13 Maret 2009

Membangun Demokrasi

MEMBANGUN DEMOKRASI

MELALUI PENDIDIKAN PEMILIH BAGI PEREMPUAN

Siti Musdah Mulia

Pendahuluan

Menyimak daftar calon legislatif perempuan yang sudah ditetapkan KPU untuk periode 2009-2014 muncul kesan kesadaran politik perempuan semakin terbangun. Secara kuantitatif, jumlah caleg perempuan sebanyak 3.902 orang dari total caleg 11.219 orang, atau sebanyak 35,25%. Artinya, secara formal telah memenuhi kuota 30% yang diperjuangkan kelompok perempuan.

Sebanyak 8 partai mengajukan di atas 40% caleg perempuan, yaitu Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia, Partai Keadilan dan Pesatuan Indonesia, Partai Persatuan Daerah, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Matahari Bangsa, Partai Demokrasi Kebangsaan, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah. Walaupun diakui juga bahwa masih ada, sedikitnya lima partai belum memenuhi ketentuan 30% caleg perempuan seperti ditetapkan UU, yaitu Partai Peduli Rakyat Nasional. Gerindra, Republikan, Persatuan Pembangunan, dan Partai Patriot. Dalam banyak aspek, kualitas caleg perempuan tidak banyak berbeda dengan caleg laki-laki, misalnya dalam pendidikan 53,7% caleg perempuan berpendidikan sarjana, sedang caleg laki-laki sebanyak 58,9%. Sebanyak 506 caleg perempuan menempati nomor urut satu pada 77 daerah pemilihan. Namun, kebanyakan mereka masih mendominasi wilayah Jawa, Jabar 635 caleg, Jatim 505 dan Jateng 467 caleg. [1]

Muncul pertanyaan, apakah para pemilih, khususnya pemilih perempuan yang jumlahnya mayoritas itu telah mendapatkan pendidikan politik dalam bentuk pendidikan pemilih secara memadai? Sebab, kalau tidak, maka harapan untuk menghasilkan keterwakilan perempuan secara proporsional, serta mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan perempuan di ruang publik hanya tinggal harapan. Meski saat ini merupakan era keterbukaan, bukan berarti pendidikan politik telah menjadi agenda utama partai-partai. Akibatnya, kebijakan dan budaya politik yang partisipatif dan sensitif gender belum terbangun, demikian pula sikap kritis masyarakat terhadap proses-proses politik belum terlihat.[2] Bukti nyata terlihat dalam keputusan MK membatalkan Pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Pentingnya pendidikan politik bagi pemilih perempuan

Era baru demokrasi Indonesia dimulai tahun 1999, ditandai dengan pelaksanaan Pemilu secara demokratis. Sebelumnya, Pemilu hanyalah sebuah perhelatan rutin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab, di sana tidak ada kebebasan memilih partai, tidak ada kebebasan memilih anggota parlemen. Pemenangnya pun sudah pasti, yaitu Golkar.

Berbeda dengan sebelumnya, Pemilu 1999 diikuti banyak partai dan rakyat pun yang selama ini tidak memiliki alternatif pilihan lalu menjadi bingung karena dihadapkan banyak pilihan sementara mereka belum pernah mendapat pendidikan politik bagaimana memilih partai politik secara cerdas. Karena itu, dirasakan perlunya suatu pencerahan dalam bentuk pendidikan pemilih (voter education) bagi para pemilih, terutama dari kalangan terbawah atau sering diistilahkan kelompok akar rumput.

Demikianlah, menyongsong Pemilu 1999 sejumlah ormas dan LSM melaksanakan kegiatan pendidikan pemilih. Salah satunya, Muslimat NU, sebuah ormas perempuan di lingkungan NU dimana penulis menjadi koordinator program. Pendidikan ini diperuntukkan khusus bagi perempuan pemilih pada tingkatan akar rumput di 16 propinsi. Tujuan utama program adalah memajukan demokrasi, mengakhiri depolitisasi perempuan, dan meningkatkan partisipasi politik perempuan, terutama di tingkat pedesaan di mana mayoritas perempuan berada.

Paling tidak ada tiga pelajaran penting dari program tersebut. Pertama, meskipun Indonesia telah merdeka selama lebih dari setengah abad, namun perempuan pada umumnya belum memahami hak-hak asasi mereka dan potensi-potensi yang terkandung dibalik hak-hak tersebut, khususnya hak dalam bidang politik. Kedua, umumnya pemilih perempuan belum mengerti makna demokrasi dan pentingnya Pemilu sebagai sarana membangun masa depan Indonesia yang demokratis, serta kehidupan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Ketiga, selama ini pendidikan politik bagi perempuan tidak pernah diselenggarakan secara sungguh-sungguh dan sistemik. Struktur politik negara masa Orde Baru menegasikan hak politik perempuan sedemikian rupa, baik secara individual maupun kolektif. Akibatnya, perempuan mengalami depolitisasi secara luar biasa. Dampak buruk dari proses depolitisasi tersebut, perempuan sangat rentan terhadap praktik-praktk mobilisasi,[3] dan mayoritas perempuan memilih bersikap apatis, diam dan tidak kritis dalam menghadapi proses politik.

Dengan ungkapan lain, pengalaman riil dalam voter education itu menyimpulkan tiga isu krusial: keterwakilan perempuan masih sangat rendah di ruang publik ; komitmen partai politik masih belum sensitif gender sehingga kurang mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan perempuan; serta kendala nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki.[4]

Karena itu, pendidikan politik dalam bentuk pendidikan pemilih, terutama bagi kelompok perempuan harus diintensifkan dengan lebih menitikberatkan pada materi berikut. Pertama, menekankan pemahaman bahwa hak politik adalah hak asasi manusia. Kedua, bagaimana membangun sistem politik berbasis pengalaman perempuan. Ketiga, bahwa Islam sebagai agama mayoritas menjamin hak politik perempuan. Ketiga masalah ini akan diuraikan lebih rinci dalam paparan berikut.

Hak politik adalah hak asasi manusia

Politik pada hakikatnya selalu terkait dengan kekuasaan dan proses pengambilan keputusan. Lingkupnya sangat luas. Dimulai dari pengelolaan kekuasaan dan pengambilan keputusan di tingkat institusi paling kecil dalam wujud keluarga sampai ke tingkat institusi politik formal tertinggi dalam bentuk negara. Jadi, pengertian politik secara luas mencakup semua masalah pokok dalam kehidupan sehari-hari yang pada kenyataannya selalu melibatkan perempuan.

HAM merupakan suatu konsep etika politik modern yang dibangun di atas sebuah kesadaran paling mendasar dalam sejarah kemanusiaan, yaitu kesadaran tentang pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Kesadaran ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia.

Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa pembedaan dan diskriminasi atas dasar apa pun. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad'afin) dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep hak asasi manusia adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apa pun dan demi alasan apa pun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.

Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development). Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan tidak melakukan diskriminasi terhadap manusia atas dasar ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agama. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun.

Hak politik selain tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),[5] ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM,[6] seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). DUHAM menyebut istilah basic human rights[7] yaitu hak asasi manusia paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak paling penting untuk diprioritaskan dalam berbagai hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Walaupun, secara eksplisit tidak dijumpai penjelasan rinci tentang hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights, namun, secara umum mencakup hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama. Kelima hak paling fundamental tersebut, dan juga hak-hak lain didasarkan pada satu asas fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Secara umum DUHAM diumumkan PBB tahun 1948 dan mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan hak politik, antara lain mernuat sejumlah hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.

Secara khusus, hak politik perempuan dalam DUHAM tertuang dalam pasal 2: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.” Selanjutnya, dinyatakan secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 25 dan 26. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Deklarasi New Delhi tahun 1997 menegaskan, hak politik perempuan harus dipandang sebagai bahagian integral dari hak asasi manusia (HAM). Jika kita mengakui hak asasi manusia berarti kita pun harus mengakui hak politik perempuan. Hak politik perempuan tidak boleh dipisahkan dari HAM. Sebagai manusia, perempuan berhak berkiprah dalam politik seperti laki-laki. Politik harus melibatkan perempuan dan laki-laki sebagai subyek. Sejatinya, setiap perempuan, baik sebagai warga negara maupun sebagai manusia menyadari akan hak politik mereka, demikian pula potensi-potensi yang terkandung di balik hak-hak tersebut.

Pemenuhan hak politik perempuan di Indonesia, di samping mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM, seperti telah dipaparkan, juga mengacu kepada sumber hukum nasional Indonesia. Pertama, Pancasila sebagai ideologi negara. Kedua, konstitusi, khususnya UUD 1945 hasil amandemen kedua, pada pasal-pasal 28 A sampai J tentang HAM), dan ketiga dalam bentuk sejumlah undang-undang nasional yang berkaitan dengan penegakan HAM. Di antaranya, UU No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak Politik Perempuan, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (khususnya pasal-pasal 7-8), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (khususnya pasal-pasal 43, 45-51), UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, UU No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali (khususnya pasal-pasal 25-26).

Membangun sistem politik bebasis pengalaman perempuan

Penduduk Indonesia berkisar 211 juta jiwa dengan prediksi jumlah perempuan sekitar 50,2 %. Akan tetapi, hasil Pemilu 2004 dengan melibatkan jumlah pemilih perempuan lebih banyak, yakni 57% tetap tidak mampu mengubah potret keterwakilan perempuan. Keterwakilan perempuan tetap rendah dan sangat tidak rasional, baik dalam struktur kekuasaan dan proses pengambilan keputusan, maupun dalam perumusan kebijakan publik pada ketiga lembaga formal negara: legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Khusus di legislatif, pada tataran DPR-RI, perempuan yang tampil sebagai caleg melebihi 30%, namun terpilih hanya 11%. Sementara di tingkat DPRD Propinsi jumlah terpilih jauh lebih rendah, yakni rata-rata hanya 8%, dan lebih rendah lagi di tingkat DPRD Kabupaten/Kota, yaitu rata-rata hanya 5%. Bahkan, dijumpai sejumlah DPRD Kabupaten/Kota tidak punya anggota legislatif perempuan, semua anggota DPRD adalah laki-laki. Bagaimana mungkin, masyarakat yang selalu terdiri dari perempuan dan laki-laki dalam jumlah berimbang tersebut tidak memiliki perwakilan perempuan?

Akan tetapi, terdapat fenomena menarik di lingkungan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Menarik, bahwa calon perempuan perorangan di DPD tidak sampai 10%, namun berhasil meraup kursi 21%. Hal tersebut ditengarai karena para calon perempuan tidak terikat aturan partai politik yang biasanya dibangun dengan perspektif maskulin dan diskriminatif terhadap perempuan. Para calon perempuan menjadi lebih bebas menetukan strategi kampanye, lebih leluasa menyusun agenda sendiri, dan dapat lebih kreatif membangun net working di lapangan.

Data keterwakilan perempuan Indonesia di legislatif yang masih rendah itu membuat posisi Indonesia tidak menggembirakan pada tingkat dunia. Hal tersebut dapat dibaca pada laporan International Parliamentarian Union (IPU) tahun 2006. Laporan ini menjelaskan posisi Indonesia berada pada ranking ke 89 di antara 186 negara, jauh dibawah posisi Afghanistan, Vietnam, Timor Leste, Pakistan dan Cina.

Pertanyaan mendasar adalah mengapa keterwakilan perempuan dalam jabatan publik, termasuk dalam bidang politik sangat rendah? Salah satu jawaban yang dapat dikemukakan adalah suatu hasil kajian hukum dilakukan oleh Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik LIPI tahun 2006. Kajian tersebut menyimpukan bahwa rendahnya keterwakilan perempuan dalam ruang publik terutama disebabkan oleh ketimpangan struktural dan sosio-kultural masyarakat dalam bentuk pembatasan, pembedaan, dan pengucilan yang dilakukan terhadap perempuan secara terus-menerus, baik formal maupun non-formal, baik dalam lingkup publik maupun lingkup privat (keluarga).

Dampaknya, kelompok perempuan, baik sebagai warga negara maupun sebagai anggota masyarakat yang dijamin oleh undang-undang mempunyai hak sama dengan laki-laki tidak terlibat dalam upaya-upaya konkret menentukan prioritas dan pengalokasian sumber-sumber pembangunan. Demikian pula, mereka belum sepenuhnya mendapatkan manfaat dari hasil pembangunan selama ini. Kondisi memprihatinkan itu tergambar dalam capaian indikator pembangunan untuk bidang-bidang strategis, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan ketenagakerjaan.

Di samping itu, secara internal rendahnya keterwakilan perempuan dalam jabatan politik juga disebabkan tidak banyak perempuan tertarik pada dunia politik. Mengapa? Jawabnya, simpel saja. Sebab, masyarakat masih menganut segregasi atau pemilahan yang tegas antara ruang publik dan ruang domestik. Ruang publik di mana aktivitas politik berlangsung selalu digambarkan berkarakter maskulin: keras (tough), rasional, kompetitif, tegas, serba “kotor” dan menakutkan sehingga hanya pantas buat laki-laki.

Sebaliknya, ruang domestik selalu dilukiskan berkarakter feminin: lemah lembut, emosional, penurut, pengalah. Seakan meyakinkan bahwa tugas tersebut hanya cocok dan mulia bagi perempuan: sebagai istri, ibu atau pengurus rumah tangga. Pandangan bias gender inilah yang secara sengaja dan sistemik dikonstruksikan di masyarakat melalui sosialisasi nilai-nilai budaya, institusi media, lembaga pendidikan, dan peraturan perundang-undangan. Lebih fatal lagi karena segregasi yang ketat antara ruang publik dan privat tersebut juga dilanggengkan dalam interpretasi ajaran berbagai agama yang hidup di masyarakat.[8]

Konsekuensi logis dari hal demikian, tidak banyak perempuan berminat atau tertarik memasuki partai politik atau berkiprah di dunia politik. Apalagi berambisi merebut posisi sebagai pemimpin atau penentu kebijakan dan pengambil keputusan yang memerlukan ketegasan dan sikap rasional. Apa yang terjadi kemudian? Semua kepentingan, aspirasi dan kebutuhan perempuan yang memang beda dengan laki-laki, tidak terangkat, tidak diakui, tidak dihargai, bahkan terabaikan dan tidak terpenuhi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Selanjutnya, menghadapi dominasi nilai-nilai budaya patriarki dan situasi diskriminatif, agenda perempuan dalam politik hendaknya dimulai dari kegiatan-kegiatan penyadaran (awareness rising). Terutama mengubah cara pandang dan pola pikir (mind set) seluruh masyarakat (laki-laki dan perempuan) tentang pentingnya prinsip-prinsip demokrasi yang menjamin kesetaraan, pemenuhan hak asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan.

Sementara itu, sejumlah analisis mengungkapkan bahwa perilaku politik setidaknya membutuhkan tiga karakteristik, yakni kemandirian, kebebasan berpendapat, dan tindakan agresif. Sayangnya, ketiga karakteristik tersebut tidak pernah dianggap ideal dalam diri perempuan. Masyarakat umumnya selalu memandang perempuan yang mandiri, berani mengemukakan pendapat, dan agresif sebagai orang yang tidak dapat diterima atau tidak diinginkan. Karena itu, mereka perlu dikucilkan. Dengan ungkapan lain, perempuan dengan karakter seperti itu bukan tipe perempuan ideal. Karena itu, ketiga karakter ini memang tidak pernah diharapkan muncul pada diri seorang perempuan.

Dunia politik sesungguhnya identik dengan dunia kepemimpinan. Berada dalam posisi sebagai pemimpin, perempuan mengalami lebih banyak hambatan ketimbang laki-laki. Mengapa? Karena perempuan harus selalu membuktikan bahwa dirinya sungguh-sungguh mampu, memang pantas dan dapat diandalkan. Mari simak penuturan seorang walikota perempuan:“Aku kerap dikritik atas beberapa komentar yang agak menyinggung perasaan yang selanjutnya meledak menjadi pergunjingan publik. Tidak sebagaimana laki-laki dalam posisi yang sama, semua pernyataan mereka seringkali berlalu tanpa tantangan.” Artinya, sejumlah kendala primordial masih menghadang kaum perempuan dalam berkiprah di dunia politik. Di antaranya, persoalan seksime. Bagi politisi laki-laki, hampir tidak menemukan kendala yang berarti berkaitan dengan penampilan fisik mereka. Sebaliknya, politisi perempuan lebih banyak dinilai berkaitan dengan penampilan fisik mereka, misalnya soal model rambut, model giwang, cara berjalan, cara berbusana, setelah itu baru cara berfikir. Di samping itu, persoalan keluarga sangat berpotensi menimbulkan isu sensitif bagi politisi perempuan dibandingkan dengan politisi laki-laki.

Dapat disimpulkan, paling tidak ada tiga unsur yang merajut kepemimpinan dalam diri seseorang, yaitu kekuasaan, kompetensi diri, dan agresi kreatif. Kekuasaan sebagai unsur paling penting dalam membangun kemampuan memimpin seseorang selalu didefinisikan dengan ciri yang maskulin, yaitu kekuatan atau ketegaran atau kemampuan bertindak yang diperlukan guna mencapai sesuatu demi tujuan yang lebih besar. Persoalannya, keluarga dan masyarakat tidak pernah mempersiapkan perempuan secara serius dan sungguh-sungguh untuk membangun kualitas kekuasaan, kompetensi diri dan agresi kreatif dalam diri mereka. Lalu, bagaimana mungkin anak perempuan dapat bermimpi menjadi pemimpin bila mereka tidak memiliki gambaran kultural yang mampu membimbing mereka? Tidak heran jika kebanyakan perempuan mengalami kesulitan membebaskan diri dari berbagai pengaruh kultural patriarkal untuk berkiprah dalam dunia politik.

Perempuan ternyata kurang menginginkan kekuasaan manakala yang dilanggengkan di masyarakat adalah gagasan kekuasaan versi laki-laki yang sarat dengan ciri-ciri keperkasaan, kejantanan, dan kekerasan. Karena itu, sudah saatnya mempromosikan kekuasaan menurut definisi perempuan. Yakni, kekuasaan yang lebih mengedepankan kemampuan memberdayakan, kemampuan memelihara dan menciptakan masyarakat yang lebih harmoni dan bermartabat. Dengan demikian definisi baru kekuasaan merupakan gabungan dari kualitas maskulin dan feminin yang dapat dicapai oleh keduanya: laki-laki dan perempuan.

Ke depan perlu mensosialisasikan pengertian baru tentang kekuasaan yang tidak selamanya bernuansa maskulin sehingga perempuan tidak harus mengeliminir unsur-unsur feminitas dalam dirinya demi menggapai kekuasaan. Perempuan tidak harus menolak gaya feminin dan kemudian berperilaku sebagai laki-laki untuk berkuasa dan supaya diterima sebagai pemimpin. Sesungguhnya perempuan ketika berada di rumah tangga atau dalam kehidupan keluarga lebih banyak menjalankan peran kekuasaan dan peran pengambilan kebijakan.

Sebagai ibu, perempuan dapat menggunakan kekuasaan yang nyata dalam peranannya sebagai pengatur keluarga dan pengambil kebijakan. Pengalaman di rumah tangga dapat dijadikan referensi untuk menjalankan kekuasaan dan merebut posisi kepemimpinan di lingkungan yang lebih besar dan rumit, seperti negara. Berbeda dengan laki-laki, bagi umumnya perempuan, kekuasaan itu lebih dimaknai sebagai keinginan mensejahterakan orang lain, persis seperti keinginan seorang ibu membimbing anak-anaknya atau keluarganya. Kekuasaan semacam ini tidak berpusat pada diri sendiri melainkan lebih diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang lebih mulia bagi banyak orang.

Dengan demikian, konsep kekuasaan yang berciri feminin mengintegrasikan kualitas perempuan dengan sejumlah karakteristik laki-laki dan kedua atribut itu mempunyai nilai yang sama. Dengan ungkapan lain, kualitas laki-laki dan kualitas perempuan tidaklah bertentangan. Sebab, dalam kelembutan dan kasih sayang perempuan, justru terpendam kekuatan yang dahsyat.

Selain itu, kekuasaan berciri feminin mencakup gagasan memberdayakan orang lain, bukan merusak orang lain. Sebaliknya, gagasan yang selama ini digunakan adalah bahwa untuk berkuasa, seseorang harus rela menginjak orang lain. Kekuasaan hendaknya dimaknai sebagai kemampuan melaksanakan sesuatu yang berguna bagi orang lain. Untuk itu, jabatan hendaknya ditafsirkan sebagai sarana memberdayakan orang lain, bukan menghancurkan atau memperdayakan.

Kekuasaan mencakup nalar, tujuan, agenda yang hedak dicapai. Sidney Verba dari Universitas Harvard menegaskan, sumbangan terpenting dari kelompok perempuan di dunia politik adalah bahwa mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat luas daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka sendiri.[9] Artinya, politisi perempuan cenderung memikirkan agenda politik yang berdampak pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat luas ketimbang memikirkan kepentingan khusus mereka.

Dengan mengembangkan definisi kekuasaan berbasis pengalaman perempuan, perempuan dapat menjadi politisi bijak dan handal. Politisi yang tidak akan menyakiti hati lawan politiknya, apa pun alasannya. Politisi yang tidak akan menggunakan intrik politik sebagaimana biasa digunakan oleh laki-laki. Seorang politisi perempuan dapat mengasah sisi keibuannya yang selalu tanggap terhadap kebutuhan orang lain untuk menyelesaikan setiap agenda politiknya. Bukankah kekuasaan itu pada intinya adalah kemampuan menyelesaikan masalah?

Islam Menjamin Hak Politik Perempuan

Bagian ini perlu disinggung mengingat masih kuatnya anggapan di masyarakat bahwa Islam sebagai agama kelompok mayoritas di Indonesia, membatasi hak-hak politik perempuan. Akibatnya, atas nama Islam perempuan dipinggirkan dari dunia politik atau dibatasi akses dan kesempatannya meraih jabatan strategis dalam politik. Persoalan agama juga menjadi sangat penting dibahas karena justifikasi agama sering membuat politisi perempuan tidak berkutik.

Sebagai perempuan Muslim, penulis yakin sepenuhnya bahwa secara normatif Islam mengandung norma-norma ideal dan sangat luhur. Ajarannya mencakup semua tuntunan luhur bagi kehidupan manusia di muka bumi dalam semua bidang, tak terkecuali bidang politik. Tujuan Islam tidak lain agar manusia selamat dan bahagia dalam kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Islam menjanjikan harapan hidup lebih baik kepada semua manusia tanpa membedakan ras, suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, dan jender: laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, Islam paling vokal bicara soal keadilan dan persamaan antar manusia, termasuk di dalamnya persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Al-Qur`an, kitab suci umat Islam, sebagaimana halnya kitab-kitab suci agama lain, diturunkan dalam suatu lingkup masyarakat yang tidak hampa budaya. Karena itu, kitab suci memiliki dimensi kemanusiaan, di samping dimensi keilahian. Diyakini teks-teks Al-Qur`an sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan ideal. Dalam konteks relasi gender Al-Qur’an berisi seperangkat nilai yang memberikan landasan bagi kesetaraan dan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama. Perbedaan di antara manusia hanya terletak pada kualitas takwa, [10] dan soal takwa hanya Tuhan semata berhak menilai, bukan manusia.

Perlu diketahui bahwa ajaran Islam terpola kepada ajaran dasar dan non-dasar. Ajaran dasar ialah ajaran yang termaktub dalam Al-Qur`an dan Sunnah mutawatir yang diyakini datang dari Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, ajaran non-dasar ialah ajaran berupa hasil ijtihad manusia dalam bentuk tafsir atau interpretasi yang menjelaskan tentang ajaran dasar dan implementasinya dalam kehidupan nyata. Yang pertama bersifat absolut, abadi, dan tidak berubah. Sebaliknya ajaran kedua bersifat ijtihadi, relatif, tidak abadi dan bisa berubah seiring dengan tuntutan dinamika masyarakat, serta perkembangan sains dan teknologi.

Menariknya, sebagian besar ajaran Islam, khususnya ajaran tentang relasi gender, seperti perkawinan, pewarisan, busana perempuan, kepemimpinan perempuan justru masuk dalam kategori kedua, ajaran non-dasar, yakni lebih banyak bersifat ijtihadi.[11] Untuk itu, diperlukan pembacaan ulang dan upaya-upaya rekonstruksi atas hasil ijtihad atau penafsiran yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki. Penafsiran baru atas teks-teks keagamaan mendesak dilakukan untuk menemukan kembali pesan-pesan keislaman yang hakiki dan universal, seperti pesan persamaan, persaudaraan, kebebasan, kesetaraan dan keadilan, termasuk di dalamnya kesetaraan dan keadilan gender.

Secara normatif Al-Qur`an melukiskan figur ideal seorang perempuan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan, terutama kemandirian dalam bidang politik (al-istiqlal al-siyasah), seperti figur Ratu Bulqis. Al-Qur`an menyebutnya sebagai pemimpin kerajaan superpower ('arsyun 'azhim) atau dikenal dengan kerajaan Saba'.[12] Bahkan, Al-Qur'an menghimbau perempuan agar berani menyampaikan kebenaran,[13] sekalipun harus menentang pendapat publik (public opinion),[14] dan berani melakukan gerakan "oposisi" terhadap pemerintah yang tiranik. Perempuan harus mandiri dalam menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi) yang diyakini kebenarannya sekalipun berbeda dengan pandangan suami.[15] Ringkasnya, dalam jaminan Al-Qur'an, perempuan dapat dengan leluasa memasuki semua sektor kehidupan di masyarakat: politik, ekonomi, dan sektor publik lainnya tanpa pembatasan sedikit pun.

Sayangnya ajaran ideal dan luhur Al-Qur'an itu tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan umat Islam. Mengapa? Sebab, ketika ajaran yang suci itu turun ke bumi dan berinteraksi dengan beragam budaya manusia timbul distorsi, dan itulah yang terjadi dengan ajaran Islam soal relasi gender. Pemahaman distortif itu muncul karena beberapa faktor. Di antaranya karena pemaknaan ajaran agama yang sangat tekstual sehingga mengabaikan aspek kontekstualnya; karena perbedaan tingkat intelektualitas manusia; dan karena pengaruh latar belakang sosio-kultural dan sosio-historis manusia yang menafsirkannya.

Dalam konteks ajaran tentang posisi perempuan, disimpulkan paling tidak ada tiga faktor penyebab munculnya pemahaman keagamaan yang tidak ramah perempuan atau bias gender. Pertama, pada umumnya umat Islam lebih banyak memahami agama secara dogmatis, bukan berdasarkan penalaran kritis dan rasional, khususnya pengetahuan agama yang menjelaskan peranan dan kedudukan perempuan. Tidak heran jika muncul pemahaman agama yang ahistoris. Kedua, pada umumnya masyarakat Islam memperoleh pengetahuan keagamaan melalui ceramah verbal, bukan berdasarkan kajian mendalam dan pemahaman holistik yang langsung terhadap sumber-sumber aslinya (Al-Qur`an dan Sunnah). Ketiga, interpretasi agama tentang relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat lebih banyak mengacu kepada pemahaman tekstual terhadap teks-teks suci sehingga mengabaikan pemahaman kontekstual yang lebih mengedepankan prinsip egaliter dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Agama bukan hanya sekedar tumpukan teks, melainkan seperangkat pedoman ilahiah yang diturunkan demi kebahagiaan dan kemaslahatan semua manusia : perempuan dan laki-laki.

Sejarah Islam awal menunjukkan secara konkret betapa Rasul telah melakukan perubahan radikal terhadap posisi dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Arab jahiliyah abad ke-7 M. Rasul mengajarkan keharusan merayakan kelahiran bayi perempuan di tengah tradisi Arab yang memandang aib kelahiran bayi perempuan. Rasul memperkenalkan hak waris bagi perempuan di saat perempuan diperlakukan hanya sebagai obyek atau bagian dari komoditas yang diwariskan. Rasul menetapkan pemilikan mahar sebagai hak penuh perempuan dalam perkawinan pada saat masyarakat memandang kepemilikan mahar adalah hak monopoli orang tua atau wali perempuan. Rasul melakukan koreksi total terhadap praktek poligami yang biadab dan sudah mentradisi dengan mencontohkan perkawinan monogami bersama Khadijah, perempuan yang sangat dihormatinya.

Bahkan, sebagai ayah, Rasul melarang anak perempuannya, Fatimah dipoligami. Rasul memberi kesempatan kepada perempuan menjadi imam shalat di kala masyarakat memposisikan hanya laki-laki sebagai pemuka agama. Rasul mempromosikan posisi ibu yang sangat tinggi, bahkan derajatnya lebih tinggi tiga kali dari ayah di tengah masyarakat yang memandang ibu tak lebih sebagai mesin produksi. Rasul menempatkan isteri sebagai mitra sejajar suami di saat masyarakat memandangnya sebagai obyek seksual belaka.

Fakta historis tersebut melukiskan secara terang-benderang bahwa Rasul melakukan perubahan radikal, bahkan sangat radikal terhadap posisi dan kedudukan perempuan dalam masyarakat. Rasul mengubah posisi dan kedudukan perempuan dari obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek yang dihormati dan diindahkan. Mengubah posisi perempuan yang subordinat, marjinal dan inferior menjadi setara dan sederajat dengan laki-laki. Rasul memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh (pengelola kehidupan di bumi), dan juga sama-sama berpotensi menjadi fasad fi al-ardh (perusak di muka bumi). Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada perbedaan sedikit pun. Tugas manusia hanyalah ber- fastabiqul khairat (berlomba-lomba berbuat terbaik) membangun masyarakat yang adil dan sejahtera demi mengharapkan ridha Allah swt.

Penutup

Perjuangan perempuan Indonesia menuju demokrasi masih sangat panjang. Salah satu strategi yang harus dikembangkan adalah melakukan pendidikan politik bagi pemilih perempuan. Pendidikan politik dimaksud diharapkan dapat mengubah image masyarakat tentang politik yang selama ini diasumsikan sebagai hak monopoli kaum lelaki. Selain itu, penting untuk dapat menyadarkan masyarakat, khususnya kaum perempuan bahwa hak politik adalah bagian integral dari HAM. Sebagai warga negara dan sebagai manusia, setiap perempuan memiliki hak untuk berkiprah dalam bidang politik.

Di samping itu, melalui pendidikan pemilih diharapkan terbangun kesadaran untuk membangun sistem politik berbasis pengalaman perempuan. Sistem yang tidak lagi mengutamakan pendekatan maskulin yang seringkali absolut dan diskriminatif terhadap perempuan. Politik Indonesia ke depan sudah selayaknya mempertimbangkan pendekatan feminin yang lembut dan mengasihi sesama. Politik yang bertujuan sebagai sarana memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat luas, serta mencita-citakan perdamaian bagi semua kelompok dalam masyarakat. Untuk itu, sejumlah rekomendasi perlu dicatat.

Pertama, menggalang networking antar-kelompok perempuan dari berbagai elemen. Perjuangan menuju sukses selalu membutuhkan strategi yang jitu dan solidaritas yang kuat. Networking ini diperlukan terutama dalam upaya membangun struktur politik yang ramah perempuan melalui upaya-upaya revisi semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan politik yang diskriminatif dan tidak memihak perempuan. Networking ini juga diperlukan dalam mewujudkan komitmen partai yang sensitif gender, serta advokasi jaminan hukum partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik.

Kedua, kelompok perempuan harus berani mendorong dan melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya, khususnya mengubah budaya patriarki yang sangat kental di masyarakat menjadi budaya yang mengapresiasi prinsip kesetaraan dan keadilan gender dalam seluruh aspek kehidupan. Melalui upaya rekonstruksi budaya ini diharapkan di masa depan tidak ada lagi image buruk terhadap dunia politik; tidak ada lagi pemilahan bidang kerja: publik dan privat, berdasarkan jenis kelamin; dan tidak ada lagi stereotip terhadap perempuan yang memilih aktif di dunia politik.

Ketiga, kelompok perempuan harus berani mendorong dan melakukan upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama sehingga terwujud penafsiran agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, penafsiran agama yang ramah terhadap perempuan dan yang pasti penafsiran agama yang rahmatan lil alamin, ajaran yang menebar rahmat bagi seluruh makhluk tanpa pengecualian.

Keempat, secara internal perempuan itu sendiri harus selalu berupaya meningkatkan kapasitas dan kualitas diri mereka melalui pendidikan dalam arti yang luas. Selain itu, perempuan harus tulus mengapresiasi prestasi dan karya sesama perempuan, serta tulus mewujudkan sikap saling mendukung di antara mereka. Harus ada upaya bersama secara sinergis meningkatkan kualitas diri perempuan dalam bidang politik.

Last but not least, dalam peningkatan kapasitas ini, perempuan jangan melupakan peningkatan kemampuan spiritualitas mereka. Diharapkan dengan kekuatan spiritualitas itu para politisi perempuan dapat menghindari permainan politik yang tidak etis, kotor, culas dan keji, tidak manusiawi, serta merugikan masyarakat luas. Women can make a difference!

Wallahu a’lam bi al-shawab.



[1] Kompas tanggal 9 Februari 2009.

[2] Pradjarta Dirdjosanjata dan Nico L Kana (Ed.), Demokrasi dan Potret Lokal Pemilu 2004, Percik, Salatiga, 2006, h. 22.

[3] Sudah menjadi pemandangan umum dalam setiap kampanye partai, terutama partai berbasis agama, kaum perempuan dimobilisasi sedemikian rupa memenuhi arena kampanye. Sayangnya, jumlah mereka yang banyak itu tidak tercermin dalam keterwakilan di lembaga legislatif maupun eksekutif. Bahkan, tidak mempengaruhi kebijakan partai untuk menyuarakan kepentingan khusus mereka.

[4] Penjelasan lebih rinci soal ini dapat dilihat pada Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung, 2005.

[5] DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) merupakan pernyataan definitif yang pertama tentang 'hak asasi manusia' dan yang menyebutkan secara jelas hak-hak itu yang bersifat universal. Dokumen ini adalah kesepakatan internasional yang ditanda-tangani oleh para pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Walaupun demikian, kesepakatan tersebut tidak mengikat secara hukum (not legally binding) dan tidak menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan.

[6] Dalam hal ini Groome menyebutkan sejumlah dokumen historis, yaitu: (1) Magna Charta (1215); (2) Bill of Rights England (1689); (3) Rights of Man France (1789); (4) Bill of Rights USA (1791); (5) Rights of Russian People (1917); dan (6) International Bill of Rights (1966).

[7] Paragraf pertama DUHAM menyatakan: 'Menimbang bahwa penegakan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. Lihat Gunawan Sumodiningrat dan Ibnu Purna (ed), Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, Dep. Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2004, h. 9.

[8] Ulasan yang luas mengenai hal ini dapat dilihat pada Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, Gramedia, Jakarta, 2005.

[9]Sidney Verba, “Women in American Politics”, Bagian penutup dalam Women, Politics, and Change. Louise A. Tilly dan Patricia Gurin, Russel Sage Foundation, New York, 1990, h. 55-72.

[10]Q.S, al-Hujurat, 49:13

[11] Ijtihad adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami ajaran Islam, memahami hukum-hukum yang terkandung di balik teks-teks suci, baik dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi dengan menggunakan aturan-aturan yang telah disepakati ulama. Walaupun demikian, ijtihad atau hasil rekayasa cerdas para ulama dalam bentuk tafsir dan interpretasi tersebut tetap bernilai relatif, tidak mutlak. Karenanya, tetap terbuka ruang untuk perubahan, revisi dan reinterpretasi.

[12] Q.S. al-Mumtahanah, 60:12 dan al-Naml, 27:23.

[13] Q.S. .al-Taubah, 9:71.

[14] QS. al-Tahrim, 66:12

[15] Q.S. al-Tahrim, 66:11.

Tidak ada komentar: