Al-Quran dan Sunnah, sifatnya relatif, tidak absolut dan dapat berubah. Sebagai hasil ijtihad atau rekayasa cerdas pemikiran manusia, tidak ada jaminan fiqih tidak mengandung kesalahan atau kekeliruan. Fiqih selalu dipengaruhi faktor-faktor sosio-kultural dan sosio-historis. Oleh karena itu, fiqih tidak mungkin berlaku abadi untuk semua ragam manusia sepanjang masa. Boleh jadi, suatu pandangan fiqih cocok untuk suatu masyarakat tertentu, kurun waktu tertentu, namun belum tentu cocok untuk masyarakat lain yang memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda dengan kurun waktu yang lain. Artinya, suatu pandangan fiqih mungkin dapat diterima, tetapi penerimaan itu tidak harus menghalangi kita bersikap kritis, atau mencegah kita menerima pandangan fiqih lainnya.

Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fiqih dari Mazhab Hanbali, merumuskan prinsip di atas sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri.[3] Pernyataan senada dilontarkan Ibn Rusyd: kemaslahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan.[4] Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam berkesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.[5]

Prinsip tafsir tematik

Al-Qur’an dan Sunnah sarat dengan muatan nilai-nilai luhur dan ideal. Hanya saja, ketika nilai-nilai itu berinteraksi dengan beragam budaya manusia, terjadi sejumlah distorsi. Pemahaman yang distortif itu muncul antara lain karena perbedaan tingkat intelektualitas dan pengaruh latar belakang sosio-kultural dan sosio-historis. Di samping itu, teks-teks suci itu sendiri mengandung makna-makna literal dan simbolis. Kosa kata bahasa Arab dikenal sangat kaya makna sehingga satu kata dapat memiliki sejumlah penafsiran berbeda tergantung konteksnya.

Beragamnya penafsiran dalam memahami teks-teks suci merupakan keniscayaan, dan itulah agaknya maksud Hadis Nabi yang menyatakan, “Ikhtilaf ummati rahmah” (perbedaan pendapat di antara umatku merupakan rahmat). Untuk itu, dibutuhkan kearifan, ketelitian, dan sikap demokratis dalam memahami teks-teks suci, khususnya berkaitan dengan isu seksualitas. Dengan kata lain, penafsiran baru mendesak dilakukan, demi menemukan kembali pesan-pesan moral keagamaan yang menjanjikan rahmat bagi seluruh makhluk.

Akhirul Kalam

Berdasarkan tiga prinsip itu, kita perlu membaca ulang pemahaman Islam tentang homo. Jika para ulama di masa lalu telah memberikan kontribusinya yang besar dalam perumusan pemahaman keislaman soal homo, mengapa ulama sekarang tidak dapat melakukan hal serupa? Saya khawatir ada ketakutan yang sangat besar. Sebab, reinterpretasi ini akan mengubah bangunan sistem hukum Islam yang selama ini dianggap sudah mapan dan tidak dapat dipertanyakan lagi. Selain itu, reinterpretasi pemahaman Islam soal homo akan mempertanyakan ulang semua konsep yang dianggap baku berkaitan dengan keluarga dan perkawinan.

Kekhawatiran itu dapat dimaklumi. Akan tetapi, demi membangun peradaban yang lebih baik, saya mengusulkan tiga hal. Pertama, melakukan upaya rekonstruksi budaya; mengubah nilai-nilai budaya yang tidak adil terhadap manusia, termasuk homo, dengan membangun budaya baru yang ramah dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Kedua, reformasi semua bentuk peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan tidak berpihak kepada kelompok marjinal dan tertindas. Dan ketiga, reinterpretasi ajaran Islam yang memarginalkan homo dan menstigma mereka sebagai pendosa terlaknat.

Selanjutnya, kita perlu menyosialisasikan interpretasi agama yang ramah terhadap kelompok tertindas dan memihak terhadap semua manusia, apa pun orientasi seksual dan identitas gendernya. Wa Allah a'lam bi al-shawab.

[1] Dede Oetomo, Gender and Sexual Orientation in Indonesia, in Fantasizing the Feminine in Indonesia, Routledge, London, 1999, h. 261.



[1] Penelitian Abdul Wahab Khallaf, pakar ushul fiqh, mengenai ayat-ayat hukum menjelaskan bahwa jumlah ayat-ayat Al-Qur’an berisi ketentuan hukum secara tegas hanya sekitar 5,8% atau sebanyak 368 ayat, sedangkan jumlah yang terbesar justru berisi nilai-nilai universal, seperti keadilan, cinta kasih, kedamaian, dan kebebasan yang kesemuanya merupakan pesan-pesan moral keagamaan yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushu Al-Fiqh (Kairo, 1956), cet. VII, hal. 34-35.

[2] Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam bukunya yang terkenal: al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah. Akan tetapi, konsep ini sudah disinggung sebelumnya oleh Al-Juwaini Imam al-Haramain dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.

[3] Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Dar al-Jil, Beirut, T.T. Juz III, h. 3. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh sederetan ulama yang sangat otorotatif di bidang fiqih, seperti Al-Ghazali (w. 505H); Fakhruddin al-Razi (w. 606 H); Izzuddin ibn Abdissalam (w. 660 H0; Najmuddin al-Tufi (w. 716 H); Ibnu Taimiyah (w. 728 H.); Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H.); dan Muhammad ibn Tahir al-Asyur (w. 1393 H.).

[4] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil, Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1999, h. 125.

[5] Izzuddin ibn Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am, Dar al-Jil, Kairo, T.T. h 72.

Tidak ada komentar: