13 Maret 2009

Menuju Islam Yang Akomodatif

MENUJU ISLAM YANG AKOMODATIF

TERHADAP NILAI-NILAI KEMANUSIAAN

Musdah Mulia

Islam membawa perubahan radikal demi memanusiakan manusia

Islam dalam arti formal agama mulai diperkenalkan pada abad ke-7 M oleh Nabi Muhammad saw. Islam datang dalam sebuah komunitas Arab yang begitu bobrok perilakunya sehingga disebut jahiliyah. Bentuk paling nyata dari kebobrokan mereka adalah perilaku tidak manusiawi terhadap kalangan tertindas (mustadh’afin), seperti perempuan. Mereka menegasikan nilai-nilai universal kemanusiaan sebagai terkandung dalam esensi agama berupa nilai-nilai keadilan, kejujuran, kedamaian, kesetaraan dan kebebasan.

Masyarakat Arab jahiliyah terdiri dari banyak suku dan sering terjadi peperangan memperebutkan sumber-sumber alam demi kelangsungan hidup mereka. Kehidupan nomaden di alam tandus sangat bertumpu pada kekuatan otot dan fisik. Sementara perempuan selalu diklaim sebagai lemah dan rapuh sehingga tidak punya tempat dalam kehidupan suku.

Keterpurukan perempuan di era jahiliyah terlihat jelas dalam tradisi waris, mahar, perbudakan dan poligami. Perempuan tidak berhak menerima waris, malah tubuhnya dianggap bagian dari harta warisan. Jika seorang suami meninggal, isteri menjadi barang warisan. Selanjutnya, mahar dianggap sebagai harga penjualan tubuh perempuan, sebab perkawinan intinya hanyalah barter atau transaksi jual-beli. Mahar adalah hak milik orang tua atau para wali. Wujud mahar tidak seperti dalam perkawinan di Indonesia, terdiri seperangkat alat salat atau sejumlah gram emas. Mahar selalu berbentuk harta bernilai, seperti rumah dan seisinya sehingga dapat dijadikan modal sosial. Mahar tidak diberikan kepada perempuan karena asumsinya perempuan bukanlah manusia utuh seperti laki-laki yang memiliki hak properti. Demikian halnya poligami, dipandang wajar dan alami seperti perbudakan. Laki-laki mengawini perempuan kapan saja, dan di mana saja tanpa batasan jumlah dan tanpa syarat keadilan apa pun. Tidak heran, seorang laki-laki dapat memiliki istri sebanyak-banyaknya. Bukan hanya itu, mereka pun masih boleh mengambil perempuan lain sesukanya untuk dijadikan gundik. Laki-laki dapat menggauli budak perempuan sesuka hati karena mereka tidak dianggap manusia. Ringkasnya, masyarakat jahiliyah tidak mengenal etika penghargaan terhadap perempuan dan menafikan nilai-nilai universal kemanusiaan.

Jauh sebelum diangkat menjadi rasul, Muhammad telah dianugerahi empati dan kesadaran kemanusiaan yang tinggi sehingga dia menjadi sangat prihatin terhadap lingkungan jahiliyahnya. Nabi sadar, kebobrokan masyarakat harus diperbaiki. Harus ada upaya perubahan. Masyarakat jahiliyah harus diubah menjadi masyarakat madani, beradab, menjunjung tinggi kemanusiaan, prinsip-prinsip kesetaraan dan kebebasan. Karena itu, berbeda dengan pemuda di masanya, Muhammad menolak kehidupan jahiliyah dengan banyak merenung dan mengurung diri di gua Hiraa, sebuah tempat sepi di Jabal Nur lokasinya sekitar 6 km sebelah utara Mekkah. Kebiasaan Nabi berkontempelasi di gua Hiraa berlangsung sampai turun wahyu. Kegelisahan dan keprihatinannya selama ini terjawab sudah. Ayat-ayat pertama secara tegas memberikan pedoman bagaimana membebaskan manusia dari belenggu tiranik dan despotik, membersihkan aqidah jahiliyah dan mengisinya dengan aqidah tauhid sebagai inti Islam.

Esensi tauhid adalah memanusiakan manusia. Tauhid mengajarkan agar manusia dibebaskan dari semua belenggu yang menistakan derajat, martabat dan kehormatan dirinya sebagai makhluk Tuhan paling mulia. Manusia harus dibebaskan dari semua bentuk dominasi, diskriminasi, dan eksploitasi untuk alasan apa pun. Tauhid mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan kepada manusia, mengajak mereka: laki-laki dan perempuan berjuang menjadi khalifah fi al-ardh agar dapat mengelola kehidupan damai di bumi sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua makhluk.

Fakta sejarah menjelaskan, perempuan adalah kelompok paling diuntungkan oleh kehadiran Islam. Islam merayakan kehadiran bayi perempuan melalui acara aqiqah, padahal tradisi Arab memandang aib kelahirannya. Islam menetapkan perempuan sebagai subyek pemilik hak waris di saat masyarakat memperlakukannya sebagai obyek warisan. Mahar menjadi hak mutlak perempuan, sebelumnya merupakan monopoli para wali yang notabene laki-laki. Nabi pun menggugat praktek poligami jahiliyah yang menempatkan perempuan sebagai obyek seksual dengan mencontohkan perkawinan monogami yang damai penuh kebahagiaan. Bahkan, sebagai ayah, Nabi secara terang-terangan menunjukkan sikap marah dan tidak setuju ketika anak perempuannya, Fatimah akan dipoligami.[1] Lebih dahsyat lagi, Nabi mengangkat perempuan menjadi imam shalat ketika masyarakat memandang jabatan sakral itu hanya untuk laki-laki. Nabi justru mempromosikan posisi ibu tiga kali lebih tinggi dan lebih mulia dari ayah ketika masyarakat melihat ibu hanyalah mesin reproduksi. Nabi menempatkan isteri sebagai mitra sejajar di saat masyarakat memperlakukan mereka sebagai pelayan belaka.

Fakta-fakta historis tersebut melukiskan secara terang-benderang bahwa Nabi melakukan perubahan sangat radikal : dari masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat madani dengan memberdayakan kelompok marjinal, khususnya perempuan dan kaum budak. Nabi mengubah kedudukan perempuan dari posisi sebagai obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek yang dihormati dan diindahkan. Nabi memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Tidak ada perbedaan di antara manusia kecuali prestasi takwanya, dan soal takwa Allah semata berhak menilai. Tugas manusia hanyalah ber-fastabiqul khairat, yaitu berkompetisi berbuat kebajikan.

Perjuangan Nabi di masa awal Islam melahirkan figur-figur perempuan dinamis, aktif, sopan, dan memiliki empati kemanusiaan yang tinggi. Al-Qur`an pun melukiskan figur ideal seorang muslimah sebagai pribadi memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan. Perempuan harus mandiri dalam kehidupan politik (al-istiqlal al-siyasah), seperti figur Ratu Bulqis, pemimpin kerajaan superpower ('arsyun 'azhim)[2] Al-Qur'an mengizinkan perempuan melakukan perlawanan terhadap pemerintah tirani.[3] Perempuan harus mandiri dalam kehidupan ekonomi (al-istiqlal al-iqtishadi),[4] seperti figur perempuan pengelola peternakan dalam kisah Nabi Musa di Madyan. Perempuan harus mandiri dalam menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi), sekalipun berbeda dengan pandangan suami[5] atau menentang pendapat publik (public opinion).[6] Hasilnya, pada masa Nabi tercatat sederetan tokoh perempuan memiliki kemampuan dan prestasi cemerlang. Dalam jaminan Al-Qur'an, perempuan dengan leluasa dapat berkiprah pada semua sektor kehidupan di masyarakat tanpa hambatan sedikit pun.

Islam mengalami distorsi dan kembali mengadopsi tradisi jahiliyah

Setelah masa Nabi, Islam mengalami distorsi dan kembali mengadopsi tradisi jahiliyah. Akbatnya, wajah Islam dalam kehidupan sosial telah berubah menjadi sangat tidak simpatik. Wajah Islam identik dengan budaya patriarki, penuh pemaksaan dan kekerasan. Islam menjadi tidak bersahabat terhadap kelompok lain, demikian juga terhadap perempuan, padahal perempuan dengan sifat feminitasnya sangat berpeluang memahami dan mengamalkan Islam dengan baik.

Gambaran ideal kehidupan perempuan di masa Nabi tinggal kenangan. Di berbagai dunia Muslim tidak banyak perempuan berkiprah di area publik, terutama di bidang politik. Umat Islam kembali mengadopsi tradisi jahiliyah yang dulu diberangus habis oleh Nabi. Tidak heran, jika posisi perempuan dalam Islam menjadi sangat marginal dan tersubordinasi. Hal itu terlihat jelas dalam berbagai formulasi hukum Islam, khususnya tentang perkawinan dan kewarisan seperti Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Bahkan, distorsi terjadi juga dalam sejumlah perundang-undangan lain, seperti UU Pornografi yang mengkriminalkan tubuh perempuan dan memandangnya sebagai sumber fitnah; UU Kesehatan yang menafikan kepemilikan perempuan akan rahimnya dan melarang aborsi walau untuk keselamatan hidup sang ibu; dan UU Ketenagakerjaan yang melihat pekerja perempuan bukan sebagai pekerja utama, melainkan sebatas pendamping atau pelengkap.

Realitas sosiologis di masyarakat memaparkan secara konkret bahwa atas nama Islam, perempuan tidak diakui sebagai manusia utuh sehingga mereka tidak berhak merepresentasikani dirinya sendiri dalam akad nikah, tidak berhak menjadi wali dan saksi perkawinan, meski terhadap anak kandung yang dibesarkan sendiri dengan penuh duka lara. Atas nama Islam, perempuan disubordinasikan dan dipinggirkan sehingga tidak pantas menjadi pemimpin walau terhadap dirinya sekalipun. Atas dalih agama, perempuan dipandang makhluk kotor sehingga tidak punya akses menjadi pemimpin ritual dan harus dienyahkan dari rumah ibadah ketika menstruasi. Atas titah agama, perempuan dipojokkan sebagai makhluk domestik, hanya berkutat seputar sumur, kasur dan dapur. Perempuan tidak berhak mendapat pendidikan tinggi, tidak boleh berkarir dan beraktivitas di luar rumah, dan harus menjadi penyangga moral demi kebaikan masyarakat. Atas kuasa agama, perempuan dinistakan sebagai obyek seksual, dipaksa memuaskan birahi suami sebagai jaminan masuk sorga. Sorga pun ternyata bukan tempat yang memenuhi fantasi perempuan karena selalu didefinisikan sebagai taman penuh bidadari -yang notabene tidak menarik bagi perempuan- kecuali perempuan dengan orientasi seks sejenis.[7]

Munculnya Kesadaran Feminisme

Memasuki abad ke-20 kesadaran global tentang perlunya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development) tampak semakin jelas. Kesadaran global akan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit, gender, ras dan suku bangsa semakin menguat. Kesadaran ini mempengaruhi para pemikir Islam di berbagai negara untuk melakukan upaya-upaya reinterpretasi sehingga akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan ramah terhadap perempuan. Di antara mereka adalah Rifa`ah Rafi al-Tahtawi (1801-1873), Qasim Amin (1865-1908), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Tahir al-Haddad (1899-1935).

Dimulai dengan Rifa`ah Rafi al-Tahtawi (1801-1873). Beliau seorang pemikir reformis asal Mesir, dan tokoh Muslim pertama menulis tentang status perempuan dalam buku berjudul: Takhlis al-Ibriz fi Talkhis Bariz, terbit di Kairo tahun 1843. Buku itu mengulas kehidupan perempuan di Paris. Al-Tahtawi memuji kebebasan beropini dan bertindak yang dinikmati perempuan Perancis dan berharap agar perempuan Mesir juga mendapatkan kebebasan serupa melalui pendidikan sebagai prioritas utama dan pemberian akses lapangan kerja.[8]

Senada dengan Al-Tahtawi, Qasim Amin (1865-1908) juga seorang pemikir reformis asal Mesir menyerukan perlunya pembebasan perempuan sebagaimana tertuang dalam dua bukunya yang sangat kontroversial: Al-Mar`ah al-Jadidah dan Tahrir al-Mar`ah. Menurutnya, suatu bangsa tidak mungkin maju dan berkembang dengan baik manakala perempuan -yang notabene merupakan setengah dari populasi penduduk- tidak berdaya. Para isteri selama ini menurutnya, hanya dipakai sebagai objek seksual. Laki-laki memerlukan mereka hanya kalau dibutuhkan dan setelah itu dicampakkan. Perempuan harus diberdayakan melalui pendidikan, pembebasan dari jilbab dan hijab, dan penghapusan poligami. Lebih lanjut ia menjelaskan, Al-Qur'an memberikan posisi tinggi kepada perempuan, namun tradisi dari luar Islam menjadi salah satu faktor penyebab perempuan Islam terkebelakang dan terpuruk. Bahkan menurutnya, umat Islam mundur karena separoh dari umatnya, yakni kaum perempuan mengalami kemunduran. Untuk memajukan umat Islam tidak ada pilihan lain kecuali membebaskan perempuan dari keterbelakangan dan ketertindasan.[9] Sementara itu, Muhammad Abduh (1849-1905) menambahkan, jika perempuan memiliki kelebihan, misalnya mempunyai kualitas menjadi pemimpin atau pembuat keputusan, maka keunggulan laki-laki tak berlaku lagi. Selanjutnya, reformis asal Mesir ini juga secara tegas menjelaskan, penyebab terjadinya fitnah dan kekacauan dalam masyarakat adalah karena laki-laki suka mengumbar hawa nafsunya.[10]

Pemikir reformis lain yang tidak kurang pentingnya, Tahir al-Haddad (1899-1935), reformis asal Tunisia secara tegas mendobrak keterbelakangan perempuan Tunisia dan menganjurkan reformasi total. Menurutnya, perempuan harus mendapatkan hak pendidikan setara dengan laki-laki. Perempuan harus diberi kesempatan bekerja di ruang publik. Selain itu, untuk mengangkat harkat dan derajat kaum perempuan maka talak sepihak dari suami harus dihapuskan, demikian juga poligami karena jelas merupakan bentuk ketidaksetaraan gender.[11] Pemikiran reformasi al-Haddad menghasilkan amandemen terhadap undang-undang perkawinan yang protektif terhadap perempuan. Salah satu pasal penting adalah tentang larangan poligami secara mutlak. Pasal 18: "bahwa beristeri lebih dari satu dilarang. Siapa saja yang menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau penjara dan denda sekaligus."[12]

Sayangnya, kemunculan para feminis dan pemikir pembaharu di berbagai wilayah Islam tidak serta merta mengubah posisi perempuan Muslim. Sebab, pemikiran dan gerakan mereka belum menjadi arus utama (mainstream). Di berbagai negara Islam tetap saja muncul kebijakan baru yang tidak memihak demokrasi dan pluralisme, mengukuhkan subordinasi perempuan dan mengucilkan mereka di area publik. Sebagai contoh, Komite Penafsiran dan Legislasi Al-Qur'an di negara Kuwait pada 1985 mengeluarkan sebuah fatwa, perempuan tidak memiliki hak politik untuk memilih wakil-wakil mereka di parlemen. Alasannya, proses pemilihan dan hak memilih diperuntukkan semata-mata untuk kaum laki-laki. Perempuan cukup memberikan suara dan aspirasinya melalui keluarga mereka yang laki-laki: para ayah, suami, dan saudara laki-laki. Alasan lain bahwa Islam tidak membolehkan perempuan meninggalkan tugas-tugas utama mereka sebagai seorang ibu, yaitu hamil dan mengasuh anak.[13] Memprihatinkan bahwa fatwa serupa juga bermunculan di Indonesia akhir-akhir ini. Bahkan telah dilegalkan dalam bentuk undang-undang, seperti UU Pornografi, Perda Larangan Keluar Malam dan Pemaksaan Jilbab.

Pembaruan Penafsiran: Suatu Keniscayaan

Umat Islam hampir sepakat bahwa ijtihad dalam arti pembaruan penafsiran dan pemahaman terhadap Islam adalah suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika masih hidup. Hadis Muaz ibn Jabal mengindikasikan kebutuhan itu dengan sangat jelas. Hadis lain yang sering dijadikan acuan mengenai pentingnya pembaruan ini adalah: "innallaha yab`atsu ala kulli ra`tsi miati tsanah man yujaddidu laha dinaha" (Sesungguhnya Allah akan mengutus setiap seratus tahun seorang pembaru yang akan memperbarui agamanya).

Al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber utama Islam meski mempunyai aturan hukum, namun jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan begitu banyaknya persoalan sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum.[14] Oleh karena itu, pembaruan penafsiran merupakan keniscayaan. Pembaruan penafsiran harus tetap mengacu kepada sumber-sumber Islam utama, yakni Al-Qur`an dan Sunnah. Hanya saja pemahaman terhadap kedua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan literal teks, melainkan lebih kepada pemaknaan non-literal atau kontekstual teks dengan mengacu kepada tujuan hakiki syariat (maqashid al-syari`ah).[15] Tujuan syariat secara jelas terimplementasi dalam nilai-nilai keadilan (al-`adl), kemashlahatan (al-mashlahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan (al-musawah), kasih sayang (al-rahmah), pluralisme (al-ta`addudiyah), dan hak asasi manusia (al-huquq al-insaniyah).

Al-Ghazali, ulama besar abad ke-12 (w. 1111) merumuskan nilai-nilai maqashid al-syari`ah ke dalam lima prinsip dasar hak asasi manusia (al-huquq al-khamsah). Kelima hak asasi dimaksud adalah hak hidup, hak kebebasan beropini dan berekspresi, hak kebebasan beragama, hak properti, dan hak reproduksi. Konsep al-Huquq al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam.

Berangkat dari teori Maqashid al-Syari`ah, Ibnu Muqaffa` mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Qur`an ke dalam dua kategori: ayat ushuliyah yang bersifat universal karena menerangkan nilai-nilai utama dalam Islam dan ayat furu`iyah yang bersifat partikular karena menjelaskan hal-hal yang spesifik. Contoh kategori pertama adalah ayat-ayat yang berbicara soal keadilan, sedangkan kategori kedua adalah ayat-ayat yang mengulas soal uqubat (bentuk-bentuk hukuman), dan hudud (bentuk-bentuk sanksi), serta ayat-ayat tentang perkawinan, waris, aborsi, kemiskinan dan transaksi sosial. Sayangnya umat Islam lebih banyak terjebak pada implementasi ayat-ayat partikular secara sempit dan kaku, serta mengabaikan ayat-ayat universal. Tidak heran jika penampilan umat Islam sering terkesan sangar, eksklusif, dan tidak ramah, terutama kepada perempuan sebagaimana digambarkan secara apik dan indah dalam puisi Gadis Arivia pada buku ini.

Sebagai penutup, mari cermati pernyataan Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fiqh dari Mazhab Hanbali, bahwa Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri.[16] Pernyataan tegas serupa dilontarkan oleh Ibnu Rusyd bahwa kemashlahatan manusia merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan.[17] Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam sampai kepada kesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.[18] Jadi, syariat Islam bukan untuk membelenggu dan menyengsarakan manusia. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Jakarta, 1 Februari 2008



[1] Uraian lebih luas mengenai ini dapat dilihat Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, Gramedia, Jakarta, 2004.

[2] Q.S. al-Mumtahanah, 60:12 dan al-Naml, 27:23.

[3] Q.S. .al-Taubah, 9:71.

[4] Q.S. .al-Nahl, 16:97 dan al-Qashash, 28:23.

[5] Q.S. al-Tahrim, 66:11 dan .

[6] QS. al-Tahrim, 66:12

[7] Pandangan missogini dalam relasi gender sangat mudah ditemukan dalam buku-buku keislaman yang berbicara soal kedudukan perempuan. Buku-buku tersebut mendominasi pasar dan toko-toko buku di seluruh pelosok Nusantara. Bahkan, sebagian besar buku-buku teks bidang agama yang diajarkan di sekolah, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi mengandung bias gender yang krusial. Penjelasan soal ini dapat dilihat secara luas dalam Siti Musdah Mulia, Lektur Agama Yang Diminati Masyarakat, Balitbang Departemen Agama RI, Jakarta, 1999. Lihat juga Musdah Mulia, Lektur Agama Kontemporer Yang Banyak Beredar di Indonesia (Studi Kasus Pada Masyarakat Banjarmasin), Puslitbang Lektur Agama, Balitbang Dep. Agama RI, 1997.

[8]Al-Tahtawi, Takhlis al-Ibriz fi Talkhis Bariz, Dar al-Taqaddum, Mesir, 1905, h. 117-120.

[9] Qasim Amin, Tahrir al-Mar’ah wa al-Mar‘ah al-Jadidah, al-Markaz al-‘Araby li al-Bahts wa an-Nasyr, Kairo, 1984, h.73-75.

[10] Untuk penjelasan lebih lanjut lihat Adams, Charles C, Islam and Modernism in Egypt, Oxford University Press, London, 1953.

[11]Tahir al-Haddad, Wanita Dalam Syariat dan Masyarakat (Terjemahan), Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, h. 6-7.

[12] Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries (History, Text and Comparative Analysis), Academy of Law and Religion, New Delhi, 1987, h. 156.

[13] Dale F. Eickelman dan Jame Piscatori, Ekspresi Politik Muslim, Mizan, Bandung, 1998, h. 109-110.

[14] Penelitian Abdul Wahab Khallaf, pakar ushul fiqh, mengenai ayat-ayat hukum menjelaskan bahwa jumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi ketentuan hukum secara tegas hanya sekitar 5,8% atau sebanyak 368 ayat saja, sedangkan jumlah yang terbesar justru berisi nilai-nilai universal, seperti keadilan, cinta kasih, kedamaian, dan kebebasan yang kesemuanya merupakan pesan-pesan moral keagamaan yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushu Al-Fiqh (Kairo, 1956), cet. VII, hal. 34-35.

[15] Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam bukunya yang terkenal: al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah. Akan tetapi, konsep ini sudah disinggung sebelumnya oleh Al-Juwaini Imam al-Haramain dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.

[16] Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Dar al-Jil, Beirut, T.T. Juz III, h. 3. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh sederetan ulama yang sangat otorotatif di bidang fiqh, seperti Al-Ghazali (w. 505H); Fakhruddin al-Razi (w. 606 H); Izzuddin ibn Abdissalam (w. 660 H0; Najmuddin al-Tufi (w. 716 H); Ibnu Taimiyah (w. 728 H.); Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H.); dan Muhammad ibn Tahir al-Asyur (w. 1393 H.).

[17] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil, Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1999, h. 125.

[18] Izzuddin ibn Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am, Dar al-Jil, Kairo, T.T. h 72.

Tidak ada komentar: