9 Juli 2008

Mengenang Peristiwa Tragis 1 Juni 2008

MENGENANG PERISTIWA I JUNI 2008
PENODAAN TERHADAP PANCASILA

Siti Musdah Mulia

Semula tak terpikirkan untuk menulis kejadian tragis yang terjadi pada I Juni 2008. Namun, setiap hari sejak kejadian itu, selalu saja ada pertanyaan dari teman, kerabat dan juga wartawan tentang apakah saya hadir di Monas ketika kerusuhan terjadi, lalu apa yang saya alami di sana, dan bagaimana menyikapi persoalan itu; serta sejumlah pertanyaan lain, mulai dari pertanyaan bernada sinis, seperti “ngapain sih ikutan demo segala” sampai pertanyaan yang terlalu sofisticated untuk dijawab secara spontan.
Masih sangat segar dalam ingatan, Minggu tanggal 1 Juni 2008, hari pertama saya keluar rumah setelah hampir 12 hari terbaring sakit. Saya terserang demam berdarah yang konon katanya penyakit itu tidak lagi ditularkan oleh nyamuk seperti selama ini saya pahami, melainkan karena banyak faktor lain. Tepat jam 12.30 setelah salat Zuhur, saya meninggalkan rumah menuju Monas. Meski dalam kondisi fisik lemah tapi dengan semangat berkobar, saya dengan gembira siap bergabung dalam aksi damai. Aksi dikordinatori oleh AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkepercayaan). Aliansi ini merupakan gabungan dari sekitar 72 ormas dan LSM yang pro-demokrasi dan pro-pluralisme.
Karena sakit, saya tidak mengikuti rapat-rapat persiapan sehingga tidak tahu di mana persisnya tempat kumpul Aliansi di Monas. Saya merasakan ada sedikit feeling bahwa hari ini akan bersejarah dan mungkin itu sebabnya saya sebentar-sebentar melirik jarum jam. Suatu hal yang tidak biasa dalam keseharian saya. Monas cukup luas sehingga butuh petunjuk jelas dan rinci agar tidak nyasar. Saya hanya dapat info sekilas dari staf ICRP, tempat kumpulnya di Monas arah Gambir. Rencananya, di sini kami hanya akan kumpul untuk start, selanjutnya berjalan menuju bunderan H.I. Saya coba telpon Ilma -biasanya dia rajin menghubungi kalau ada acara- tapi, sia-sia. Telponnya bernada sibuk. Kali ini kok dia tidak telpon? Tanya saya dalam hati. Mungkin mengira saya masih sakit, jadi tidak akan hadir.
Setahu saya tujuan satu-satunya aksi damai ini adalah memperingati hari lahir Pancasila. Peringatan ini dilakukan demi memperkuat ikatan kebangsaan dan keindonesiaan yang semula dirajut oleh para the Founding Fathers kita dengan memilih Pancasila sebagai ideologi negara. Kalau dipikir secara mendalam, pilihan itu tentu tidak mudah, tetapi sangat bijaksana. Muncul pertanyaan mengapa tidak memilih ideologi Islam? Bukankah sebagian besar mereka adalah tokoh-tokoh Islam yang sangat dikenal? Jawabnya tegas, memilih agama sebagai ideologi negara akan sangat problematik. Bicara soal agama berarti bicara soal tafsir, dan bicara soal tafsir pasti sangat beragam, tidak pernah tunggal. Pertanyaannya lalu tafsir mana akan dipedomani pemerintah? Sungguh tidak mudah dan pasti sangat problematik. Saya memuji: betapa cerdas dan bijaknya para pendahulu bangsa ini memilih Pancasila.
Pukul 12.40 telpon genggam saya berdering, Masrucha tanya: “sudah sampai dimana?” Jalan Imam Bonjol jawab saya singkat. Lalu katanya: “Saya bingung nih, temen-temen pada berpencar di banyak tempat. Kami dari KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) lagi ngumpul di dekat tenda jualan makanan. Warna tendanya hijau-kuning.“ Ok, saya segera ke sana. Tidak lama berselang, telpon masuk dari Nia Dinata: “Mbak ada dimana? Kami dan orang-orang film ada di pintu dekat Gambir”. Saya jawab: gak lama lagi sampai. Saya bingung, kenapa mereka tidak berada pada satu tempat?
Pukul 12.50 mobil melintasi stasiun Gambir, saya heran pintu sebelah sini tertutup. Saya memperhatikan sejak stasiun Gambir, ada banyak orang berbaju kaos dengan logo PDIP. Rupanya partai PDIP juga memperingati hari Pancasila. Orang-orang PDIP beranjak pulang, mereka di Monas sejak pukul 8 pagi. Saya juga melihat deretan bus pariwisata dengan spanduk PDIP diparkir di luar pagar Monas. Kesan saya, betapa ramainya Monas hari itu.
Pukul 12.55 mobil memasuki taman Monas dari arah pintu Merdeka Barat. Saya minta sopir berhenti di dekat pintu masuk. “Ibu kan baru sembuh, jangan jalan jauh-jauh dulu, biar kita masuk ke dalam aja. Itu beberapa mobil juga berseliweran di dalam, kata sopir.“ Saya belum sempat jawab karena pandangan langsung tertuju ke sekelompok orang berbaris, umumnya berjubah putih dilengkapi penutup kepala dengan membawa bendera HTI dan FPI. Mendadak terasa jantung berdegup kencang. Terus terang saya heran kenapa merasa tidak nyaman? Bukankah saya telah melewati kelompok PDIP yang secara kuantitas jumlahnya jauh lebih banyak? Mengapa tadi saya tidak merasakan hal yang sama? Mestinya, saya harus merasa lebih nyaman berada dekat dengan para pembela Islam. Pastilah mereka itu berakhlak mulia, sopan santun, dan menghindari perilaku kekerasan. Secara logika sehat, dibandingkan dengan kelompok yang tidak menggunakan simbol agama, tentu berada dekat kelompok bersimbol agama membuat diri lebih tenteram dan damai. Apa yang salah dengan perasaan saya?
Sopir tidak menyelami perasaan saya dan terus mengemudikan mobil masuk ke Monas, bahkan hampir menyerempet barisan HTI dan FPI. Dan itu membuat saya semakin nervous. “Aduhh, jangan cari masalah, kalau kamu nabrak bakal susah kita.” “Bukan saya yang salah bu, kilah sopir. Mereka mestinya tahu aturan, ini jalan umum, boleh demo tapi jangan memonopoli jalan.” Saya potong ucapannya: Sudah lah, lebih hati-hati.” Telpon berdering: “Mbak Musdah di mana? Terdengar suara Masrucha. Sudah di dalam Monas, dekat deretan bendera warna merah, di mana sih kumpulnya? kata saya. “Kita terpencar-pencar, tunggu aja di situ, saya minta anggota KPI menjemput mbak. Lima menit menunggu, saya lalu berjalan menuju tenda jualan makanan dan berada sekitar 20 meter dari barisan HTI dan FPI. Saya melihat mereka sedang menyimak instruksi dari komandannya, tidak terdengar apa yang dibicarakan, hanya terlihat anggotanya menganggguk-angguk, tanda setuju. Saya kaget ada orang menyapa; dan mengenali dia dari Aliansi, hanya lupa namanya. Dia menyarankan, jangan dekat barisan FPI. Saya kembali ke mobil menunggu. Kenapa orang KPI yang mau jemput belum nongol juga. Saya telpon Masrucha; “saya menuju ke sana aja ya.“
Muncul begitu saja ide untuk berkeliling Monas melihat situasi sambil mencari di mana teman-teman Aliansi berfokus. Mobil berjalan pelan mengelilingi tugu Monas, saya melihat banyak sekali orang di sekeliling tugu, ada yang berjualan, ada yang rekreasi dengan keluarga, ada juga beberapa ormas berkumpul di sana. Dari kejauhan saya melihat teman-teman Aliansi dan mobil pengangkut peralatan sound system dan logistik panitia. Setelah mengitari tugu dan tiba di dekat mobil toilet, saya minta sopir berhenti karena melihat pemandangan aneh: saya melihat orang-orang berlarian menuju arah yang berbeda-beda; ada yang berlari menuju tugu, ada juga menuju pintu keluar, ada pula lari ke tengah. Ada apa? Kenapa mereka berlarian? Telpon berdering: “Mbak, situasi kacau-balau, kita diserang FPI” terdengar suara Masrucha berat. Telpon berdering lagi; suara Nia Dinata: ”Mbak kita diserang, dan ada instruksi segera menuju ke Galeri Nasional, seberang Gambir. Monas sudah tidak aman.“
Dengan perasaan bingung saya coba menghubungi Anick, koordinator AKKBB. Telponnya tidak diangkat, demikian pula Guntur. Saya mencoba menelpon beberapa nama lagi, semua tidak nyambung. Telpon masuk: “mbak segera keluar Monas kita ketemu di Galeri Nasional“. Mobil berjalan perlahan ke pintu arah Gambir, saya melihat Ilma, Ais dan beberapa anggota Aliansi. Saya turun dan bertemu rombongan Mas Gun (Goenawan Mohammad) Amanda, Syafii Anwar, dan sejumlah aktivis perempuan. Melihat saya naik mobil, Mas Gun bilang: “berani banget Musdah naik mobil, andai FPI tahu Musdah berada di dalam mobil ini, pasti tadi sudah dibakar mereka.“ Ya, alhamdulillah, mereka tidak tahu. Karena mobil Vios kecil, hanya tiga orang yang dapat ikut di mobil: Ais, Amanda dan Pak Syafii Anwar. Kami menuju Galeri Nasional. Sebenarnya, jalan kaki lebih dekat karena tinggal nyeberang, kalau naik mobil malah jadi jauh, harus mutar ke Istiqlal dulu.
Di dalam mobil, sambil memegang kepala dan tengkuknya yang nyeri, Syafii Anwar menceritakan bagaimana dia dipukul orang-orang FPI. “Saya mencoba menolong ibu-ibu dari kebrutalan mereka, malah saya kena pentungan“ Saya memperhatikan wajah Pak Syafii: dia masih bisa tersenyum, begitu datar dia bercerita, tanpa ada marah dan benci. “orang-orang itu tega benar lho, masak kita baru akan mulai orasi singkat sebagai pendahuluan menuju bunderan H.I tiba-tiba kita diserang dengan pentungan dan hantaman batu“ katanya.
Sampai di Galeri, saya bertemu Masrucha, Nia, Mas Gun, Imdad, Jajang, Nong, Shunniya dan beberapa aktivis lain. Teman-teman lain sedang menuju kemari, kata Masrucha. Saya melihat Imdad tidak henti-hentinya menyeka darah yang terus mengucur dari bagian belakang kepalanya. Lalu saya berembuk dengan Amanda sebaiknya Imdad segera dibawa ke RS terdekat, yakni R.S. Abdi Waluyo. Saya menawarkan sopir dan mobil untuk mengantar dan Amanda setuju menemani. Saya tidak bisa ikut karena harus Konferensi Pers. Bagi-bagi tugas lah. Saya juga menawarkan kepada Pak Syafii agar ikut di mobil. Dia menolak karena merasa masih bisa ditahan sakitnya.
Pukul 15.20 sejumlah besar perwakilan Aliansi sudah memenuhi lapangan Galeri. Saya mendapat kabar bahwa pihak Galeri keberatan dengan kehadiran kami yang semakin banyak dan tentu tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Ini darurat. Keberatan mereka, baik karena alasan kebersihan maupun keamanan sangat wajar. Untung lah Mas Gun mampu meyakinkan pihak keamanan Galeri dan menjamin bahwa tidak akan terjadi masalah.
Saya sedih melihat Suaedy, direktur Wahid Institut, dagunya sobek dan berdarah karena hantaman orang FPI. Saya juga sedih mendengar Guntur cedera dan luka parah, Kyai Maman, dan sejumlah tokoh Aliansi lainnya mengalami luka dan cedera. Saya hanya bisa berdoa ketika itu, semoga mereka diberi ketabahan dan kesembuhan dari semua luka yang diderita akibat penyerangan brutal FPI. Semoga Allah memberikan inayah-Nya kepada para korban dan keluarga mereka. Dari hati terdalam saya juga berdoa untuk FPI dan antek-anteknya. Mereka itu secara hakiki juga korban. Korban akibat hegemoni doktrin agama yang otoritarian. Agama yang mengajarkan kebencian kepada sesama, bukan cita kasih kepada sesama. Mereka juga perlu disembuhkan.
Pukul 15.56 Aliansi secara resmi membuat konferensi Pers dimulai dengan pernyataan Mas Gun. Lalu, saya mengusulkan agar yang berbicara kepada media diutamakan kepada korban sehingga dapat menceritakan hal-hal yang sebenarnya terjadi sekaligus sebagai testimoni korban. Saya mengamati para korban kebrutalan FPI menceriterakan kepada pers apa yang mereka alami dengan kesabaran dan kerendahan hati, tidak marah dan berteriak. Tutur pembicaraan mereka terkontrol, tidak memaki apalagi mengumpat FPI. Umumnya, mereka hanya menuntut pemerintah dan aparatnya, khususnya pihak kepolisisan agar mengutamakan sikap netral dan adil, serta lebih siap lagi mengurusi rakyatnya. Agar pemerintah kembali ke koridornya, yakni Pancasila dan Konstitusi UUD 1945. Melakukan pembelaan serius terhadap rakyat, terutama dari ancaman kelompok-kelompok yang selama ini sudah dikenal sebagai pelaku kekerasan dan selalu menggunakan kekerasan sebagai solusi.
Meskipun konferensi pers masih berlangsung, Anick membisikkan agar segera bubar karena pihak FPI sudah menghadang di dekat Galeri. Takutnya terjadi kebrutalan lagi. Ada rasa marah dan geram menyelinap: mengapa kita yang harus mengalah? Lalu, saya sadar bahwa menghindari bahaya jauh lebih baik daripada menerjangnya. Saya harus realistis bahwa banyak anggota Aliansi yang laki-laki membawa isteri dan anak-anak mereka. Yah, ini aksi damai sehingga tidak ada pikiran sedikit pun bahwa kita akan diserang. Apakah kita rela membiarkan mereka yang tidak bersalah itu jadi umpan keganasan FPI?
Masrucha mengajak untuk kumpul lagi di kantor PBNU menggelar Konferensi Pers serupa. Saya jawab; rasanya tenaga kita sudah terkuras habis. Kita pikirkan untuk hari berikutnya saja. Rasa putus asa yang hampir merasuki kami lalu pupus dengan kedatangan Nia dan rombongan. Dia bilang: “kami sempat membuat dokumentasi lengkap atas peristiwa tragis tadi.“ Tenang aja Mbak Musdah. Oh yaaa kami semua di sekitarnya menjerit gembira. Lalu, beberapa orang tidak sabaran segera melihat ke arah pembawa camera, di samping Nia. Selalu ada kegembiraan di balik kesedihan.
Menjelang pulang, saya baru sadar bahwa sopir masih menunggui Imdad di RS. Saya pulang dengan apa ya? Sementara saya agak ngeri melihat orang-orang FPI dengan motor mondar-mandir melintas di depan Galeri. Melihat saya sedang galau, bu Anis Rahmat menawarkan diri untuk mengantarkan ke rumah. Saya, bu Anis, bu Khadijah dan beberapa ibu-ibu lain lalu berjalan keluar dan menunggu di pinggir jalan; menunggu jemputan mobil yang antri karena macet. Karena orang-orang FPI masih mengamati dari seberang jalan raya di depan Galeri, ibu-ibu itu berbisik agar saya tidak berdiri menghadap ke jalan, melainkan menghadap ke dalam Galeri. Alasannya, saya ini sasaran paling dicari oleh mereka. Tidak berapa lama mobil Anis Rahmat muncul dan suaminya sendiri yang menyetir. Jam di tangan menunjukkan pukul 17.20. Perasaan saya jadi tenang, sudah aman. Dalam perjalanan pulang, kami lebih banyak terdiam dan larut dalam pikiran masing-masing. Saya hanya sempat menelpon sopir agar setelah mengantar Imdad dan Amanda langsung pulang saja. Saya tiba di rumah menjelang azan Magrib.
Setelah salat Magrib saya duduk termenung membayangkan kembali semua kejadian siang tadi. Berbagai gambar dan bayangan dalam benak saya muncul silih berganti. Apa sebenarnya yang terjadi?
Sejumlah studi menjelaskan bahwa corak keagamaan masyarakat dapat dipolakan ke dalam dua kategori: corak agama otoritarian dan agama humanistik. Unsur hakiki dari agama otoritarian adalah sikap penyerahan diri secara mutlak kepada Tuhan. Ketaatan menjadi kekuatan utama, dan sebaliknya, ketidaktaatan dianggap dosa paling besar. Dengan latar belakang Tuhan yang menakjubkan sebagaimana diimani oleh agama otoritarian, manusia dipandang tak berdaya, tak berarti dan serba-dependen. Sikap submisif kepada otoritas ini dianggap sebagai suatu jalan lurus bagi manusia untuk melepaskan dirinya dari keterasingan, ketersendiriaan dan keterbatasan dirinya. Dalam proses submisi ini, manusia menanggalkan kebebasan dan integritas diri sebagai individu dengan janji memperoleh pahala berupa keselamatan dan kedekatan dengan Tuhan. Ironisnya, ketaatan kepada Tuhan dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk ketaatan kepada pimpinan organisasi keagamaan. Jadi, sesungguhnya mereka taat kepada manusia yang mengklaim diri sebagai wakil Tuhan, bukan pada Tuhan yang sesungguhnya. Tidak heran, jika pengikutnya sangat tergantung pada pemimpin dan sangat loyal pada organisasinya. Agama otoritarian selalu melahirkan bentuk kultus, radikalisme, dan fundamentalisme.
Berbeda dengan model otoritarian, agama humanistik, memandang manusia dengan pandangan positif dan optimis, serta menjadikan manusia sebagai makhluk yang penting dan memiliki pilihan bebas. Dengan kemauan bebasnya, manusia dapat memilih agama yang diyakini benar. Manusia harus mengembangkan daya nalarnya agar mampu memahami diri sendiri, relasi dengan sesama manusia, serta posisinya di alam semesta. Ia harus mengenal kenyataan kebenaran yang menyangkut keterbatasan, namun sekaligus juga kekuatannya. Menurut agama humanistik keyakinan hendaknya didasarkan pada nalar kritis dan akal budi manusia, bukan dengan bertaqlid buta kepada otoritas agama. Apa pun itu.
Selain itu, suasana keagamaan humanistis adalah gembira. Sebaliknya, bagi kelompok otoritarian penuh diliputi rasa takut, tertekan, dan rasa bersalah. Dengan demikian sikap keagamaan humanistis adalah membebaskan manusia agar menjadi diri sendiri dan hal itu merupakan tuntutan agama dalam arti sebenarnya.
Dalam prakteknya, boleh jadi agama otoritarian dan agama humanistik sama-sama bisa memobilisasi massa, tapi pertanyaannya, dari mana daya gerak itu datang. Dari perintah komandan dan tekanan kelompok ataukah dari kesadaran individu sendiri. Dan karena agama otoritarian tak pernah sepenuhnya membebaskan para pengikutnya, maka perubahan atau sistem sosial-politik apapun yang dihasilkannya tak pernah bebas dan demokratis. Akibatnya, pemimpin bisa berlaku sewenang-wenang dan pengikut mampu melakukan kekerasan dan kekejaman. Mengerikan!.
Jika gerakan keagamaan itu berbasis agama humanistik dan bersifat instrinsik, tentu akan melahirkan program yang humanis, aktif membangun damai dan mengusung prinsip egalitarian, demokrasi dan pluralisme. Sebaliknya, jika berbasis agama otoritarian dan bersifat ekstrinsik tentu program gerakan politik mereka adalah menghancurkan segala sesuatu yang menurut mereka, tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, dan ini akan berujung kepada kekerasan. Ironisnya kekerasan itu dilakukan atas nama submission kepada Tuhan dan atas perintah agama. Ini mengerikan. Agama otoritarian yang berciri ekstrinsik mengusung gagasan anti-pluralisme, anti demokrasi, dan anti hak asasi manusia.
Sepanjang sejarah umat manusia, agama memiliki dua wajah: kedamaian dan kekerasan. Di satu sisi, agama menjadi kontributor utama perang, pertumpahan darah, kebencian dan intoleransi. Tapi, di sisi lain, ia juga mengembangkan hukum dan gagasan yang telah menyediakan peradaban dengan komitmen kultural pada nilai-nilai kedamaian yang agung. Yang disebut terakhir, meliputi empati, keterbukaan dan kecintaan, pemihakan pada kaum tertindas, artikulasi hak-hak asasi manusia, pemaafan dan pengampunan, rekonsiliasi, dan keadilan sosial.
Penelusuran geneologi kekerasan bernuansa agama selalu berujung pada pemahaman eksklusif tentang konsep-konsep tersebut, misalnya konsep jihad atau obsesi mendirikan negara Islam. Terdapat kesan kuat, bahwa mereka memahami konstruk-konstruk budaya tersebut sebagai ajaran agama yang harus diperjuangkan. Padahal, konstruk semacam itu lahir dari problem dan kebutuhan zamannya, sehingga dirasakan tidak lagi relevan untuk diterapkan sekarang. Batasan sektarianisme dalam bentuk apa pun tidak akan pernah bisa ditransendenkan, dan malah dapat menjerumuskan agama sebagai penghalang bagi pengembangan identitas nasional.
Yang perlu dilakukan sekarang adalah upaya terencana untuk menggiring inklusivisme agama ke arah realitas pengalaman baru yang menempatkan agama sebagai kekuatan moral membendung kekerasan dan terorisme. Hal itu bisa dimulai dengan membuka wacana keberagamaan yang memberi ruang kebebasan individu untuk memilih dan mengembangkan keyakinan pribadinya. Langkah selanjutnya adalah mendorong penerimaan atas keragaman organisasi keagamaan yang berfungsi sebagai unit yang kompetitif. Jika ini pun sudah cukup kokoh, maka kerjasama antarkelompok agama, dan bahkan antaragama menjadi sesuatu yang niscaya. Otoritas-otoritas kemasyarakatan dapat diharapkan berkolaborasi untuk secara bersama-sama menyelesaikan isu-isu mendesak, seperti kebodohan, kemiskinan, kekerasan domestik, ketidakadilah jender, penindasan kaum minoritas atau kerusakan lingkungan dan kultural.
Dengan demikian, diharapkan lahir model keberagamaan yang humanistik, instrinksik, inklusif dan terbuka, menjamin kebebasan agama dan meminimalisir intervensi negara. Karena itu, perlu membangun kesadaran dan kepekaan terhadap kemajemukan serta keragaman. Dalam konteks ini, ketentuan perundangan yang dimiliki negara harus bertolak dan mempertimbangkan kemajemukan itu. Publikasi, film, televisi, dan bebagai media komunikasi sepatutnya tidak mengekspose hal-hal yang bersifat anti pluralisme, anti demokrasi dan anti kemanusiaan. Sikap respek terhadap agama-agama harus menjadi bagian kurikulum pendidikan di pelbagai jenjang: mulai tingkat dasar sampai perguruan tingi; baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Semoga!!!

Jakarta, 12 Juni 2008

Metodologi Pembarua Hukum Islam

METODOLOGI PEMBARUAN HUKUM ISLAM[1]

Siti Musdah Mulia[2]



I. Islam Sebagai Respon Sosial
Islam yang pertama kali diperkenalkan pada abad ke-7 Masehi di suatu komunitas pedagang Arab di wilayah Mekkah adalah dimaksudkan sebagai respon terhadap situasi sosial yang dihadapi masyarakat waktu itu. Problem sosial yang paling krusial dari masyarakat Arab ketika itu menyangkut isu politeisme dan ketimpangan sosio-ekonomi yang kronis.
Islam hadir menawarkan solusi dalam bentuk ajaran monoteisme mutlak (tauhid) dan ajaran keadilan, terutama keadilan ekonomi. Ajaran monoteisme membawa kepada persatuan dan persamaan manusia. Semua manusia adalah bersumber dari Sang Pencipta yang sama dan karena itu semua manusia pada hakikatnya bersaudara. Semua bentuk perbedaan yang ada dalam diri manusia, seperti warna kulit, ras, bahasa, jenis kelamin, gender, dan bahkan agama dikehendaki agar mereka bisa saling mengenal satu sama lain dan saling berinteraksi membangun masyarakat baru yang disebut sebagai "baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur". Pandangan monoteisme pada gilirannya membawa kepada paham humanisme, pluralisme dan egalitarianisme yang merupakan sendi utama bangunan demokrasi di abad modern.
Ajaran keadilan mengajarkan bahwa hanya Tuhan Yang Maha memiliki. Segala kekayaan yang ada di alam semesta: di daratan, langit, dan lautan hanya kepunyaan Allah semata. Manusia hanya diberi izin mengelola dan mengambil manfaat untuk sebesar-besar kepentingan dan kemashlahatan manusia. Karena itu, Islam tidak mengizinkan perilaku diskriminasi dan eksploitasi dalam bentuk apapun dan untuk tujuan apa pun.
Prinsip keadilan ekonomi yang diperkenalkan Islam di masa awal itu bertujuan mengeliminasi praktek riba dan berbagai bentuk perdagangan eksploitatif lainnya yang sudah membudaya dan bahkan dianggap sebagai kewajaran di kalangan para pedagang Mekkah. Sebagai gantinya, Islam menawarkan zakat, sedekah dan infaq yang dijanjikan sebagai "memberi hutang kepada Tuhan" dan akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda di kemudian hari.
Keadilan ekonomi menghendaki adanya keadilan sosial. Keadilan sosial harus ditegakkan melalui hubungan kemasyarakatan yang damai dan harmonis. Hak-hak kelompok rentan diakui. Hak-hak para budak, kaum perempuan, anak-anak yatim, para musafir, tawanan perang, dan kelompok miskin lebih diutamakan. Bangunan masyarakat didirikan di atas fondasi persaudaraan (al-ukhuwah), persamaan (al-musawah), dan kebebasan (al-hurriyah).
Sebelum itu, unit terkecil dari masyarakat, yakni keluarga harus dibenahi terlebih dahulu. Masalah keluarga menempati tempat yang utama dalam ajaran Islam. Tidak ada ajaran dalam hukum Islam yang demikian rincinya seperti hukum keluarga. Islam menghendaki agar hubungan keluarga didasarkan kepada rasa "saling mencintai dan mengasihi", itulah sebabnya mengapa suami-isteri satu sama lain disebut sebagai "pakaian bagi pasangannya." Suami dilarang mengambil kembali semua pemberiannya terhadap isteri jika terjadi perceraian, meskipun pemberian itu berupa setumpukan emas". Tidak ada unsur superioritas dan inferioritas dalam hubungan suami-isteri, demikian juga tidak ada unsur dominasi di dalamnya. Sebab, semua bentuk dominasi selalu berujung pada pengabaian dan pengingkaran hak-hak asasi manusia. Dan ini jelas berlawanan dengan prinsip dasar Islam.

II. Pentingnya Manusia Dalam Ajaran Islam
Islam diajarkan sebagai agama yang menjanjikan harapan hidup yang lebih baik: menjanjikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi manusia, baik di dunia ini maupun di akhirat kelak. Karena itu, manusia memiliki tempat yang sangat sentral dalam ajaran Islam, sebagai khalifah fi al-ardh. Islam memandang manusia secara optimis dan positif, yakni sebagai makhluk yang paling mulia dan bermartabat (Q.S, al-Baqarah, 2:30 dan al-Isra`, 17:70). Konsep ini sangat penting, terutama dalam kaitan dengan pemahaman terhadap teks-teks suci keagamaan. Bahwa manusia dengan seluruh pengalamannya merupakan dasar yang amat penting dalam memahami teks-teks keagamaan. Bahwa kemaslahatan dan kebahagiaan manusia harus menjadi pertimbangan utama dalam menafsirkan teks-teks tersebut.
Berbeda dengan makhluk lainnya, manusia memiliki posisi yang sangat spesifik di mata Tuhan. Manusia adalah khalifah (wakil) Tuhan (QS. al-Baqarah, 2:30). Tugas manusia adalah untuk menterjemahkan karya kreatif Tuhan di alam semesta. Karena itu, keunikan manusia adalah bahwa ia mewakili Tuhan di atas bumi ini. Suatu posisi yang teramat tinggi yang bahkan belum pernah diberikan kepada makhluk lainnya, termasuk malaikat sekali pun.
Pertanyaannya, mengapa harus manusia? dimana letak keunggulannya? Ali Syariati dalam bukunya Islam dan Manusia, menjelaskan keunggulan manusia terletak pada akal dan pengetahuannya. Setelah Allah menciptakan Adam, Dia mengajarkan padanya tentang nama-nama yang faktanya mengacu pada berbagai fakta ilmiah, dan inilah kemudian yang dianggap sebagai prototype dari ilmu pengetahuan yang tidak diajarkan kepada para malaikat, kendati mereka diciptakan dari cahaya, unsur yang dinilai lebih mulia daripada tanah, asal kejadian manusia. Dari sini kemudian Ali Syariati menyimpulkan bahwa kemuliaan seorang manusia bukan terletak pada superioritas rasialnya, melainkan pada pengetahuan dan kecerdasannya.
Keunggulan manusia lainnya, menurut Ali Syariati adalah karena ia terpilih menjadi kepercayaannya (QS. al-Ahzab, 72). Allah telah menawarkan amanah kepada makhluk lainnya, kepada langit, gunung, dan bumi, tetapi mereka menolaknya. Hanya manusia yang menyangggupi amanah itu. Amanah ini dapat ditafsirkan sebagai kehendak dan kemampuan untuk memilih. Kehendak dan kemampuan memilih hanya dimiliki oleh manusia, tidak dimiliki oleh makhluk lainnya dan itu menunjukkan betapa manusia memiliki kebebasan penuh bagi dirinya. Kebebasan akhirnya merupakan hak asasi tertinggi manusia.
Kebebasan yang dimiliki manusia bukan tanpa konsekuensi, melainkan membuat manusia menjadi makhluk yang bertanggungjawab. Islam memandang manusia sebagai satu-satunya makhluk yang bertanggungjawab, bukan saja atas nasibnya sendiri, melainkan juga bertanggungjawab untuk membantu menyukseskan tujuan Tuhan di muka bumi (QS, al-Baqarah, 2:14). Dalam rangka mengemban tugas suci itulah manusia diberi kebebasan penuh, termasuk kebebasan berpikir. Akan tetapi, kebebasan manusia itu bukan tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggungjawab.
Kebebasan, termasuk kebebasan berpikir harus diletakkan dalam kerangka tanggungjawab manusia sebagai makhluk di hadapan Tuhan, sang pencipta. Konsep kebebasan manusia yang dilepaskan dari tanggungjawab hanya akan melahirkan dampak negatif bagi kehidupan dan bertentangan secara diametral dengan tujuan kebebasan itu sendiri. Sebab, tanpa adanya suatu tanggungjawab, tindakan manusia hanya akan melahirkan kezaliman, kebobrokan, dan berbagai bentuk kegiatan destruktif lainnya. Dan ini tentu amat berbahaya, khususnya bagi umat manusia itu sendiri.

III. Metodologi Pembaruan Hukum
Umat Islam hampir sepakat bahwa ijtihad dalam arti pembaruan hukum Islam adalah suatu kebutuhan dasar, bukan hanya setelah Rasul tiada, bahkan ketika masih hidup. Sebab, Al-Qur’an dan Hadis meski mempunyai aturan yang bersifat hukum, namun jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan begitu banyaknya persoalan sosial manusia yang memerlukan ketentuan hukum.[3]
Hadis Muaz ibn Jabal mengindikasikan kebutuhan itu dengan sangat jelas. Hadis lain yang sering dijadikan acuan mengenai pentingnya pembaruan ini adalah: "innallaha yab`atsu ala kulli ra`tsi miati tsanah man yujaddidu laha dinaha" (Sesungguhnya Allah akan mengutus setiap seratus tahun seorang pembaru yang akan memperbarui agamanya). Pertanyaan muncul apa saja dari hukum Islam yang boleh diperbarui dan bagaimana cara memperbaruinya?

a. Mengacu Kepada Konsep Maqashid al-Syari`ah
Pembaruan hukum Islam tetap mengacu kepada sumber-sumber hukum Islam yang utama, yakni Al-Qur`an dan Sunnah. Hanya saja pemahaman terhadap kedua sumber tadi tidak semata didasarkan kepada pemaknaan literal teks, melainkan lebih banyak kepada pemaknaan non-literal atau kontekstual teks. Pemaknaan non-literal terhadap teks-teks suci agama dalam Al-Qur`an dan Sunnah mengacu kepada tujuan-tujuan hakiki syariat atau yang lazim disebut dengan maqashid al-syari`ah.[4] Tujuan syariat secara jelas terimplementasi dalam nilai-nilai keadilan (al-`adl), kemashlahatan (al-mashlahah), kebijaksanaan (al-hikmah), kesetaraan (al-musawah), kasih sayang (al-rahmah), pluralisme (al-ta`addudiyah), dan hak asasi manusia (HAM) (al-huquq al-insaniyah).
Imam Al-Ghazali merumuskan nilai-nilai yang terkandung pada maqashid al-syari`ah tersebut ke dalam lima prinsip dasar yang disebutnya al-huquq al-khamsah, yaitu memelihara -dalam arti seluas-luasnya- agama, diri, akal, keturunan, dan harta benda manusia menuju kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin, baik di dunia dan di akhirat. Fiqh yang kita kenal sekarang merupakan rekayasa cerdas pemikiran ulama abad pertengahan yang isinya mencakup empat komponen dasar, yaitu masalah ubudiyah (membahas hubungan transendental manusia dengan Tuhan), muamalah (membahas hubungan manusia dengan sesamanya, makhluk lain dan alam semesta), munakahah (membahas hubungan manusia dengan manusia dalam kehidupan keluarga), dan jinayah (membahas berbagai masalah pidana). Seluruh komponen tersebut merupakan teknis operasional dari lima prinsip dasar (al-Huquq al-Khamsah) yang dirumuskan Al-Ghazali.

b. Meyakini Relativitas Fiqh
Fiqih adalah formulasi pemahaman Islam yang digali dari Al-Qur’an dan Sunnah, karena itu tentu saja sifatnya tidak absolut dan tidak pasti (tidak qath’i). Sebagai hasil rekayasa cerdas pemikiran manusia, tidak ada jaminan bahwa pandangan itu tidak mengandung kesalahan atau kekeliruan di dalam dirinya. Suatu hasil ijtihad biasanya selalu dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-kultural dan sosio-historis masyara-kat di sekitarnya atau pada masa kehidupan para ulama tersebut. Oleh karena itu, suatu hasil ijtihad tidak mungkin berlaku abadi untuk semua manusia sepanjang masa. Boleh jadi hasil ijtihad tersebut cocok untuk kurun waktu tertentu, namun belum tentu cocok untuk kurun waktu yang lain. Boleh jadi suatu ijtihad cocok untuk suatu masyarakat tertentu, namun belum pasti untuk masyarakat lainnya yang memiliki budaya dan kebutuhan yang berbeda. Artinya, kita dapat menerima suatu hasil ijtihad, tetapi penerimaan itu tidak harus menghalangi kita bersikap kritis, atau mencegah kita menerima hasil ijtihad lain yang berbeda tetapi justru sangat sesuai dengan kemaslahatan kita.
Konsep al-Huquq al-Khamsah ini selanjutnya membawa kepada pentingnya melihat manusia sebagai sasaran sekaligus subyek hukum dalam syariat Islam. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, ahli fikih dari Mazhab Hanbali, merumuskan sebagai berikut: Syariat Islam sesungguhnya dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal, seperti kemashlahatan, keadilan, kerahmatan, kebijaksanaan. Prinsip-prinsip inilah yang harus menjadi acuan dalam pembuatan hukum dan juga harus menjadi inspirasi bagi setiap pembuat hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam itu sendiri.[5] Pernyataan yang tidak kurang tegasnya dilontarkan oleh Ibnu Rusyd: bahwa kemashlahatan itu merupakan akar dari berbagai syariat yang ditetapkan Tuhan.[6] Bahkan, Izzuddin ibn Abdissalam sampai kepada kesimpulan bahwa seluruh ketentuan agama diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi kemaslahatan manusia.[7]
Berangkat dari teori Maqashid al-Syari`ah ini, Ibnu Muqaffa` mengklasifikasikan ayat-ayat Al-Qur`an ke dalam dua kategori: ayat ushuliyah yang bersifat universal karena menerangkan nilai-nilai utama dalam Islam dan ayat furu`iyah yang bersifat partikular karena menjelaskan hal-hal yang spesifik. Contoh kategori pertama adalah ayat-ayat yang berbicara soal keadilan, sedangkan kategori kedua adalah ayat-ayat yang mengulas soal uqubat (bentuk-bentuk hukuman), dan hudud (bentuk-bentuk sanksi), serta ayat-ayat yang berisi ketentuan perkawinan, waris, dan transaksi sosial. Sayangnya umat Islam lebih banyak terjebak pada ayat-ayat partikular, dan mengabaikan ayat-ayat universal.

c. Menggunakan Tafsir Tematik
Ajaran Islam dalam bentuk prinsip-prinsip dasar termaktub secara jelas dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Ajarannya bersifat universal tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman utama umat Islam diturunkan dalam suatu lingkup masyarakat yang tidak hampa budaya. Karena itu, keduanya memiliki dimensi kemanusiaan di samping dimensi keilahian. Diyakini teks-teks keagamaan dalam wujud Al-Qur’an dan Sunnah sarat dengan muatan nilai-nilai luhur dan ideal, hanya saja ketika nilai-nilai itu berinteraksi dengan beragam budaya manusia tidak mustahil jika dalam pemahaman atau penafsiran dan terlebih lagi dalam implementasinya timbul sejumlah distorsi. Pemahaman yang distortif itu muncul, antara lain karena perbedaan tingkat intelektualitas dan pengaruh latar belakang sosio-kultural dan sosio-historis manusia yang menafsirkannya. Di samping itu, teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah itu sendiri mengandung makna-makna literal dan simbolis. Kosa kata bahasa Arab dikenal sangat kaya makna sehingga satu kata dapat memiliki sejumlah makna yang berbeda tergantung konteksnya.
Beragamnya penafsiran dalam memahami teks-teks keagamaan merupakan keniscayaan, dan itulah agaknya yang dimaksud dengan hadis Nabi saw. yang menyatakan: “Ikhtilaf ummati rahmah” (Perbedaan pendapat di antara ummatku sesungguhnya merupakan rahmat). Untuk itu, dibutuhkan kearifan, ketelitian, dan sikap demokratis dalam membaca teks-teks keagamaan, termasuk yang berbicara tentang pernikahan antaragama. Dengan kata lain, penafsiran baru atas teks-teks agama mendesak dilakukan untuk menemukan kembali pesan-pesan moral keagamaan yang universal, seperti nilai-nilai keadilan, kebebasan, persamaan, persaudaraan, dan perdamaian.
Belajar pada pengalaman mufassir perempuan bernama Aisyah binti Abdurrahman yang dalam sejumlah karyanya selalu menggunakan nama samaran Binti al-Syathi’. Ulama tafsir ini mengembangkan metode tematik (maudu‘ al-wahid) dalam melakukan penafsiran ulang. Minim dan kurangnya metode penafsiran induktif yang digunakan ulama klasik dan Abad Pertengahan mendorong perempuan kelahiran Mesir tahun 1913 ini untuk melakukan tafsir-ulang atas Al-Qur’an. Dengan penuh tanggung jawab dan kejujuran ilmiah, ia melancarkan kritik tajam terhadap metode penafsiran tradisional atau konvensional sebagaimana terbaca dalam bukunya Al-Qur’an wa Tafsir ‘Asr.
Menurutnya, paling tidak ditemukan lima kekurangan dalam model penafsiran konvensional. Pertama, penafsiran tersebut sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan sektarian (al-ta’milah al-‘ashabiyah). Kedua, produk pemahaman keagamaan yang dihasilkan oleh model penafsiran ini kelihatan mengada-ada. Ketiga, penafsirannya amat diwarnai oleh pandangan non-Islam, seperti pandangan “Isra’iliyat” atau bahan-bahan yang berasal dari tradisi Judeo-Kristiani kuno. Keempat, kemukjizatan Al-Qur’an (I’jaz) cenderung diabaikan dalam tafsir konvensional. Terakhir, keunikan dan kedahsyatan retorika Al-Qur’an luput dari pengamatan para mufasir tradisional.[8] Binti al-Syathi’ tidak cuma melancarkan kritik, melainkan juga menawarkan solusi penafsiran yang konkret yang disebut penafsiran silang atau the cross-referential method atau integralistic method. Dinamakan juga inductive method. Metode penafsiran ini dibangun berdasarkan teori yang meyakini bahwa seluruh isi Al-Qur’an merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak terpisah-pisahkan, satu bahagian dalam Al-Qur’an menjelaskan bahagian lainnya (Al-Qur’an yufassiru ba’duhu ba’dan). Prinsip-prinsip dasar dari teori penafsiran ini sesungguhnya sudah populer digunakan di masa sahabat dengan istilah tafsir bi al-ma`tsur.
Binti al-Syathi’ melalui teorinya itu ingin mengajak para mufassir untuk kembali memahami Al-Qur’an berdasarkan informasi yang terkandung di dalam diri Al-Qur’an itu sendiri, bukan berdasarkan pandangan atau ajaran dari luar Al-Qur’an. Karena itu, dalam tafsirnya ia menekankan pentingnya pemahaman terhadap kata, kalimat dan struktur bahasa Al-Qur’an. Secara lebih rinci ia menjelaskan metodenya itu ke dalam tiga pendekatan. Pertama, ia menekankan pentingnya memahami arti bahasa kata-kata Al-Qur’an (lexical meaning of any Qur’anic word). Pemahaman terhadap makna asli kata-kata dalam teks Al-Qur’an menurutnya akan sangat membantu mufasir memahami tujuan makna (al-ma’na al-murad) sesuai dengan asbab nuzul ayat. Kedua, menyelidiki serta menyeleksi semua ayat yang berhubungan dengan subjek yang dibahas. Dengan prinsip ini, Al-Qur’an diberi kebebasan dan otonomi untuk berbicara tentang dirinya sendiri sehingga dihasilkan penafsiran yang objektif, bukan penafsiran subjektif yang sarat dengan muatan politis dari para mufasirnya. Ketiga, dalam rangka memahami kata, kalimat dan struktur bahasa Al-Qur’an harus ada kesadaran untuk mengakui adanya teks-teks agama yang turun dalam konteks tertentu atau khusus (as-siyaq al-khas) dan yang turun dalam konteks yang lebih umum (as-siyaq al-am).[9] Dengan kata lain, sebuah penafsiran harus dilakukan dengan pendekatan tekstual dan kontekstual sekaligus.
Wallahu a`lam bi as-Shawab.
[1] Disajikan di STAIN Palu tgl 13 April 2007.
[2] Profesor riset bidang Lektur Keagamaan, dan Dosen Pascasarjana UIN Jakarta.
[3] Penelitian Abdul Wahab Khallaf, pakar ushul fiqh, mengenai ayat-ayat hukum menjelaskan bahwa jumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisi ketentuan hukum secara tegas hanya sekitar 5,8% atau sebanyak 368 ayat saja, sedangkan jumlah yang terbesar justru berisi nilai-nilai universal, seperti keadilan, cinta kasih, kedamaian, dan kebebasan yang kesemuanya merupakan pesan-pesan moral keagamaan yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Lihat Abdul Wahab Khallaf, ‘Ilm Ushu Al-Fiqh (Kairo, 1956), cet. VII, hal. 34-35.
[4] Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Abu Ishaq al-Syatibi dalam bukunya yang terkenal: al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari`ah. Akan tetapi, konsep ini sudah disinggung sebelumnya oleh Al-Juwaini Imam al-Haramain dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.
[5] Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah, I`lan al-Muwaqqiin an Rabb al-Alamin, Dar al-Jil, Beirut, T.T. Juz III, h. 3. Pandangan serupa dinyatakan juga oleh sederetan ulama yang sangat otorotatif di bidang fikih, seperti Al-Ghazali (w. 505H); Fakhruddin al-Razi (w. 606 H); Izzuddin ibn Abdissalam (w. 660 H0; Najmuddin al-Tufi (w. 716 H); Ibnu Taimiyah (w. 728 H.); Abu Ishaq al-Syatibi (w. 790 H.); dan Muhammad ibn Tahir al-Asyur (w. 1393 H.).
[6] Ibnu Rusyd, Fashl al-Maqal fi Taqrir ma baina al-Syariat wa al-Hikmah min al-Ittishal aw Wujuh al-Nadhar al-`Aqli wa Hudud al-Ta`wil, Dirasah al-Wihdah al-Arabiyah, Beirut, 1999, h. 125.
[7] Izzuddin ibn Abdissalam, Qawaid al-Ahkam fi Mashalih al-An`am, Dar al-Jil, Kairo, T.T. h 72.
[8]Aisyah Abd Al-Rahman Bint Asy-Syati’, Al-Qur’an wa Tafsir Ashr (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1970), hal. 24-32.
[9]Quraish Shihab, “Penetapan Hukum Islam secara Tekstual dan Kontekstual: Tinjauan Mufassir”, dalam Dialog, No. 35 Th. XVI, Februari 1992, hal. 3-5.

Membaca Ulang Kompilasi Hukum Islam

MEMBACA ULANG KOMPILASI HUKUM ISLAM

Siti Musdah Mulia


Pandangan Fiqh Bias Nilai Patriarki
Sudah umum diketahui bahwa sumber penyusunan KHI adalah kitab-kitab fiqh klasik sehingga tidak heran jika kandungannya memuat pandangan yang mendiskreditkan perempuan. Sebab, sudah umum diketahui bahwa fikih sering menempatkan perempuan sebagai obyek seksual, khususnya dalam relasi suami-isteri Pembahasan perkawinan dalam kitab-kitab fiqh menunjukkan perbedaan laki-laki dan perempuan demikian eksplisitnya, misalnya laki-laki boleh berpoligami, sedangkan perempuan mutlak hanya boleh monogami. Bahkan, sejak dari proses memilih jodoh, perempuan dinyatakan tidak punya hak menentukan, yang menentukan adalah ayah atau walinya, dan hak itulah yang disebut hak ijbar dalam fiqh. Selanjutnya, bagi laki-laki ada hak untuk "melihat-lihat" calon istri yang akan dinikahi, sedang bagi perempuan tidak ada sama sekali.
Kitab-kitab fiqh sesungguhnya adalah kitab-kitab yang kandungannya memuat interpretasi atau penafsiran secara kultural terhadap ayat-ayat Al-Qur`an. Dalam sejarah intelektual Islam, syari`ah dibedakan dengan fiqh. Yang pertama adalah ajaran dasar, bersifat universal dan permanen, sedangkan yang kedua adalah ajaran non-dasar, bersifat lokal, elastis, dan tidak permanen. Kitab-kitab fiqh pada umumnya memuat kumpulan fatwa seorang atau sejumlah fuqaha yang ditulis secara berkala. Dengan ungkapan lain, fiqh adalah penafsiran kultural terhadap syariat yang dikembangkan oleh ulama-ulama fiqh semenjak abad kedua hijrah.
Kitab-kitab fiqh amat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan penulisnya. Penulis yang hidup dalam situasi dan kondisi masyarakat yang kekuasaan kaum laki-lakinya dominan (male dominated society), seperti di kawasan Timur Tengah, akan menulis kitab fiqh yang becorak patriarki, demikian pula sebaliknya. Kitab fiqh yang banyak dijadikan rujukan di pesantren, khususnya pesantren di lingkungan Nahdlatul `Ulama adalah kitab `Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq az-Zaujain. Kitab ini dikarang oleh Imam Nawawi al-Bantani, seorang ulama besar yang berasal dari Banten kemudian menikah dengan perempuan Arab dan menetap di Mekkah. Pandangan dalam kitab ini sangat bias gender dan nilai-nilai patriarki. Beberapa culikan dari isi kitab tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut. "Kewajiban istri terhadap suami adalah taat kepadanya, tidak durhaka, tidak keluar dari rumah sebelum mendapat izin dari suami, tidak melakukan puasa sunat tanpa izin suami, dan tidak pula menolak permintaan suami untuk berhubungan seksual kendati sedang berada di punggung unta."
Disebutkan berulang kali dalam kitab tersebut bahwa "Seorang istri yang keluar rumah tanpa izin suami, akan dikutuk oleh sejumlah malaikat, di antaranya malaikat pembawa rahmat, malaikat penjaga langit, malaikat bumi sampai ia kembali lagi ke rumah." Dalam kitab itu seringkali disebutkan betapa murka para malaikat terhadap istri yang tidak taat dan patuh pada suami. Timbul pertanyaan, apa perlunya malaikat intervensi dalam kehidupan suami-istri ?
Pandangan lain yang dijumpai dalam kitab tersebut adalah: "Istri tidak boleh mengambil harta milik suami tanpa izin karena dosanya lebih berat dari mencuri milik orang lain. Mencuri milik suami sendiri akan mendapat siksaan setara dengan 70 pencuri, sedangkan mencuri milik orang lain hanya diancam dengan siksaan setara satu pencuri." Logikanya, kalau mau mencuri, lebih baik mencuri milik orang lain daripada milik suami, sebab lebih ringan hukumannya. Pernyataan tersebut membenarkan pandangan streotip istri sebagai individu yang tidak memiliki harta sendiri dan selalu bergantung pada harta suaminya. Kesimpulannya, gambaran perempuan dalam kitab fiqh selalu inferior.
Sebenarnya, para penulis kitab fiqh, terutama para imam mazhab yang besar, tidak pernah menyebutkan agar pandangan fiqhnya dijadikan rujukan atau acuan dalam pengambilan hukum. Bahkan, hampir semua penulis kitab fiqh dengan rendah hati menyatakan jika pendapat yang ditulis dalam kitab-kitab fiqh itu benar, pendapat itu diakui datang dari Allah, tetapi jika salah, pendapat itu datang dari dirinya sendiri sebagai manusia. Bahkan, seringkali ditemukan pada akhir setiap pokok bahasan dalam kitab-kitab fiqh, para penulisnya mencantumkan kalimat: wallahu a`lam (hanya Allah yang Maha Tahu), jika pendapatku ini benar ambillah, tetapi jika salah tinggalkan. Artinya, para penulis kitab fiqh itu sendiri tetap memberikan ruang bagi kemungkinan adanya koreksi dan revisi terhadap pandangannya. Lalu, mengapa generasi sesudahnya cenderung menjadikan pandangan dalam kitab fiqh itu sebagai sesuatu yang final dan tidak dapat diubah. Dalam ungkapan lain, kitab-kitab fiqh itu telah diperlakukan sebagai hal yang sakral, bahkan melebihi sakralnya suatu kitab suci, dan ini sungguh-sungguh sangat tidak proporsional.

Perlunya Counter Legal Draft atas KHI
Counter legal draft (selanjutnya ditulis CLD) merupakan kritik atas KHI sekaligus sebagai tawaran alternatif bagi amandemen KHI. CLD adalah hasil pengkajian dan penelitian Tim Kajian KHI terhadap naskah KHI yang dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut. Pertama, studi kepustakaan dengan mengumpulkan sejumlah hasil penelitian terdahulu mengenai KHI, baik dalam bentuk tesis, disertasi dan laporan ilmiyah lainnya. Kedua, melakukan survei lapangan di lima wilayah yang memperjuangkan formalisasi syariat Islam, yakni Aceh, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, NTB, dan Jawa Barat. Ketiga, melakukan kajian perbandingan terhadap hukum keluarga Islam yang dipakai di beberapa negara Islam, seperti Tunisia, Yordan, Irak, Syria, dan Mesir. Keempat, melakukan kajian kritis terhadap literatur fikih klasik menyangkut isu perkawinan, waris, dan wakaf. Kelima, merumuskan kesimpulan penelitian dalam bahasa hukum dengan mengambil format counter legal draft. Pilihan format itu dimaksudkan agar hasil penelitian ini segera menarik perhatian publik. Keenam, melakukan tiga kali lokakarya untuk verifikasi (uji sahih) terhadap draft awal, khususnya menyangkut argumentasi teologis, hukum, sosiologis dan politis terhadap draft awal tersebut. Lokakarya tersebut melibatkan sejumlah pakar agama, hukum, sosiologis, dan pakar politik. Ketujuh, melakukan revisi draft awal berdasarkan input dan masukan dari beberapa lokakarya. Kedelapan, melaunching counter legal draft kepada publik untuk diketahui secara luas dengan maksud memberikan bekal dan pencerahan kepada publik agar mereka dapat mendorong dan mengkritisi perubahan KHI. Kesembilan, merevisi kembali hal-hal yang sulit diterima publik, seperti soal perjanjian perkawinan karena menimbulkan kesalahpahaman yang fatal di masyarakat, yakni selalu dimaknai sebagai nikah mut`ah atau perkawinan kontrak. Akhirnya, tim memutuskan untuk menghilangkannya dari draft yang ada. Selanjutnya, Tim ini juga menyatakan bahwa counter legal draft atas KHI tersebut telah menjadi milik publik, bukan lagi milik tim yang dibentuk Pokja PUG Depag.
Setidaknya ada enam alasan mengapa perlu melakukan kajian kritis terhadap KHI. Pertama, tahun 2001 Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengumumkan suatu kebijakan nasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan yang dikenal dengan Zero Tolerance Policy dalam bentuk RAN PKTP (Rencana Aksi Nasional Untuk Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan). Kebijakan Zero Tolerance Policy ini intinya menegaskan komitmen pemerintah untuk tidak mentolerir segala bentuk kekerasan, sekecil apapun. Kebijakan ini merupakan salah satu bentuk implementasi dari UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan dan sekaligus merespon Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan, 20 Desember 1994.
Salah satu poin penting dalam RAN-PKTP tersebut adalah penghapusan kekerasan terhadap perempuan dalam aspek sosio-kultural atau sosial budaya melalui upaya revisi Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mengapa KHI? Karena di dalamnya terdapat pasal-pasal yang diidentifikasi sebagai akar terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan atau dipandang menyumbang bagi timbulnya perilaku kekerasan, khususnya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Selanjutnya disebutkan pula bahwa salah satu institusi yang diharapkan melakukan perubahan itu adalah Departemen Agama. Bertolak dari itu kemudian Pokja Pengarusutamaan Gender (PUG) Departemen Agama mengambil prakarsa untuk melakukan kajian terhadap KHI ini.
Kedua, adanya tuntutan yang kuat untuk implementasi atau formalisasi syariat Islam di beberapa daerah, seperti Sumatera Barat, Sulawesi Selatan, Cianjur, Madura. Sayangnya dalam upaya formalisasi syariat Islam tersebut, daerah-daerah yang disebutkan tadi terkesan belum memiliki konsep yang jelas mengenai syariat Islam yang akan digunakan. Untuk menjawab kebutuhan tersebut salah satu alternatif yang dapat diberikan adalah menawarkan penggunaan KHI baru yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kearifan budaya di daerah masing-masing.
Ketiga, Direktorat Peradilan Agama pada tahun 2003 (sebelum hijrah ke MA) telah mengusulkan suatu perubahan status hukum KHI dari bentuk Inpres menjadi UU dalam bentuk RUU Terapan Bidang Perkawinan. Selain mengusulkan perubahan status hukumnya, juga penambahan pasal-pasal mengenai sanksi bagi setiap pelanggaran, misalnya pelanggaran dalam hal pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang tidak mencatatkan perkawinannya di institusi yang berwenang akan dikenai sanksi dalam bentuk hukum penjara dan denda. Pasalnya, data yang tercatat di DEPAG, menunjukkan sekitar 48% perkawinan yang berlangsung di masyarakat tidak tercatatkan (unregistered). Hal ini sangat memprihatinkan, sebab tiadanya pencatatan jelas merugikan hak-hak isteri dan anak.
Keempat, sejumlah penelitian baik dalam bentuk tesis maupun disertasi ataupun dalam bentuk kajian ilmiah lainnya menyimpulkan bahwa KHI dalam dirinya mengandung sejumlah persoalan, di antaranya sejumlah pasal yang ada berseberangan dengan produk-produk hukum nasional, seperti UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU Tentang Hak-Hak Anak (2000); UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan penguatan terhadap perempuan, bahkan dengan Amandemen UUD 1945. Demikian juga KHI berseberangan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menekankan pada prinsip desentralisasi dengan ciri partisipasi seluruh masyarakat tanpa membedakan laki dan perempuan dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT.
Adapun di tingkat internasional, telah disepakati sejumlah instrumen penegakan dan perlindungan HAM yang tentu saja mengikat bagi negara-negara yang menandatanganinya, termasuk Indonesia. Di antara instrumen tersebut adalah Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia (1948). Kemudian di tingkat Regional Negara-Negara Islam yang tergabung dalam OKI (Organisasi Konferensi Islam) disepakati Deklarasi Kairo (1990). Selain itu, kita juga telah meratifikasi beberapa Konvensi Internasional tentang HAM yang relevan dengan isi KHI, di antaranya Konvensi Hak Anak (1990) yang diratifikasi melalui Kepres Tahun 2000 mengenai Hak Anak yang isinya menegaskan batas usia anak adalah 18 tahun; dan Konvensi Anti Diskriminasi Rasial (1999). Keseluruhan konvensi tersebut menekankan pentingnya penghapusan diskriminasi atas dasar ras, kebangsaan, gender, status anak, dan agama.
Kelima, hal lebih penting lagi bahwa sebagai hukum Islam adalah perlu membandingkan KHI dengan hukum keluarga (the family law) yang ada di berbagai negeri Muslim, seperti Tunisia, Yordan, Syria, Iraq, dan Mesir. Negeri-negeri Muslim tersebut berulang kali memperbaharui hukum keluarga mereka. Paling tidak, ada dua hal perlu dicatat dari kajian perbandingan terhadap hukum keluarga tersebut, yaitu: Pertama, semangat reaktualisasi hukum Islam dalam bidang hukum keluarga selalu dimaksudkan untuk melindungi dan memperbaiki status dan kedudukan perempuan serta melindungi anak-anak. Kedua, reformasi pemikiran hukum Islam yang dituangkan dalam bentuk undang-undang keluarga itu dalam banyak hal menyalahi ketentuan dalam kitab-kitab fiqh klasik. Sebagai contoh, Tunisia. Dari sekian banyak pembaruan terhadap UU keluarga Tuisia, tahun 1959 ditetapkan tentang keharusan perceraian di pengadilan dan larangan mutlak untuk berpoligami.
Keenam, berdasarkan hasil survey di empat wilayah: Sumatera Barat, Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat ditemukan kenyataan bahwa mayoritas responden yang terdiri atas hakim agam, kepala KUA, tokoh-tokoh agama menghendaki perubahan KHI. Alasan yang dikemukakan dalam mendukung pernyataan tersebut antara lain: (1) KHI sudah 13 tahun diberlakukan dan belum pernah dilakukan evaluasi kritis terhadapnya, (2) KHI perlu memiliki kekuatan hukum yang pasti serta mengikat dan dapat dipakai sebagai kodifikasi hukum, dan (3) Materi-materi hukum yang terdapat dalam KHI perlu dilengkapi dan disempurnakan agar sesuai dengan kebutuhan praktis masyarakat Indonesia yang semakin kompleks. Selanjutnya, sebagai bahan masukan dalam upaya pembaruan KHI, terutama bidang perkawinan, para responden hampir secara aklamasi menyetujui hal-hal berikut. 1) Pencatatan perkawinan menjadi salah satu rukun perkawinan; 2) Batas minimal usia nikah bagi perempuan ditingkatkan menjadi 19 tahun sehingga sama dengan usia laki-laki; 3) Nusyuz dapat dikenakan bagi suami dan isteri; 4) Rujuk harus dengan seizin isteri.
Di samping itu, materi hukum KHI perlu juga ditambah dan disempurnakan. Di antara materi hukum yang perlu ditambahkan adalah tentang aturan pemberian nafkah pada masa iddah kepada isteri yang dicerai oleh suaminya. Menurut ketentuan yang berlaku, isteri yang masih dalam masa iddah berhak memperoleh nafkah dari suaminya. Tetapi kenyataannya nafkah itu tidak pernah diberikan kalau isterinya tidak menuntut. Ke depan, KHI harus menetapkan kewajiban suami untuk tetap memberi nafkah kepada isterinya selama masa iddah baik diminta ataupun tidak. Hakim tidak boleh menjatuhkan talak sebelum hak-hak isteri tersebut diselesaikan. Begitu juga dengan masalah khulu’. Apabila persyaratan untuk perceraian telah dipenuhi, maka tidak diperlukan lagi khulu’. Khulu’ hanya berlaku jika isteri berkeinginan untuk bercerai tanpa ada alasan. Gugatan cerai yang diajukan isteri tanpa alasan harus diiringi dengan kewajiban membayar iwadh kepada suaminya. Akan tetapi jika gugatan cerai itu cukup beralasan, maka kewajiban membayar iwadh menjadi hilang sama sekali.

Prinsip Dasar Penyusunan CLD
a. Prinsip Kemaslahatan (al-Maslahat)
Sesungguhnya syari'at (hukum) Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb al-mashâlih) dan menolak segala bentuk kemafsadatan (dar`u al-mafâsid). Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali, menyimpulkan bahwa syari'at Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan universal yang lain, yaitu kemaslahatan (al-mashlahat), keadilan (al-'adl), kerahmatan (al-rahmat), dan kebijaksanaan (al-hikmah). Prinsip-prinsip ini haruslah menjadi dasar dan substansi dari seluruh persoalan hukum Islam. Ia harus senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus hukum. Penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum Islam.
b. Prinsip Kesetaraan dan Keadilan Gender (al-Musawah al-Jinsiyah)
Gender dan seks merupakan dua entitas yang berbeda. Jika gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial-budaya, maka seks secara umum dipakai untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologis. Artinya, gender bukan kategori biologis yang berkaitan dengan hitungan kromosom, pola genetik, struktur genital, melainkan merupakan konstruksi sosial dan budaya. Sementara seks merupakan kodrat Tuhan yang bersifat permanen. Meskipun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda, namun perbedaan tersebut tidak dapat menjadi alasan untuk membedakan, apalagi mendiskriminasikan perempuan. Sebab, keduanya sama-sama makhluk Tuhan yang bermartabat dan harus dihormati.

c. Prinsip Pluralisme (al-Ta`addudiyyah)
Tak terbantahkan bahwa Indonesia adalah negara yang sangat plural. Pluralitas ini terjadi bukan hanya dari sudut etnis, ras, budaya, dan bahasa melainkan juga agama. Sehingga, kemajemukan di Indonesia tidak mungkin bisa dihindari. Keberagaman telah menyusup dan menyangkut dalam pelbagai ruang kehidupan. Tidak saja dalam ruang lingkup keluarga besar seperti masyarakat negara, bahkan dalam lingkup keluarga, pluralitas juga bisa berlangsung. Setiap orang senantiasa berada dalam dunia pluralitas. Menghadapi pluralitas tersebut, yang dibutuhkan tentu saja bukan pada bagaimana menjauhkan diri dari kenyataan pluralisme tersebut, tetapi pada bagaimana cara dan mekanisme yang bisa diambil di dalam menyikapi pluralitas itu. Sikap antipati terhadap pluralitas, di samping bukan merupakan tindakan yang cukup tepat, juga akan berdampak kontra-produktif bagi tatanan kehidupan manusia yang damai.

d. Prinsip Nasionalitas (al-Muwathanah)
Telah maklum bahwa sebagai sebuah negara, Indonesia dibangun bukan oleh satu komunitas agama saja. Indonesia merekrut anggotanya bukan didasarkan pada kriteria keagamaan, tetapi pada nasionalitas. Dengan perkataan lain, yang menyatukan seluruh warga negara Indonesia bukanlah basis keagamaan, melainkan basis nasionalitas (muwâthanah). Kemerdekaan Indonesia merupakan hasil jerih payah seluruh warga bangsa, bukan hanya masyarakat Islam melainkan juga non Islam, bukan hanya masyarakat Jawa melainkan juga masyarakat luar Jawa. Dengan nalar demikian, Indonesia tidak mengenal adanya warga negara kelas dua. Umat non-Islam Indonesia tidak bisa dikatakan sebagai dzimmi atau ahl al-dzimmah dalam pengertian fikih politik Islam klasik.

e. Prinsip Penegakan HAM (Iqamat al-Huquq al-Insaniyah)
Hak asasi manusia dimaksudkan sebagai hak-hak yang dimiliki manusia karena terberikan kepadanya. Hak asasi mengungkapkan segi-segi kemanusiaan yang perlu dilindungi dan dijamin dalam rangka memartabatkan dan menghormati eksistensi manusia secara utuh. Oleh karena manusia dengan martabatnya merupakan ciptaan Allah, maka dapat dikatakan bahwa hak asasi manusia dimiliki manusia karena diberikan oleh Allah sendiri. Dengan demikian, hak asasi manusia secara otomatis akan dimiliki oleh setiap insan yang lahir di bumi ini. Islam adalah agama yang memiliki komitmen dan perhatian cukup kuat bagi tegaknya hak asasi manusia di tengah masyarakat. Dalam sejarahnya yang awal, Islam hadir justru untuk menegakkan hak asasi manusia, terutama hak kaum mustadh'afin, yang banyak dirampas oleh para penguasa. Islam datang untuk mengembalikan hak-hak kaum perempuan, para budak, dan kaum miskin. Mereka inilah kelompok-kelompok yang rentan kehilangan haknya yang paling asasi sekalipun. Islam secara tegas mengajarkan perlunya penegakan dan perlindungan hak asasi manusia baik secara individual maupun secara kolektif melalui negara. Hak-hak asasi dimaksud, antara lain hak hidup (hifdz al-nafs aw al-hayât), hak kebebasan beragama (hifdz al-dîn), hak kebebasan berfikir (hifdz al-'aql), hak properti (hifdz al-mâl), hak untuk mempertahankan kehormatan (hifdz al-'irdh), dan hak reproduksi (hifdz al-nasl). Menurut al-Ghazali, pada komitmen untuk melindungi hak-hak kemanusiaan inilah, seluruh ketentuan hukum dalam Islam diacukan.

f. Prinsip Demokrasi (al-Dimuqrathiyyah)
Demokrasi sebagai sebuah gagasan yang percaya pada prinsip kebebasan, kesetaraan, dan kedaulatan manusia untuk mengambil keputusan menyangkut urusan publik, secara mendasar bisa dikatakan paralel dengan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam. Artinya, pada dataran prinsipil antara Islam dan demokrasi tidaklah bertentangan. Paling tidak dalam ajaran Islam ditemukan lima ajaran dasar yang dipandang sejalan dengan prinsip demokrasi, yaitu: Pertama, ajaran al-musâwah (egalitarianism). Bahwa manusia memiliki derajat dan posisi yang setara di hadapan Allah. Kedua, al-hurriyah (kemerdekaan). Ketiga, al-ukhuwwah (persaudaraan). Keempat, al-'adâlah (keadilan) yang berintikan pada pemenuhan hak asasi manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat-negara. Kelima, al-syûrâ (musyawarah). Bahwa setiap warga masyarakat memiliki hak untuk ikut berpartsipasi di dalam urusan publik yang menyangkut kepentingan bersama.

CLD Menawarkan Kesetaraan Gender Dalam Perkawinan
Berdasarkan keenam prinsip dasar tersebut CLD menawarkan paradigma baru dalam perkawinan sebagai berikut. Pertama, perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak. Kedua, asas perkawinan adalah monogami (tawahhud al-zawj). Ketiga, prinsip dasar perkawinan ada enam, yakni: prinsip kerelaan (al-taraadli), kesetaraan ( al-musaawah), keadilan (al-'adaalah), kemaslahatan (al-mashlahat), pluralisme (al-ta'addudiyyah), dan demokratis (al-diimuqrathiyyah). Keempat, tujuan perkawinan adalah mewujudkan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan sejahtera (sakiinah) berlandaskan kasih sayang (mawaddah dan rahmah); serta untuk memenuhi kebutuhan biologis secara legal, sehat, aman, nyaman, dan bertanggungjawab.
Keempat paradigma tersebut menjadi landasan bagi bangunan kesetaraan gender dalam relasi suami-isteri sebagaimana terbaca dalam rumusan pasal-pasal CLD mengenai soal wali, saksi, pencatatan, usia perkawinan, mahar, perkawinan beda agama, poligami, cerai dan rujuk, iddah, ihdad, pencarian nafkah, nusyuz, posisi dan kedudukan suami-isteri, serta hak dan kewajiban suami-isteri.
Dekonstruksi relasi suami-isteri yang bias gender dimulai dengan meredefinisi perkawinan. Perkawinan dalam KHI dimaknai sebagai perintah Allah dan merupakan ibadah yang wajib dilaksanakan. Akibatnya, dalam masyarakat dijumpai tidak sedikit perempuan terpaksa menikah karena takut berdosa pada Tuhan dan takut durhaka pada orang tua, meskipun sesungguhnya dia tidak menghendaki terjadinya perkawinan itu sendiri. Implikasi lain dari pemahaman tersebut, masyarakat memaknai perkawinan tidak boleh diputuskan walaupun membawa dampak yang sangat buruk bagi istri dan anak-anak. Konsekuensinya, tidak sedikit perempuan terpaksa bertahan dalam kehidupan perkawinan meski sangat menderita akibat perilaku KDRT dari suami atau anggota keluarga lainnya.
Selain itu, masyarakat memaknai perkawinan sebagai akad kepemilikan, menikahi berarti memiliki. Pemahaman ini membawa kepada relasi yang timpang dalam kehidupan suami-isteri. Karena itu dikatakan suami menikah, isteri dinikahi; suami memberi nafkah, isteri dinafkahi; suami memberi mahar, isteri diberi mahar; suami metalak (menceraikan), isteri diceraikan; suami merujuk, isteri dirujuk; suami poligami, isteri dipoligami; suami kepala keluarga, isteri anggota keluarga dan seterusnya. Pendek kata, tidak tercermin jaminan kesetaraan kedua pihak: laki-laki dan perempuan dalam perkawinan. Tidak mengherankan jika banyak perempuan tidak memiliki posisi tawar dalam perkawinannya. Pemahaman masyarakat tersebut memiliki acuan yang jelas dalam kitab-kitab fikih klasik.
Ulama dari keempat mazhab tampaknya sepakat mendefinisikan nikah sebagai akad yang digunakan untuk mengatur intifa'u zauj bi bidh'i zaujah wa sa'iri badaniha min baitsu al-taladzudz (pemanfaatan suami atas kelamin istrinya dan seluruh tubuhnya untuk tujuan kenikmatan). Dengan akad nikah ini, suami memiliki hak secara penuh untuk memanfaatkan alat kelamin istrinya. Sebagian ulama merasa perlu membedakan antara milk al-intifa' dan milk al-manfa'ah. Milk al-intifa' mengisyaratkan bahwa kepemilikan bersifat temporer, semantara milk al-manfa'at pemilikan manfaat tersebut berlangsung secara terus-menerus. Namun, perbedaan tersebut tidak mempengaruhi makna yang fundamental dari hak yang dimiliki oleh laki-laki. Rumusan definisi perkawinan yang dibuat para pemuka mazhab fiqih tersebut secara eksplisit menempatkan perempuan sebagai obyek seksual, sebagai barang milik yang berhak dinikmati (milk al-mut'ah, milk al-budh'). Akibat dari objektivikasi tersebut, kedudukan perempuan menjadi tersubordinasi dan terkendalikan oleh pihak laki-laki, termasuk dalam persoalan hak seksualnya. Bahkan, pandangan Mazhab Hanafi menyatakan bahwa sesungguhnya hak menikmati seks itu merupakan hak laki-laki, bukan hak perempuan. Artinya, suami boleh memaksa istri untuk melayani keinginan seksualnya jika istri menolaknya.[1] Sangat jelas bahwa yang diperhitungkan dari diri perempuan dalam perkawinan hanyalah aspek fisik dan seksualitasnya.
Pemahaman yang timpang dan tidak adil gender itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam dan juga tidak menguntungkan bangunan demokrasi dan upaya penegakan HAM dalam masyarakat, karenanya perlu ada revisi. Tawaran revisi CLD mengubah relasi suami-isteri yang timpang tadi menjadi setara dan adil yang diliputi kasih sayang dan nilai-nilai kemanusiaan. Perubahan relasi suami-isteri yang setara dan adil harus dimulai dengan mengubah makna perkawinan. Perkawinan hanyalah sebuah pilihan dalam hidup manusia, bukan suatu keharusan apalagi kewajiban. Hak untuk menikah dan berkeluarga merupakan salah satu hak manusia yang paling asasi yang disebut dengan hak non derogable (hak yang tidak boleh dikurangi dengan alasan apa pun). Manusia bebas memilih untuk menikah atau tidak menikah. Dalam kaitan dengan agama, tidak ada perbedaan derajat antara orang menikah dan tidak menikah, yang membedakan di antara manusia hanyalah kualitas takwanya, bukan perkawinannya (QS. al-Hujurat, 13). Oleh karena itu, perlu dipertegas dalam definisi bahwa perkawinan adalah sebuah transaksi yang melibatkan dua pihak yang setara: laki-laki dan perempuan, dan dilakukan atas dasar kerelaan dan kesediaan dari kedua pasangan, bukan atas dasar paksaan dan semacamnya.
Al-Qur`an (al-Ahzab, 7; an-Nisa, 21 dan 154) selalu menggambarkan ikatan perkawinan dengan mitsaqan ghalidzan, yakni sebagai perjanjian suci antara kedua belah pihak yang setara dan penuh diliputi cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, kedua belah pihak berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan perjanjian tersebut. Selanjutnya, Al-Qur`an juga menegaskan hubungan egalitarian suami-istri, seperti terbaca pada ayat-ayat: az-Zariyat, 49; Fatir,11; an-Naba`, 78; an-Nisa`, 20; Yasin, 36; as- Syura, 11; az-Zukhruf, 12; al-Baqarah, 187; dan an-Najm, 53. Penegasan relasi yang setara tersebut ditemukan pula dalam sejumlah hadis Nabi. Kesemua ayat dan hadis tersebut secara tegas menyimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam lebih merupakan suatu akad atau kontrak.[2] Kontrak itu terlihat dari adanya unsur ijab (tawaran) dan qabul (penerimaan). Jadi, perkawinan adalah sebuah akad atau kontrak yang mengikat dua pihak yang setara, yaitu laki-laki dan perempuan yang masing-masing telah memenuhi persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas dasar kerelaan dan kesukaan kedua belah pihak untuk membentuk keluarga.
Menarik dicatat bahwa Al-Qur`an membahas soal perkawinan secara rinci dalam banyak ayat. Tidak kurang dari 104 ayat, baik dengan menggunakan kosa kata nikah (berhimpun) yang terulang sebanyak 23 kali, maupun kata zauwj (pasangan) yang dijumpai berulang 80 kali. Memahami hakikat perkawinan dalam Islam tidak bisa tidak, kecuali mengurai seluruh ayat yang berbicara tentang perkawinan dengan menggunakan metode tematik dan holistik sekaligus, lalu mencari benang merah yang menjadi intisari dari seluruh penjelasan ayat-ayat tersebut. Dari keseluruhan ayat yang membahas soal perkawinan dapat disimpulkan sejumlah prinsip dasar yang seharusnya menjadi landasan perkawinan. Pertama, prinsip monogami.[3] Kedua, prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang)[4]; ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi[5]; keempat, prinsip mu`asyarah bil ma`ruf (pergaulan yang sopan dan santun)[6], baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi kemanusiaan; dan kelima prinsip kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak melanggar ketentuan syari`ah.
Hakikat pernikahan tertinggi secara indah digambarkan dalam Al-Quran surah al-A'raf, 7: 189). Menurut ayat tersebut pernikahan adalah penyatuan kembali pada bentuk asal kemanusiaan yang paling hakiki, yakni nafsin wahidah (diri yang satu). Allah Swt. sengaja menggunakan istilah nafsin wahidah karena dengan istilah ini ingin ditunjukkan bahwa pernikahan pada hakikatnya adalah reunifikasi antara laki-laki dan perempuan pada tingkat praktik, setelah didahului reunifikasi pada tingkat hakikat, yaitu kesamaan usul-usul kejadian umat manusia dari diri yang satu.
Dalam ayat yang lain (al-Rum, 30: 21). ditekankan keterkaitan antara kesatuan hakiki, min anfusikun, sebagai bentuk kesatuan pada level teoretis idealistis dengan kesatuan praktik (pernikahan) yang tenteram dan penuh kasih dan sayang. Ketenteraman dan kasih sayang ini tidak akan bisa diperoleh kalau satu dengan yang lain saling menegasikan dan mensubordinasikan. Di sini tidak pula dikenal konsep dominasi, baik oleh suami maupun isteri. Dominasi sesungguhnya selalu membawa kepada pengabaian hak dan eksistensi pasangan. Jika unsur dominasi dalam relasi suami-isteri dihilangkan maka yang terbangun kemudian adalah hubungan yang berkeadilan, penuh diliputi kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Itulah yang dikehendaki dalam CLD. Semoga berguna dan bermanfaat. In urîdu illa al-ishlâh mastatha’tu. Wa mâ tawfîqiy illâ billâh.@

[1] Abdurrahman Al-Jaza'iri, Al-Fiqh ala Madzahib Al-Arba'ah,jil. IV, h. 4.
[2] An-Nisa`, 4:21 dan Al-Baqarah, 2:231
[3] An-Nisa`, 4:3 dan 129.
[4] Ar-R­m, 30:21
[5] Al-Baqarah, 2:187
[6] An-Nisa`, 4: 19; at-Taubah, 9:24 ; al-Haj, 22:13

Memaknai Hukum Kewarisan Islam

MEMAKNAI WARISAN DALAM ISLAM

Siti Musdah Mulia

Bagaimana merumuskan hukum?
Pada dasarnya, usaha untuk merumuskan visi baru hukum kewarisan dalam Islam harus selalu memperhatikan kesesuaian antara pejelasan tekstual yang termaktub dalam al-Qur’an dengan realitas kontekstual yang terdapat di dalam masyarakat. Kesesuaian tersebut diperlukan terutama untuk mensinergikan antara otoritas wahyu sebagai sumber otentik hukum Islam dengan kebutuhan manusia sebagai pelaksana syari’at. Kesesuaian itu hanya dapat terwujud bilamana argumentasi naqli (revealation) berjalan seiring bersama dengan argumentasi aqli (reason).
Di dalam al-Qur’an, terdapat sejumlah ayat yang membicarakan kewarisan secara khusus. Dalil-dalil tersebut antara lain surat al-Nisa ayat 7, 8, 11, 12, 19, 33, dan 176, surat al-Anfal ayat 72 dan 75, serta surat al-Ahzab ayat 6. Di samping itu, terdapat pula sejumlah hadits yang terdapat di dalam kutub al-tis’ah yang mendukung serta memperjelas ayat-ayat tersebut. Dalil-dalil itulah kemudian yang dijadikan sebagai patokan dalam menyusun hukum kewarisan sebagaimana dilakukan oleh para ulama fikih beberapa abad silam.
Dengan merujuk pada penjelasan dalil-dalil naqli yang disebutkan di atas, terkumpul beberapa dalil aqli yang dapat mereposisi kedudukan perempuan dalam sistem pewarisan Islam. Dalil-dalil aqli tersebut antara lain:
Pertama, bahagian waris perempuan tidak selamanya mendapat setengah bagian laki-laki sebagaimana dipahami dalam kitab-kitab fikih selama ini, melainkan cukup beragam. Bahagian anak perempuan, misalnya, memiliki tiga formulasi; mendapat ½ bagian jika sendirian, 2/3 bagian jika jumlahnya dua orang atau lebih, dan mendapat ½ dari bagian laki-laki jika posisinya sebagai ashobat. Demikian pula perempuan dalam posisinya sebagai ibu. Bahagian ibu sebagai ahli waris juga memiliki tiga formulasi; mendapat 1/6 bagian jika bersama anak pewaris atau saudara pewaris; 1/3 jika sendirian, 1/3 sisa jika bersama suami/istri atau ayah pewaris.
Hal yang sama juga terlihat pada bagian perempuan dalam posisi sebagai istri. Istri memiliki dua kemungkinan formulasi; mendapat ¼ bagian jika suaminya tidak meninggalkan keturunan dan 1/8 jika ada keturunan. Bahkan dalam posisi sebagai orang yang memerdekakan hamba sahaya dan pewaris tidak meninggalkan ahli waris, perempuan mendapatkan bahagian yang sama banyak dengan laki-laki, yaitu sama-sama menjadi ashabat. Formulasi bagian yang beragam bagi perempuan menunjukkan bahwa model pembagian waris untuk perempuan adalah dinamis, tidak statis. Jumlahnya bergerak dari satu bentuk formulasi ke bentuk yang lain.
Kemungkinan mendapat bagian yang beragam seperti ini memunculkan tiga gagasan. Pertama, formulasi jumlah warisan bagi seorang ahli waris tidak ada yang baku, melainkan disesuaikan dengan posisi dan jumlah ahli waris. Kedua, perempuan, termasuk perempuan jauh dalam urutan kekerabatan, tidak boleh sama sekali dicabut hak warisnya. Gagasan ini sesungguhnya merevisi kebiasaan pra-Islam yang memberikan harta peninggalan dari anak cucu wanita kepada kerabat laki-laki, betapa pun jauhnya. Ketiga, semua distribusi warisan di antara saudara-saudara lainnya harus adil. Keadilah dalam warisan harus benar-benar mempertimbangkan nafkah (manfaat) bagi orang-orang yang ditinggalkan
Karena itu, pembagian warisan perlu mempertimbangkan kondisi setiap ahli waris, jasa ahli waris kepada pewaris, dan manfaat dari harta yang diwariskan itu. Sebagai contoh, jika ahli waris terdiri dari seorang ibu dengan tiga anak laki-laki dan seorang anak perempuan yang merawat sang ibu, maka apakah adil jika si anak perempuan hanya mendapatkan setengah dari bagian anak laki-laki? Atau kondisi si anak perempuan tadi lebih miskin dan lebih membutuhkan dari pada saudaranya yang laki-laki. Dengan memberikan jumlah warisan yang lebih besar kepada anak perempuan yang merawat ibunya atau kepada anak perempuan yang lebih membutuhkan harta tersebut, maka harta warisan menjadi lebih bermanfaat.
Al-Qur’an memang tidak menjelaskan secara rinci akan kemungkinan-kemungkinan perubahan formulasi tersebut, namun dengan memperlihatkan formulasi yang beragam itu sudah cukup jelas maksud dan pesan yang terkandung di dalamnya, yakni bahwa pembagian warisan harus mengutamakan pesan keadilan, termasuk keadilah gender, bukan ketentuan formal yang kaku sebagaimana terbaca dalam bunyi teks.
Kedua, ayat-ayat tentang kewarisan pada hakikatnya merupakan respons Al-Qur’an terhadap kondisi sosio-historis yang berlaku pada masyarakat Arab di masa itu. Perempuan adalah makhluk yang tidak berhak berharta karena itu posisinya disamakan dengan warisan. Mereka merupakan salah satu komoditas yang diwariskan. Secara historis-sosiologis, ayat ini menyadarkan masyarakat dengan melakukan koreksi total terhadap posisi perempuan dari sebagai obyek warisan menjadi subyek yang mewarisi, atau dari makhluk yang tidak berhak berharta menjadi berharta. Karena itu, jumlah bagian yang ditetapkan hanya merupakan langkah awal bagi upaya perbaikan posisi perempuan pada masa itu. Tentu saja upaya awal itu harus menjadi inspirasi bagi perubahan bagian warisan untuk perempuan. Artinya, jumlah warisan untuk perempuan dapat berubah sesuai perubahan ruang dan waktu.
Ketiga, secara teologis-sosiologis, alasan yang sering muncul dalam kitab-kitab fikih klasik mengenai kelebihan bagian laki-laki adalah karena mereka dituntut memberikan mahar dan nafkah kepada istri dan keluarganya. Dewasa ini, sudah banyak perempuan berkontribusi dalam ekonomi keluarga, bahkan tidak sedikit yang menjadi penyangga utama kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan ungkapan lain, tuntutan mencari nafkah berlaku bagi keduanya (laki-laki dan perempuan) sehingga dengan demikian pembagian yang lebih besar kepada laki-laki tidak relevan lagi. Namun, perlu dicatat bahwa tugas-tugas reproduksi jauh lebih mulia dari pada tugas mencari nafkah. Dalam konteks ini sudah seharusnya disosialisasikan di masyarakat bahwa kerja isteri di rumah tangga lebih tinggi nilainya dari pada kerja suami mencari nafkah. Hal ini diperlukan untuk membangun apresiasi yang tinggi terhadap pilihan perempuan untuk bekerja di ruang domestik.
Keempat, dalam masyarakat masih sering dijumpai pemberian hibah atau wasiat kepada anak-anak perempuan oleh para orang tua, termasuk oleh mereka yang mengerti agama sekalipun. Pemberian itu dimaksudkan agar anak-anak perempuan mereka menerima perlakuan yang adil dengan mendapatkan harta yang kira-kira sama jumlahnya dengan harta yang diperoleh anak laki-laki melalui pewarisan. Hal ini mengindikasikan ketidakpercayaan mereka akan keadilan yang ditetapkan melalui pewarisan. Daripada melakukan praktek pemberian harta di luar mekanisme warisan, baik melalui hibah, wasiat, atau pembagian warisan ketika orang tua masih hidup, adalah lebih baik mengubah format bagian perempuan ke arah yang lebih adil.

Prinsip-prinsip penetapan hukum Islam
Argumentasi aqli yang dijabarkan di atas, pada dasarnya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip penetapan hukum Islam (istimbath al-ahkam). Sebagai bahan refleksi, berikut akan diuraikan beberapa prinsip penetapan hukum Islam yang dapat menguatkan beberapa argumentasi di atas:
1. Segala urusan sesuai dengan maksudnya (al-umuru bi maqashiduha)
Segala amal manusia bermula dari iradat-nya, yaitu berangkat dari ikhtiar yang terhajat kepada sesuatu pekerjaan dengan sesuatu maksud yang disebut qashad atau niat. Niat yang terkandung dalam hati seseorang pada saat melakukan sesuatu aktivitas tersebut, apakah nilai perbuatan itu temasuk amal syariat atau perbuatan biasa. Adapun yang menjadi sumber kaidah ini antara lain QS. Ali Imran (3):45 yang berbunyi: …Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat. Dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur. Di samping itu, ada pula hadis Nabi yang berbunyi: … Sesungguhnya segala amal itu menurut niat, dan sesungguhnya bagi setiap orang hanya memperoleh apa yang diniatkannya … (HR. Jama’ah dari Umar).
Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Daud, dan Daruquthni sepakat menetapkan bahwa niat menempati sepertiga dari ilmu pengetahuan Islam. Niat berpangkal pada hati yang seing disebut aktivitas kejiwaan. Aktivitas kejiwaan ini lebih kuat daripada aktivitas yang berpangkal pada lisan dan anggota badan. Hal ini disebabkan karena niat dapat berfungsi ibadah yang berdiri sendiri, sedangkan aktivitas yang lain tidak dapat berfungsi jika tidak didukung niat.

2. Kesukaran mendatangkan kemudahan (al-masyaqqah tajlib al-taisir)
Syariat Islam bersifat umum, tidak hanya untuk sesuatu keadaan tertentu atau perseorangan. Sifat umum yang demikian, dalam keadaan tertentu dapat menimbulkan kesukaran dan kemudaratan pada sebahagian manusia. Dalam keadaan demikian, syariat Islam memberikan kelapangan untuk menolak kesukaran yang dia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, perhatikan QS. Al-Baqarah (2): 185 yang berbunyi: …Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

3. Kemudaratan harus ditinggalkan (al-dhararu yuzalu)
Kaidah ini bersumber antara lain dari QS. Al-Qashash (28): 77 yang berbunyi: …Sesungguhnya Alla tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Ayat ini menjelaskan aturan-aturan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat dengan cara ma’ruf dan menghindari hal-hal yang mendatangkan kemudaratan. Dari kaidah ini dapat dipahami bahwa sesuatu tindakan yang semula diharamkan oleh syariat, tetapi karena adanya suatu hajat untuk melepaskan diri dari suatu kesulitan, maka gugurlah keharamannya untuk semantara waktu, hingga berakhirnya hajat itu.
Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa apabila terdapat kontroversi dalam satu masalah, yaitu: antara kerusakan dan kemashlahatan, maka menolak kerusakan harus lebih dahulu daripada menarik kemashlahatan (dar’ al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-mashalih). Begitu juga apabila terdapat dua kerusakan, maka harus terlebih dahulu dipilih yang lebih kecil mudaratnya, sekalipun pada dasarnya setiap kemudaratan besar atau kecil harus dihindari.
Perlu diperhatikan bahwa dalam kaidah ini erat hubungannya dengan kadar (ukuran) dan yang berkaitan dengan waktu (masa). Sesuatu larangan dibolehkan sesuai dengan kadarnya dan sesuatu kewajiban dapat ditinggalkan karena sifatnya temporer.

4. Adat dapat ditetapkan menjadi hukum (al-‘adatu muhakkamah)
Kaidah ini bersumber antara lain QS. Al-A’raf (7): 157 yang berbunyi, … Menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka mengerjakan yang munkar… Ayat ini menjelaskan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hukum apabila adat kebiasaan itu dinilai baik dan membawa kemashlahatan manusia. Adat yang baik adalah kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan akal sehat dan sejalan dengan hati nurani dan dalam penerapannya sulit untuk ditolak sebagai suatu hukum yang berlaku.
Adat kebiasaan yang dimaksudkan di sini adalah sesuatu yang telah mafhum di tengah-tengah masyarakat karena berulang kali dilaksanakan sehingga menjadi norma hukum dalam masyarakat bersangkutan. Penggunaan adat sebagai sumber hukum banyak terlihat pada hasil ijtihad Imam mazhab; seperti Imam Malik banyak dipengaruhi adat masyarakat kota Madinah; Imam Syafi’i banyak dipengaruhi oleh adat masyarakat Mesir pada qaul jadid-nya dan pengaruh masyarakat Bagdad pada qaul qadim-nya. Pengaruh adat dalam kehidupan hukum adlah sesuatu hal yang tidak perlu dirisaukan sebab hukum yang bersumber dari adat pada prinsipnya mengandung unsur dinamika dan mempunyai kecenderungan untuk menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Yang perlu diperhatikan adalah bagaimana menumbuhkan suatu kebiasaan agar dapat sesuai dengan perkembangan zaman dan agama.
Dalam hukum Islam, adat suatu masyarakat dapat dijadikan sebagai sumber hukum apabila tidak bertentangan dengan nas, atau kaidah-kaidahnya tidak teradapat dalam nas. Hal ini dapat dipahami bahwa adat yang diterima adalah yang tidak menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
Dengan demikian, adat dalam pembentukan hukum Islam menjadi salah satu sumber penting. Hukum adat dapat diberlakukan sebagai sumber hukum Islam apabila kaidah-kaidahnya tidak terdapat dalam nas dan tidak bertentangan dengan nash yang ada yang mengakibatkan timbulnya pertentangan antara sumber hukum Islam dengan kebiasaan yang mentradisi.

5. Sesuatu yang diyakini kebenarannya tidak terhapus karena adanya keraguan (al-yaqin la yuzal bi al-syak).
Kaidah ini bersumber antara lain QS. Al-Baqarah (2): 200-201 yang berbunyi, …Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami berilah kami (kebaikan) di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Ayat ini menjelaskan prinsip keyakinan tidak dapat dihapus oleh adanya keraguan. Ayat pertama mengisyaratkan adanya di antara segolongan umat Islam yang belum mempunyai keyakinan secara mantap terhadap suatu kebahagiaan yang abadi. Mereka meyakini segala sesuatu yang bersifat faktual, sehingga dalam berdoa tujuannya untuk mencapai kebahagian dunia semata. Sementara pada ayat kedua diisyaratkan bahwa sebagian manusia telah yakin adanya kehidupan yang abadi sehingga dalam berdoa senantiasa memohon kebahagiaan di dunia dan akhirat serta keselarasan antara keduanya.

6. Kepastian dan kebijaksanaan hukum dalam Al-Qur’an
Di dalam ilmu ushul fikih terdapat pembahasan tentang qath’iy dan zhanniy. Qath’iy adalah nas-nas yang pasti, jelas, dan tegas maknanya dalam mengemukakan hukum suatu persoalan. Sebaliknya, zhanniy adalah nas-nas yang masih membutuhkan penafsiran dan penjelasan. Para ulama sepakat bahwa persoalan yang belum ditegaskan ketentuan hukumnya dalam nas (nas yang mengaturnya bersifat zhanniy) hukumnya dapat berubah sesuai dengan perubahan dan perkembangan zaman. Akan tetapi, dalam persoalan-persoalan yang telah ditegaskan hukumnya oleh nas (nas yang mengaturnya bersifat qath’iy) umumnya ulama tidak membolehkan perubahan penafsiran untuk disesuaikan dengan tuntutan dan perubahan kondisi.

Kapan sebuah hukum dapat berubah??
Berbeda dengan kebanyakan pendapat ulama di atas, yurisprudensi (keputusan-keputusan hukum berdasarkan ijtihad dan fatwa), Khalifah Umar ra menunjukkan kebolehan perubahan ketentuan hukum atau nas, jika kondisi atau kemashlahatan masyarakat menghendakinya. Berikut ini beberapa ketentuan yang membolehkan perubahan hukum sebagaimana terbaca dalam nas:

a. Kebolehan karena darurat (al-ibahah bi al-dharurah)
Salah satu prinsip kebijaksanaan hukum dalam Al-Qur’an adalah bahwa sesuatu yang semula hukumnya haram dapat berubah menjadi halal karena adanya faktor kedaruratan (terpaksa/hal yang dapat membahayakan hukum dharuriy). Adanya keadaan darurat menunjukkan bahwa Al-Qur’an memberikan kebijaksanaan di balik kepastian hukum yang telah ditetapkannya dengan maksud agar kemashlahatan manusia (al-mashlahat al-insaniyah) dapat terealisasi sejalan dengan keadaan dengan kadar kemampuan manusia.

b. Keringanan dalam kesulitan (al-rukhshah bi al-masyaqqah)
Perlu ditegaskan bahwa kemampuan manusia merupakan ukuran untuk dapat diterapkan secara sempurna suatu ketentuan hukum. Oleh karena itu, jika dalam proses pelaksanaan ketentuan hukum ditemukan keadaan yang menyulitkan (al-masyaqqah), maka berlaku hukum rukhshah, yakni pemberian keringanan dalam pelaksanaan hukum melalui penyimpangan dari ketentuan hukum semula (‘azimah). Hal ini ditegaskan dalam QS. Al-Nisa (4): 101 yang berbunyi, Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.
Ayat ini menjelaskan kebolehan memendekkan shalat di kala bepergian (safar) yang pada umumnya menimbulkan berbagai kesulitan dan kesusahan sehingga suatu kewajiban tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Tentang alasan atau illat adanya rukhshah seperti dapat dipahami dari ayat tersebut adalah karena dalam keadaan khauf (takut karena dalam keadaan berperang/gawat). Namun demikian, alasan kebolehan rukhshah tidak hanya karena khauf dan safar, bahkan dapat ditafsirkan kepada hal-hal yang lebih luas lagi yang mengandung unsur kesulitan. Keadaan darurat merupakan salah satu alasan kebolehan atau berlakunya rukhshah.

c. Kebijaksanaan dalam pelaksanaan hukum (al-‘uqubat)
Di dalam hukum Islam, setiap pelanggaran (al-jarimah) terdapat ancaman hukuman terhadap pelakunya (al-Jani). Namun demikian, jika dibandingkan antara ancaman hukum yang telah ditetapkan (hudud) dengan yang belum ada ketentuannya (ta’zir), maka peluang ta’zir lebih banyak dan lebih luas dari pada peluang untuk melaksanakan hukuman hudud. Sanksi jarimah hudud dalam al-Qur’an hanya dapat ditemukan secara pasti pada empat ayat yaitu ayat dua dan empat surat al-Nur (24) tentang hukuman bagi pezina (al-zani) dan penuduh zina (qazhf, al-muhshanat); ayat 33 dan 38 surat al-Maidah tentang hukuman pengacau dan pencuri. Sedangkan jarimah hudud lainnya yang telah disepakati para ulama, ketentuan saknsi hukumnya ditetapkan berdasarkan hadis. Demikian pula dalam jarimah qishash, ancaman hukumannya telah ditentukan, dapat berubah menjadi hukuman denda (diyat) yang ketentuannya (ukuran/kadar banyaknya) ditetapkan berdasarkan hadis dan ijtihad ulama.
Sebagai pentup bagian ini, menarik untuk dikaji komentar Abbas Mahmud al-Aqqad tentang tindakan atau fatwa khalifah Umar ra. yang secara tekstual menyalahi nas. Beliau menyatakan bahwa ijtihad Umar ra. tersebut bukanlah berarti bertentangan dengan nas, tetapi justru sejalan dengan nas. Karena pada prinsipnya konteks nas itu dapat dipisahkan dengan kondisi masyarakat. Tidak ada keharusan memaksakan kemutlakan hukum-hukum Islam secara utuh ke dalam masyarakat yang masih bervariasi. Dengan demikian, tindakan Abu Bakar ra. dan Umar ra. dalam mengumpulkan dan mengkodifikasikan al-Qur’an tidaklah bertentangan dengan nas dan maksud syariat. Sebab, sekalipun tidak secara jelas ditunjuk suatu nas, akan tetapi tuntutan kemashlahatan menghendaki adanya penetapan tersebut. Demikian pula tindakan Umar ra. (yang sering dinilai sebagai suatu tindakan kontroversial) sekalipun secara tekstual menyalahi al-Qur’an, akan tetapi dilihat dari ruh syariat, tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Tindakan Umar ra. merupakan upaya pemahaman terhadap hikmah tertentu yang terkandung di balik suatu nas. Wallahu a’lam bi as-shawab.