23 Juni 2008

Menuju Kemandirian Politik Perempuan

MENUJU KEMANDIRIAN POLITIK PEREMPUAN[1]

Siti Musdah Mulia[2]

So many men persistently claim for their rights for equity, but in the same time, they ignore the same rights for women. This is what we call the double standard and this is the reality in politics.

Pendahuluan

Pengalaman saya sebagai koordinator program pendidikan pemilih (voter education) yang diperuntukkan khusus bagi perempuan pemilih pada tingkatan akar rumput (grass root), menyongsong Pemilu tahun 1999 sangat relevan dikemukakan dalam kesempatan berharga ini. Program itu dilakukan di 16 propinsi, digagas oleh Muslimat NU, dalam rangka meningkatkan partisipasi politik perempuan, terutama di tingkat pedesaan di mana mayoritas perempuan berada. Program voter education yang dilakukan selama hampir setahun itu menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut. Meskipun Indonesia telah merdeka selama lebih dari setengah abad, namun perempuan pada umumnya belum memahami hak-hak asasi mereka dan potensi-potensi yang terkandung dibalik hak-hak tersebut, khususnya hak dalam bidang politik. Mereka juga belum mengerti makna demokrasi dan pentingnya Pemilu sebagai sarana untuk membangun masa depan Indonesia yang demokratis, serta kehidupan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Program itu juga menyadarkan bahwa pendidikan politik bagi perempuan tidak pernah diselenggarakan secara sungguh-sungguh dan sistemik. Struktur politik negara masa Orde Baru menegasikan hak politik perempuan sedemikian rupa, baik secara individual maupun kolektif. Akibatnya, perempuan mengalami depolitisasi yang luar biasa. Depolitisasi perempuan tercermin dari pertanyaan dan ungkapan yang spontan dilontarkan para peserta, seperti : Apakah boleh menyalahi pandangan orang tua dalam memilih partai ? Apakah sebagai isteri boleh memilih partai yang berbeda dengan suami ? Apakah tidak berdosa memilih partai yang berbeda dengan partai yang berkuasa ? Apakah boleh menyalahi pendapat para imam atau kyai di dalam memilih partai dalam Pemilu nanti ? Apa pentingnya perempuan berkiprah dalam politik ? Bukankah dunia politik itu kotor, kejam, dan penuh kekerasan sehingga tidak pantas ditekuni oleh perempuan ? Bukankah politik itu hanya milik kaum lelaki karena merekalah yang berhak menjadi pemimpin ?

Pengalaman riil dalam voter education itu menyimpulkan bahwa masalah perempuan dan politik di Indonesia terhimpun sedikitnya dalam tiga isu : keterwakilan perempuan yang sangat rendah di ruang publik ; komitmen partai politik yang belum sensitif gender sehingga kurang memberikan akses memadai bagi kepentingan perempuan ; dan kendala nilai-nilai budaya dan interpretasi ajaran agama yang bias gender dan bias nilai-nilai patriarki.[3]

Oleh karena itu, saya sungguh-sungguh mengapresiasi IRI (International Republican Institute) penyelenggara Konferensi Nasional hari ini dengan mengumpulkan para tokoh perempuan dalam bidang politik untuk bersama-sama memikirkan upaya-upaya mendasar bagi peningkatan partisipasi politik perempuan sekaligus juga meningkatkan kualitas dan kapabilitas para politisi perempuan. Harus ada upaya-upaya sistemik dan berkesinambungan membangun jejaring dan solidaritas yang kuat antar perempuan sehingga pada gilirannya nanti terbangun kemandirian perempuan dalam bidang politik sebagai salah satu syarat perwujudan civil society yang kuat.

Hak Politik Adalah Hak Asasi Manusia

Politik pada hakikatnya adalah kekuasaan dan pengambilan keputusan yang lingkupnya dimulai dari institusi yang paling kecil di lingkungan keluarga sampai ke institusi politik formal tertinggi dalam betuk kehidupan bernegara. Oleh karena itu, pengertian politik secara luas mencakup masalah-masalah pokok dalam kehidupan sehari-hari yang pada kenyataannya selalu melibatkan perempuan. Deklarasi New Delhi tahun 1997 menegaskan bahwa hak politik perempuan harus dipandang sebagai bahagian yang integral dari hak asasi manusia. Jika kita mengakui hak asasi manusia berarti kita pun harus mengakui hak politik perempuan. Hak politik perempuan tidak boleh dipisahkan dari hak asasi manusia.

Hak Asasi Manusia merupakan suatu konsep etika politik modern yang dibangun di atas sebuah kesadaran paling mendasar dalam sejarah kemanusiaan, yaitu kesadaran tentang pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Kesadaran ini membawa kepada sebuah tuntutan moral tentang bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya manusia. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa pembedaan dan diskriminasi atas dasar apa pun. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al-mustad'afin) dari tindakan dzalim dan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa. Karena itu, esensi dari konsep hak asasi manusia adalah penghormatan terhadap kemanusiaan seseorang tanpa kecuali dan tanpa ada diskriminasi berdasarkan apapun dan demi alasan apapun; serta pengakuan terhadap martabat manusia sebagai makhluk termulia di muka bumi.

Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development). Konsep HAM berakar pada penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk berharga dan bermartabat. Konsep HAM menempatkan manusia sebagai subyek, bukan obyek dan memandang manusia sebagai makhluk yang dihargai dan dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, jenis gender, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya. Sebagai makhluk bermartabat, manusia memiliki sejumlah hak dasar yang wajib dilindungi, seperti hak hidup, hak mengekspresikan pendapat, hak berkumpul, serta hak beragama dan hak berkepercayaan. Nilai-nilai HAM mengajarkan agar hak-hak dasar yang asasi tersebut dilindungi dan dimuliakan. HAM mengajarkan prinsip persamaan dan kebebasan manusia sehingga tidak boleh ada diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan terhadap manusia dalam bentuk apa pun.

Isu hak politik selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM),[4] ditemukan juga di dalam berbagai dokumen historis tentang HAM,[5] seperti dokumen Rights of Man France (1789), Bill of Rights of USA (1791) dan International Bill of Rights (1966). DUHAM menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi manusia dasar),[6] yaitu hak asasi manusia yang paling mendasar dan dikategorikan sebagai hak yang paling penting untuk diprioritaskan di dalam berbagai hukum dan kebijakan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hak-hak asasi manusia dasar itu adalah serangkaian hak yang memastikan kebutuhan primer material dan non-material manusia dalam rangka mewujudkan eksistensi kemanusiaan manusia secara utuh, yaitu manusia yang berharga dan bermartabat. Walaupun, secara eksplisit tidak dijumpai satu ketetapan atau penjelasan yang merinci tentang hak-hak apa saja yang termasuk di dalam basic human rights ini, namun, secara umum dapat disebutkan hak-hak asasi dasar tersebut mencakup hak hidup, hak atas pangan, pelayanan medis, kebebasan dari penyiksaan, dan kebebasan beragama.[7] Hak-hak itu, dan juga secara keseluruhan hak asasi manusia didasarkan pada satu asas yang fundamental, yaitu penghargaan dan penghormatan terhadap martabat manusia.[8]

Secara umum DUHAM yang diumumkan PBB tahun 1948 mengandung empat hak pokok. Pertama, hak individual atau hak-hak yang dimiliki setiap orang. Kedua, hak kolektif atau hak masyarakat yang hanya dapat dinikmati bersama orang lain, seperti hak akan perdamaian, hak akan pembangunan dan hak akan lingkungan hidup yang bersih. Ketiga, hak sipil dan hak politik, antara lain mernuat hak-hak yang telah ada dalam perundangan Indonesia seperti: hak atas penentuan nasib sendiri, hak memperoleh ganti rugi bagi mereka yang kebebasannya dilanggar; hak atas kehidupan, hak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menikmati hak sipil dan politik, hak seorang untuk diberi tahu alasan-alasan pada saat penangkapan, persamaan hak dan tanggung jawab antara suami-istri, hak atas kebebasan berekspresi. Keempat, hak ekonomi, sosial dan budaya, antara lain mernuat hak untuk menikmati kebebasan dari rasa ketakutan dan kemiskinan; larangan atas diskriminasi ras, wama kulit, jenis kelamin, gender, dan agama, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ekonomi, sosial dan budaya; hak untuk mendapat pekerjaan; hak untuk memperoleh upah yang adil bagi buruh laki-laki dan perempuan; hak untuk membentuk serikat buruh; hak untuk mogok; hak atas pendidikan: hak untuk bebas dari kelaparan.

Secara khusus, hak politik perempuan dalam DUHAM tertuang dalam pasal 2: “setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian apapun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.” Hak politik perempuan dinyatakan pula secara lebih rinci dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik pasal 25 dan 26. Kovenan ini telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Pemenuhan hak politik perempuan di Indonesia, di samping mengacu kepada instrumen internasional mengenai HAM, seperti dipaparkan sebelumnya, juga harus mengacu kepada Pancasila sebagai ideologi negara, konstitusi (khususnya UUD 1945 hasil amandemen kedua, pada pasal-pasal 28 A sampai J tentang Hak Asasai Manusia), dan sejumlah undang-undang lainnya yang berkaitan dengan penegakan HAM. Di antaranya, UU No. 68 Tahun 1958 tentang Ratifikasi Konvensi PBB tentang Hak Politik Perempuan, UU No. 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (khususnya pasal-pasal 7-8), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (khususnya pasal-pasal 43, 45-51), UU No. 29 Tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, UU No. 23 Tahun 2003 tentang perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi Kovenan Internasional tentang pemenuhan hak-hak sipil dan politik dari seluruh warga negara tanpa kecuali (khususnya pasal-pasal 25-26).

Membangun Sistem Politik Bebasis Pengalaman Perempuan

Data menunjukkan jumlah penduduk Indonesia berkisar 211 juta jiwa dengan prediksi jumlah perempuan sekitar 50,2 %. Akan tetapi, hasil Pemilu 2004 yang dinilai paling demokratis selama ini, tetap tidak mampu mengubah potret keterwakilan perempuan dalam struktur kekuasaan dan proses pengambilan keputusan serta perumusan kebijakan publik pada ketiga lembaga formal negara: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Khusus di legislatif, pada tataran DPR-RI, perempuan caleg melebihi 30%, namun terpilih hanya 11%, sementara calon perempuan perorangan di DPD tidak sampai 10% dan terpilih malah 21%. Adapun di tingkat DPRD Propinsi rata-rata hanya 8%, dan lebih rendah lagi di tingkat DPRD Kabupaten/Kota, yaitu rata-rata hanya 5%. Bahkan, dijumpai sejumlah DPRD Kabupaten/Kota yang tidak ada anggota legislatif perempuan.

Selanjutnya, data keterwakilan perempuan Indonesia pada tingkat dunia dapat dibaca pada laporan International Parliamentarian Uion (IPU) tahun 2006. Laporan ini menjelaskan posisi Indonesia berada pada rangking ke 89 di antara 186 negara, jauh dibawah posisi Afghanistan, Vietnam, Timor Leste, Pakistan dan Cina.

Pertanyaan mendasar adalah mengapa keterwakilan perempuan dalam jabatan publik, termasuk dalam bidang politik sangat rendah? Salah satu jawaban yang dapat dikemukakan adalah hasil kajian hukum, dilakukan oleh Pusat Pemberdayaan Perempuan Dalam Politik bekerjasama dengan Pusat Penelitian Politik LIPI tahun 2006. Kajian tersebut menyimpukan bahwa rendahnya keterwakilan perempuan dalam ruang publik terutama disebabkan oleh ketimpangan struktural dan sosio-kultural masyarakat dalam bentuk pembatasan, pembedaan, dan pengucilan yang dilakukan terhadap perempuan secara terus-menerus, baik formal maupun non-formal, baik dalam lingkup publik maupun lingkup privat (keluarga). Dampaknya, kelompok perempuan, baik sebagai warga negara maupun sebagai anggota masyarakat yang dijamin mempunyai hak yang sama dengan laki-laki tidak terlibat dalam upaya-upaya konkret menentukan prioritas dan pengalokasian sumber-sumber pembangunan. Demikian pula, mereka belum sepenuhnya mendapatkan manfaat dari hasil pembangunan selama ini. Kondisi memprihatinkan itu tergambar dalam capaian indikator pembangunan untuk bidang-bidang strategis, seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi dan ketenagakerjaan.

Di samping itu, secara internal rendahnya keterwakilan perempuan dalam jabatan politik juga disebabkan tidak banyak perempuan tertarik pada dunia politik. Mengapa? Jawabnya, simpel saja. Sebab, masyarakat masih menganut pemilahan yang tegas antara ruang publik dan ruang domestik. Ruang publik di mana aktivitas politik berlangsung selalu digambarkan berkarakter maskulin: keras (tough), rasional, kompetitif, tegas, serba “kotor” dan menakutkan sehingga hanya pantas buat laki-laki. Sebaliknya, ruang domestik selalu dilukiskan berkarakter feminin: lemah lembut, emosional, penurut, pengalah. Seakan meyakinkan bahwa tugas tersebut hanya cocok dan mulia bagi perempuan: sebagai istri, ibu atau pengurus rumah tangga. Pandangan bias gender inilah yang secara sengaja dan sistemik dikonstruksikan di masyarakat melalui sosialisasi nilai-nilai budaya, institusi media, lembaga pendidikan, dan peraturan perundang-undangan. Lebih fatal lagi karena segregasi yang ketat antara ruang publik dan privat tersebut juga dilanggengkan dalam interpretasi ajaran berbagai agama yang hidup di masyarakat.[9]

Konsekuensi logis dari hal demikian, tidak banyak perempuan berminat atau tertarik memasuki partai politik atau berkiprah di dunia politik. Apalagi berambisi merebut posisi sebagai pemimpin atau penentu kebijakan dan pengambil keputusan yang memerlukan ketegasan dan sikap rasional. Apa yang terjadi kemudian? Semua kepentingan, aspirasi dan kebutuhan perempuan yang memang beda dengan laki-laki, tidak terangkat, tidak diakui, tidak dihargai, bahkan terabaikan dan tidak terpenuhi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Sementara itu, sejumlah analisis mengungkapkan bahwa perilaku politik setidaknya membutuhkan tiga karakteristik, yakni kemandirian, kebebasan berpendapat, dan tindakan agresif. Sayangnya, ketiga karakteristik tersebut tidak pernah dianggap ideal dalam diri perempuan. Masyarakat umumnya selalu memandang perempuan yang mandiri, berani mengemukakan pendapat, dan agresif sebagai orang yang tidak dapat diterima atau tidak diinginkan. Dengan ungkapan lain, perempuan dengan karakter seperti itu bukan tipe perempuan ideal. Karena itu, ketiga karakter ini memang tidak pernah diharapkan muncul pada diri seorang perempuan.

Dunia politik sesungguhnya identik dengan dunia kepemimpinan. Berada dalam posisi sebagai pemimpin, perempuan mengalami lebih banyak hambatan ketimbang laki-laki. Mengapa? Karena perempuan harus selalu membuktikan bahwa dirinya sungguh-sungguh mampu, memang pantas dan dapat diandalkan. Mari simak penuturan seorang walikota perempuan:“Aku kerap dikritik atas beberapa komentar yang agak menyinggung perasaan yang selanjutnya meledak menjadi pergunjingan publik. Tidak sebagaimana laki-laki dalam posisi yang sama, semua pernyataan mereka seringkali berlalu tanpa tantangan.” Artinya, sejumlah kendala primordial masih menghadang kaum perempuan dalam berkiprah di dunia politik. Di antaranya, persoalan seksime. Bagi politisi laki-laki hampir-hampir tidak menemukan kendala yang berarti berkaitan dengan penampilan fisik mereka, sementara perempuan lebih banyak dinilai berkaitan dengan penampilan fisik mereka, misalnya soal model rambut, model giwang, cara berjalan, cara berbusana, setelah itu baru cara berfikir. Di samping itu, persoalan keluarga sangat berpotensi menimbulkan isu sensitif bagi politisi perempuan dibandingkan dengan politisi laki-laki.

Berdasarkan pengalaman selama ini, paling tidak ada tiga unsur yang merajut kepemimpinan dalam diri seseorang, yaitu kekuasaan, kompetensi diri, dan agresi kreatif. Kekuasaan sebagai unsur paling penting dalam membangun kemampuan memimpin seseorang selalu didefinisikan dengan ciri yang maskulin, yaitu kekuatan atau ketegaran atau kemampuan bertindak yang diperlukan guna mencapai sesuatu demi tujuan yang lebih besar. Persoalannya, keluarga dan masyarakat tidak pernah mempersiapkan perempuan secara serius dan sungguh-sungguh untuk membangun kualitas kekuasaan dalam diri mereka. Lalu, bagaimana mungkin anak perempuan dapat bermimpi menjadi pemimpin bila mereka tidak memiliki gambaran kultural yang mampu membimbing mereka? Tidak heran jika kebanyakan perempuan mengalami kesulitan membebaskan diri dari berbagai pengaruh kultural patriarkal untuk berkiprah dalam dunia kekuasaan, seperti menjadi politisi.

Perempuan ternyata kurang menginginkan kekuasaan manakala yang dilanggengkan di masyarakat adalah gagasan kekuasaan versi laki-laki yang sarat dengan ciri-ciri keperkasaan, kejantanan, dan kekerasan. Karena itu, sudah saatnya mempromosikan kekuasaan menurut definisi perempuan. Yakni, kekuasaan yang mencakup kemampuan memberdayakan, kemampuan memelihara dan menciptakan masyarakat yang lebih harmoni dan bermartabat. Dengan demikian definisi baru kekuasaan merupakan gabungan dari ciri-ciri maskulin dan feminin yang dapat dicapai oleh keduanya: laki-laki dan perempuan.

Ke depan kita perlu mensosialisasikan pengertian baru tentang kekuasaan yang tidak selamanya bernuansa maskulin sehingga perempuan tidak harus mengeliminir unsur-unsur feminitas dalam dirinya untuk menggapai kekuasaan. Perempuan tidak harus menolak gaya feminin dan kemudian berperilaku sebagai laki-laki untuk berkuasa dan supaya diterima sebagai pemimpin. Sesungguhnya perempuan ketika berada di rumah tangga atau dalam kehidupan keluarga lebih banyak menjalankan peran kekuasaan dan peran pengambilan kebijakan. Sebab, kebanyakan ibu adalah figur yang berkuasa di rumah tangga. Ibu menggunakan kekuasaan yang nyata dalam peranannya sebagai pengatur keluarga dan pengambil kebijakan. Pengalaman di rumah tangga dapat dijadikan referensi untuk menjalankan kekuasaan dan merebut posisi kepemimpinan di lingkungan yang lebih besar dan rumit, seperti negara. Bagi umumnya perempuan, kekuasaan itu lebih dimaknai dengan keinginan mensejahterakan orang lain, persis seperti keinginan seorang ibu membimbing keluarganya.

Sudah waktunya dikembangkan suatu konsep mengenai kekuasaan yang berciri feminin, yang berbeda dengan kekuasaan laki-laki yang selama ini menjadi acuan semua pihak. Kekuasaan dalam konsep feminin adalah kekuasaan yang penuh dilimpahi kasih sayang. Kekuasaan semacam ini tidak berpusat pada diri sendiri melainkan lebih diarahkan untuk mencapai suatu tujuan yang lebih mulia bagi banyak orang. Dengan demikian, konsep kekuasaan yang berciri feminin mengintegrasikan kualitas perempuan dengan beberapa karakteristik laki-laki dan kedua atribut itu mempunyai nilai yang sama. Dengan ungkapan lain, kualitas laki-laki dan kualitas perempuan tidaklah bertentangan. Sebab, dalam kelembutan dan kasih sayang perempuan, justru terpendam kekuatan yang dahsyat.

Selain itu, kekuasaan berciri feminin mencakup gagasan memberdayakan orang lain, bukan merusak orang lain. Sebaliknya, gagasan yang selama ini digunakan adalah bahwa untuk berkuasa, seseorang harus rela menginjak orang lain. Kekuasaan hendaknya dimaknai sebagai kemampuan melaksanakan sesuatu yang berguna bagi orang lain. Untuk itu, jabatan hendaknya ditafsirkan sebagai sarana untuk memberdayakan orang lain, bukan menghancurkan atau memperdayakan. Dengan demikian kekuasaan perempuan mencakup nalar, tujuan, agenda yang hedak dicapai. Sidney Verba dari Universitas Harvard menegaskan bahwa sumbangan terpenting dari perempuan di dunia politik adalah bahwa mereka lebih berminat mengerjakan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat luas daripada memperluas lingkup kekuasaan mereka sendiri.[10] Artinya, politisi perempuan cenderung memikirkan agenda politik yang berdampak pada pemenuhan kesejahteraan masyarakat luas ketimbang memikirkan kepentingan khusus mereka.

Dengan mengembangkan definisi kekuasaan yang berbasis pengalaman perempuan, perempuan dapat menjadi politisi yang handal. Politisi yang tidak akan menyakiti hati lawan politiknya, apa pun alasannya. Politisi yang tidak akan menggunakan intrik politik sebagaimana biasa digunakan oleh laki-laki. Seorang politisi perempuan dapat mengasah sisi keibuannya yang selalu tanggap terhadap kebutuhan orang lain untuk menyelesaikan setiap agenda politiknya. Bukankah kekuasaan itu pada intinya adalah kemampuan menyelesaikan masalah?

Selanjutnya, menghadapi dominasi nilai-nilai budaya patriarki dan situasi diskriminatif, agenda perempuan dalam politik hendaknya dimulai dari kegiatan-kegiatan penyadaran (awareness rising). Terutama mengubah cara pandang dan pola pikir (mindset) seluruh masyarakat (laki-laki dan perempuan) tentang pentingnya prinsip-prinsip demokrasi yang menjamin kesetaraan, hak asasi manusia, supremasi hukum dan keadilan.

Islam Menjamin Hak Politik Perempuan

Bagian ini perlu saya singgung mengingat masih kuatnya anggapan di masyarakat bahwa Islam sebagai agama kelompok mayoritas di Indonesia, membatasi hak-hak politik perempuan. Akibatnya, atas nama Islam perempuan dipinggirkan dari dunia politik atau dibatasi akses dan kesempatannya meraih jabatan strategis dalam politik. Persoalan agama juga menjadi sangat penting dibahas karena justifikasi agama sering membuat politisi perempuan tidak berkutik.

Sebagai perempuan Muslim saya yakin sepenuhnya bahwa Islam adalah agama ideal dan sangat sempurna. Ajarannya mencakup semua tuntunan luhur bagi kehidupan manusia di muka bumi dalam semua bidang, tak terkecuali bidang politik. Tujuan Islam tidak lain agar manusia selamat dan bahagia dalam kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat yang kekal dan abadi. Saya percaya Islam menjanjikan harapan hidup yang lebih baik kepada semua manusia tanpa membedakan ras, suku, bangsa, warna kulit, jenis kelamin, dan jender: laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, Islam paling vokal bicara soal keadilan dan persamaan antar manusia, termasuk di dalamnya persamaan antara laki-laki dan perempuan.

Al-Qur`an, kitab suci umat Islam, sebagaimana halnya kitab-kitab suci agama lain, diturunkan dalam suatu lingkup masyarakat yang tidak hampa budaya. Karena itu, kitab suci memiliki dimensi kemanusiaan, di samping dimensi keilahian. Diyakini teks-teks Al-Qur`an sarat dengan muatan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan ideal. Dalam konteks relasi gender Al-Qur’an berisi seperangkat nilai yang memberikan landasan bagi kesetaraan dan kesederajatan laki-laki dan perempuan. Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan adalah sama. Perbedaan di antara manusia hanya terletak pada kualitas takwanya, [11] dan soal takwa hanya Tuhan yang berhak menilai, bukan manusia.

Perlu diketahui bahwa ajaran Islam terpola kepada ajaran dasar dan non-dasar. Ajaran dasar ialah ajaran yang termaktub dalam Al-Qur`an dan Sunnah mutawatir yang diyakini datang dari Allah dan Rasul-Nya. Sebaliknya, ajaran non-dasar ialah ajaran berupa hasil ijtihad manusia dalam bentuk tafsir, interpretasi atau pemikiran ulama yang menjelaskan tentang ajaran dasar dan implementasinya dalam kehidupan nyata. Yang pertama bersifat absolut, abadi, dan tidak berubah. Sebaliknya ajaran kedua bersifat ijtihadi, relatif, tidak abadi dan bisa berubah seiring dengan tuntutan dinamika masyarakat, serta perkembangan sains dan teknologi. Menariknya, sebagian besar ajaran Islam, khususnya ajaran yang menyinggung soal relasi gender, seperti perkawinan, pewarisan, busana perempuan, kepemimpinan perempuan justru masuk dalam kategori kedua, ajaran non-dasar, yakni lebih banyak bersifat ijtihadi.[12] Untuk itu, diperlukan pembacaan ulang dan upaya-upaya rekonstruksi atas hasil ijtihad atau penafsiran lama yang dinilai bias gender dan bias nilai-nilai patriarki. Penafsiran baru atas teks-teks keagamaan mendesak dilakukan untuk menemukan kembali pesan-pesan keislaman yang hakiki dan universal, seperti pesan persamaan, persaudaraan, kebebasan, kesetaraan dan keadilan, termasuk di dalamnya kesetaraan dan keadilan gender.

Secara normatif Al-Qur`an melukiskan figur ideal seorang perempuan sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan, terutama kemandirian dalam bidang politik (al-istiqlal al-siyasah), seperti figur Ratu Bulqis. Al-Qur`an menyebutnya sebagai pemimpin kerajaan superpower ('arsyun 'azhim) yang dikenal dengan kerajaan Saba'.[13] Bahkan, Al-Qur'an menghimbau perempuan agar berani menyampaikan kebenaran,[14] sekalipun harus menentang pendapat publik (public opinion),[15] dan berani melakukan gerakan "oposisi" terhadap pemerintah yang tiranik. Perempuan harus mandiri dalam menentukan pilihan pribadi (al-istiqlal al-syakhshi) yang diyakini kebenarannya sekalipun berbeda dengan pandangan suami.[16] Ringkasnya, dalam jaminan Al-Qur'an, perempuan dapat dengan leluasa memasuki semua sektor kehidupan di masyarakat: politik, ekonomi, dan sektor publik lainnya tanpa pembatasan sedikit pun.

Sayangnya ajaran ideal dan luhur Al-Qur'an itu tidak terimplementasi dengan baik dalam kehidupan umat Islam. Mengapa? Sebab, ketika ajaran yang suci itu turun ke bumi dan berinteraksi dengan beragam budaya manusia timbul distorsi, dan itulah yang terjadi dengan ajaran Islam yang berbicara soal relasi gender. Pemahaman yang distortif itu muncul, karena beberapa faktor. Di antaranya karena pemaknaan ajaran agama yang sangat tekstual sehingga mengabaikan aspek kontekstualnya; karena perbedaan tingkat intelektualitas manusia; dan karena pengaruh latar belakang sosio-kultural dan sosio-historis manusia yang menafsirkannya.

Dalam konteks ajaran tentang posisi perempuan, disimpulkan paling tidak ada tiga alasan yang menyebabkan munculnya pemahaman keagamaan yang tidak ramah perempuan atau bias gender. Pertama, pada umumnya umat Islam lebih banyak memahami agama secara dogmatis, bukan berdasarkan penalaran yang kritis dan rasional, khususnya pengetahuan agama yang menjelaskan peranan dan kedudukan perempuan. Tidak heran jika yang muncul adalah pemahaman yang ahistoris. Kedua, pada umumnya masyarakat Islam memperoleh pengetahuan keagamaan melalui ceramah verbal dari para ulama yang umumnya sangat bias gender dan bias nilai-nilai patriarkhal, bukan berdasarkan kajian mendalam dan pemahaman holistik terhadap sumber-sumber aslinya (Al-Qur`an dan Sunnah). Ketiga, interpretasi agama tentang relasi laki-laki dan perempuan di masyarakat lebih banyak mengacu kepada pemahaman tekstual terhadap teks-teks suci sehingga mengabaikan pemahaman kontekstual yang lebih mengedepankan prinsip egaliter dan akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Agama bukan hanya sekedar tumpukan teks, melainkan seperangkat pedoman ilahiah yang diturunkan demi kebahagiaan dan kemaslahatan manusia : perempuan dan laki-laki.

Sejarah Islam awal menunjukkan secara konkret betapa Rasul telah melakukan perubahan radikal terhadap posisi dan kedudukan perempuan dalam masyarakat Arab jahiliyah abad ke-7 M. Rasul mengajarkan keharusan merayakan kelahiran bayi perempuan di tengah tradisi Arab yang memandang aib kelahiran bayi perempuan. Rasul memperkenalkan hak waris bagi perempuan di saat perempuan diperlakukan hanya sebagai obyek atau bagian dari komoditas yang diwariskan. Rasul menetapkan pemilikan mahar sebagai hak penuh perempuan dalam perkawinan pada saat masyarakat memandang kepemilikan mahar adalah hak monopoli orang tua atau wali perempuan. Rasul melakukan koreksi total terhadap praktek poligami yang biadab dan sudah mentradisi dengan mencontohkan perkawinan monogami bersama Khadijah, perempuan yang sangat dihormatinya. Bahkan, sebagai ayah, Rasul melarang anak perempuannya, Fatimah dipoligami. Rasul memberi kesempatan kepada perempuan menjadi imam shalat di kala masyarakat memposisikan hanya laki-laki sebagai pemuka agama. Rasul mempromosikan posisi ibu yang sangat tinggi, bahkan derajatnya lebih tinggi tiga kali dari ayah di tengah masyarakat yang memandang ibu tak lebih sebagai mesin produksi. Rasul menempatkan isteri sebagai mitra sejajar suami di saat masyarakat memandangnya sebagai obyek seksual belaka.

Fakta historis tersebut melukiskan secara terang-benderang bahwa Rasul melakukan perubahan radikal, bahkan sangat radikal terhadap posisi dan kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat. Rasul mengubah posisi dan kedudukan perempuan dari obyek yang dihinakan dan dilecehkan menjadi subyek yang dihormati dan diindahkan. Mengubah posisi perempuan yang subordinat, marjinal dan inferior menjadi setara dan sederajat dengan laki-laki. Rasul memproklamirkan keutuhan kemanusiaan perempuan setara dengan laki-laki. Keduanya sama-sama ciptaan Tuhan, sama-sama manusia, sama-sama berpotensi menjadi khalifah fi al-ardh (pengelola kehidupan di bumi), dan juga sama-sama berpotensi menjadi fasad fi al-ardh (perusak di muka bumi). Nilai kemanusiaan laki-laki dan perempuan sama, tidak ada perbedaan sedikit pun. Karena itu, tugas manusia hanyalah ber- fastabiqul khairat (berlomba-lomba berbuat terbaik) membangun masyarakat yang adil dan sejahtera demi mengharapkan ridha Allah swt.

Penutup

Perjuangan perempuan Indonesia menuju kemandirian politik masih sangat panjang, tetapi perempuan tidak boleh apatis dan bersikap skeptis. Lalu apa yang harus dilakukan? Saya menyodorkan empat hal, sebagai berikut.

Pertama, menggalang networking antar-kelompok perempuan dari berbagai elemen sebagaimana dilakukan melalui Konferensi Nasional hari ini. Perjuangan menuju sukses selalu membutuhkan strategi yang jitu dan solidaritas yang kuat. Networking ini diperlukan terutama dalam upaya membangun struktur politik yang ramah perempuan melalui upaya-upaya revisi semua peraturan perundang-undangan dan kebijakan politik yang diskriminatif dan tidak memihak perempuan. Di antaranya, revisi UU Partai Politik, UU Pemilu, UU Susduk, UU Pilpres, dan UU Pemda. Networking ini juga diperlukan dalam mewujudkan komitmen partai yang sensitif gender, serta advokasi jaminan hukum partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik.

Kedua, kelompok perempuan harus berani mendorong dan melakukan upaya-upaya rekonstruksi budaya, khususnya mengubah budaya patriarki yang sangat kental di masyarakat menjadi budaya yang mengapresiasi keseteraan gender dan kesederajatan perempuan dan laki-laki dalam seluruh aspek kehidupan. Melalui upaya rekonstruksi budaya ini diharapkan di masa depan tidak ada lagi image yang buruk terhadap dunia politik; tidak ada lagi pemilahan bidang kerja: publik dan privat, berdasarkan jenis kelamin; dan tidak ada lagi stereotip terhadap perempuan yang memilih aktif di dunia politik.

Ketiga, kelompok perempuan harus berani mendorong dan melakukan upaya-upaya reinterpretasi ajaran agama sehingga terwujud penafsiran agama yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, penafsiran agama yang ramah terhadap perempuan dan yang pasti penafsiran agama yang rahmatan lil alamin, ajaran yang menebar rahmat bagi seluruh makhluk tanpa pengecualian.

Keempat, secara internal perempuan itu sendiri harus selalu berupaya meningkatkan kapasitas dan kualitas diri mereka melalui pendidikan dalam arti yang luas. Selain itu, perempuan harus tulus mengapresiasi prestasi dan karya sesamanya perempuan, serta tulus mewujudkan sikap saling mendukung di antara mereka. Harus ada upaya bersama secara sinergis meningkatkan kualitas diri perempuan dalam bidang politik. Sebab, keunggulan dan kesuksesan dalam bidang apa pun tidak pernah datang secara tiba-tiba dari langit, melainkan semuanya harus diperjuangkan secara sungguh-sungguh. Last but not least, dalam peningkatan kapasitas ini perempuan juga harus meningkatkan kemampuan spiritualitas mereka. Diharapkan dengan kekuatan spiritualitas itu politisi perempuan dapat menghindari permainan politik yang tidak etis, kotor, culas dan keji, tidak manusiawi, serta merugikan masyarakat luas. Women can make a difference !!



[1] Disampaikan pada acara Pendidikan Politik yang diselenggarakan oleh DPP Ormas Perempuan Peduli Bangsa pada 21 Mei 2008 di Jakarta.

[2] Profesor Riset bidang Lektur Keagamaan dan Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

[3] Penjelasan lebih rinci soal ini dapat dilihat pada Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan, Mizan, Bandung, 2005.

[4] DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) merupakan pernyataan definitif yang pertama tentang 'hak asasi manusia' dan yang menyebutkan secara jelas hak-hak itu yang bersifat universal. Dokumen ini adalah kesepakatan internasional yang ditanda-tangani oleh para pihak (negara) yang menjadi anggota PBB. Walaupun demikian, kesepakatan tersebut tidak mengikat secara hukum (not legally binding) dan tidak menyediakan perlindungan yang dapat dipaksakan.

[5] Dalam hal ini Groome menyebutkan sejumlah dokumen historis, yaitu: (1) Magna Charta (1215); (2) Bill of Rights England (1689); (3) Rights of Man France (1789); (4) Bill of Rights USA (1791); (5) Rights of Russian People (1917); dan (6) International Bill of Rights (1966).

[6] Paragraf pertama dari DUHAM menyatakan: 'Menimbang bahwa penegakan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. Lihat Gunawan Sumodiningrat dan Ibnu Purna (ed), Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia 2004-2009, Jakarta, 2004, h. 9.

[7] Conde, 1999: 11.

[8] Groome, 1999: 4

[9] Ulasan yang luas mengenai hal ini dapat dilihat pada Siti Musdah Mulia dan Anik Farida, Perempuan dan Politik, Gramedia, Jakarta, 2005.

[10]Sidney Verba, “Women in American Politics”, Bagian penutup dalam Women, Politics, and Change. Louise A. Tilly dan Patricia Gurin, Russel Sage Foundation, New York, 1990, h. 55-72.

[11]Q.S, al-Hujurat, 49:13

[12] Ijtihad adalah suatu usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami ajaran Islam, memahami hukum-hukum yang terkandung di balik teks-teks suci, baik dari Al-Qur’an maupun hadis Nabi dengan menggunakan aturan-aturan yang telah disepakati ulama. Walaupun demikian, ijtihad atau hasil rekayasa cerdas para ulama dalam bentuk tafsir dan interpretasi tersebut tetap bernilai relatif, tidak mutlak. Karenanya, tetap terbuka ruang untuk perubahan, revisi dan reinterpretasi.

[13] Q.S. al-Mumtahanah, 60:12 dan al-Naml, 27:23.

[14] Q.S. .al-Taubah, 9:71.

[15] QS. al-Tahrim, 66:12

[16] Q.S. al-Tahrim, 66:11.

Teologi Anti Kekerasan

TEOLOGI ANTI KEKERASAN

Siti Musdah Mulia

Percaya atau tidak! Doa yang paling banyak diucapkan umat Islam adalah Allahumma anta al-salam wa minka as-salam wa ilayka ya‘udu as-salam fa hayyina rabbana bi as-salam wa adkhilna jannata daara as-salam, tabarakta rabbana wa ta‘alayta yaa zal Jalaali wa al-ikraam. (Ya Allah Engkaulah Yang Maha Damai, Engkaulah sumber kedamaian, kepada-Mu lah kembali kedamaian, hidupkanlah kami di dunia dengan penuh kedamaian, dan masukkanlah kami kelak ke surga-Mu, negeri penuh kedamaian, Maha Suci Engkau, Maha Mulia, Maha Sempurna, dan Maha Pemurah).

Di lingkungan pesantren, terutama pesantren klasik, biasanya sehabis menunaikan shalat maghrib berjamaah, sejumlah wirid dipanjatkan sebelum doa bersama. Doa tersebut merupakan bacaan favorit kalangan pesantren. Di dalamnya disebut berulang kali salah satu dari al-asma’ al-husna, yakni al-salam (Maha Damai).

Kata Islam dan al-Salam berasal dari akar kata yang sama, salima, yang berarti kedamaian, keselamatan dan keterhindaran dari segala yang tercela. Muslim berarti manusia yang cinta damai. Disebut Muslim jika perilaku selalu terkendali, jauh dari kekerasan, baik ucapan apalagi tindakan. Muslim sejati selalu menimbulkan rasa damai bagi orang-orang di sekitarnya. Memang tidak mudah menjadi Muslim sejati, karena godaan untuk berbuat kekerasan seringkali lebih besar dari motivasi merajut damai.

Islam secara teologis merupakan rahmat bagi seluruh alam. Ajarannya mengandung nilai-nilai universal yang meliputi semua aspek kehidupan manusia, meliputi persoalan manusia sejak sebelum dilahirkan sampai ke saat kematian. Dari aspek hukum, Islam meliputi berbagai persoalan manusia, baik dalam kapasitasnya sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Dari aspek psikologis, ajarannya memberikan ketenteraman lahir batin. Dan dari aspek antropologi ajarannya ditujukan kepada semua bangsa dan masyarakat.

Islam amat menonjolkan ajaran persamaan antarsesama manusia. Seluruh ajarannya mengedepankan persamaan nilai dan derajat kemanusiaan (Q.S. al-Hujurat, 49:13). Kalaupun dalam realitas, terlihat ada perbedaan di antara mereka, perbedaan itu tidaklah dimaksudkan untuk saling menindas, mendiskriminasi, dan bermusuhan. Perbedaan dibuat untuk tujuan luhur, yaitu saling mengenal agar timbul saling pengertian (mutual understanding); dan sekaligus menguji siapa lebih bertakwa kepada-Nya.

Manusia hanya dibedakan dari aspek prestasi dan kualitas takwanya dan bicara soal takwa Allah semata berhak menilai, bukan manusia. Manusia hanya berfastabiqul khairat (berlomba berbuat terbaik). Demikian ajaran yang termaktub dalam teks-teks suci ajaran Islam. Namun, ketika ajaran luhur itu turun ke bumi dan diimplementasikan dalam kehidupan manusia, terjadilah distorsi, baik sengaja atau tidak. Sebagian manusia mendapatkan perlakuan tidak sama, diskriminasi, dan bahkan mengalami kekerasan atas nama agama karena perbedaan tafsir, pemahaman agama, perbedaan aliran, dan seterusnya.

Ajaran Islam, seperti termuat dalam kitab suci Al-Qur’an, sarat dengan nilai-nilai yang dapat dikembangkan sebagai basis teologi anti-kekerasan, ajaran toleransi dan pluralisme keagamaan modern. Salah satunya dapat diambil dari ayat berikut: “Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,” (Q.S. al-Maidah, 5:48). Ajakan dalam ayat tersebut sejalan dengan firman Allah: ...”bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku (Q.S. al-Kafirun, 109:6). Penegasan tersebut merefleksikan satu komimen bahwa masing-masing kelompok keagamaan dapat melaksanakan apa yang dianggapnya benar, tanpa memutlakkan pendapat dan memaksakannya kepada orang lain.

Pengalaman sejarah Islam masa-masa awal membuktikan betapa besar resistensi penduduk Mekkah terhadap ajaran Islam. Namun, menghadapi resistensi berlebihan itu, Allah hanya memerintahkan Nabi membacakan firman-Nya: “Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". Katakanlah: "Tuhan kita akan mengumpulkan kita semua, kemudian Dia memberi keputusan dengan benar. Dia-lah Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui” (Q.S. Saba’, 34: 24-26).

Ayat itu menyiratkan komitmen anti-kekerasan dan ajaran toleransi yang sangat tinggi. Nabi tidak diperintahkan menyatakan absolusitas kebenaran ajarannya, tetapi justru sebaliknya. Nabi diperintahkan menjawab: Mungkin kami yang benar, mungkin pula kamu yang benar. Mungkin juga kami salah, mungkin pula kamu keliru. Di antara kita tidak pasti mana yang benar dan mana yang salah. Kita serahkan saja pada Tuhan untuk memutuskannya karena Dia-lah yang Maha Benar. Jadi, Nabi tidak diperkenankan melakukan pemaksaan, apa lagi kekerasan. Sebab, kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah. Kekerasan bukan solusi. Bahkan, kekerasan selalu berujung pada munculnya kekerasan baru yang boleh jadi lebih dahsyat lagi.

Mari simak ayat berikut: Jika Tuhanmu menghendaki tentunya semua manusia yang ada di muka bumi akan beriman. Lalu apakah kamu berkeinginan memaksa manusia, di luar kesediaan mereka sendiri untuk beriman? (Q.S. Yunus, 10:99). Ayat ini intinya menyadarkan Nabi, betapa ia sendiri tidak berpretensi memaksa manusia menerima dan mengikuti ajarannya: Ayat itu jelas mengecam perilaku kekerasan apa pun alasannya.

Menarik dicatat, ada penegasan Al-Qur’an bahwa keselamatan akan tercurah kepada semua pengikut kitab suci mana pun, asalkan mereka memiliki tiga syarat: percaya kepada Allah swt, hari akhirat, dan berbuat baik (Q.S. al-Baraqah, 2:62). Cyril Glasse, seorang teolog terkenal, mengagumi isi ayat tersebut. Sebab, di dalamnya disebutkan juga keselamatan bagi umat beragama lain, dan memandang pengakuan itu sebagai kejadian luar biasa dalam sejarah agama-agama.

Akhirnya, apa yang harus dilakukan? Paling tidak ada tiga hal: Pertama, perlu upaya-upaya rekonstruksi budaya melalui jalur pendidikan dalam arti seluas-luasnya, baik pendidikan formal, non-formal maupun informal. Tujuannya, mengubah masyarakat; dari berbudaya eksklusif, intoleran, dan senang kekerasan menuju inklusif, toleran, cinta damai dan pluralis. Kedua, merevisi sejumlah undang-undang dan peraturan yang tidak kondusif bagi terwujudnya sikap damai dan saling menghargai di antara sesama manusia dan warga bangsa di tanah air. Ketiga, reinterpretasi ajaran agama sehingga yang tersosialisasi di masyarakat hanyalah ajaran yang membebaskan manusia dari belenggu kebencian dan kekerasan; ajaran yang akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Wa Allah a'lam bi as-shawab.

22 Juni 2008

Memaknai Jilbab

MEMAHAMI JILBAB DALAM ISLAM

Siti Musdah Mulia[1]

Memahami agama dari perspektif yang luas akan menuntun seseorang menjadi lebih arif dan lebih bijaksana dalam merespon berbagai bentuk sikap dan perilaku keagamaan dari para pemeluk agama. Perlu dicatat bahwa agama bukanlah hanya terdiri dari setumpukan teks-teks suci, melainkan juga mengandung pesan-pesan moral yang dapat diketahui melalui perenungan dan pembahasan secara mendalam dari berbagai perspektif, tak terkecuali dari perspektif psikologis. Itulah salah satu alasan mengapa buku ini menjadi penting dibaca oleh siapapun yang ingin mendalami soal jilbab.

Jumlah perempuan berjilbab di Indonesia semakin meningkat akhir-akhir ini, apakah itu lalu berarti tingkat keagamaan masyarakat pun mengalami peningkatan?? Yang pasti ada banyak alasan mengapa perempuan berjilbab. Sebagian memutuskan berjilbab setelah melalui perjuangan panjang dan akhirnya meyakini bahwa itulah pakaian yang diwajibakan Islam. Jadi, alasannya sangat teologis. Sebagian memakai jilbab karena dipaksakan oleh aturan, terutama karena banyaknya Peraturan Daerah tentang keharusan berjilbab. Sebagian lagi karena alasan psikologis, tidak merasa nyaman karena semua orang di lingkungannya memakai jilbab. Ada lagi karena alasan modis, agar tampak lebih cantik dan trendi, sebagai respon terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab dengan perempuan. Ini dibuktikan dengan semakin banyaknya toko-toko busana muslim dan butik yang memamerkan jilbab dengan model mutakhir dan tentu saja dengan harga mahal. Bahkan, ada juga berjilbab karena alasan politis, yaitu memenuhi tuntutan kelompok Islam tertentu yang cenderung mengedepankan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik.

Berbicara soal busana perempuan dalam Islam, data-data historis sepanjang sejarah Islam mengungkapkan bahwa pandangan para ulama tidak tunggal, melainkan sangat beragam. Setidaknya, pandangan ulama dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola. Pertama, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan tangan, bahkan juga bagian mata. Kedua, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya kecuali bagian muka dan tangan. Ketiga, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi tubuhnya, selain muka dan tangan hanya ketika melaksanakan ibadah salat dan thawaf. Di luar itu, perempuan boleh memilih pakaian yang disukainya, sesuai adab kesopanan yang umum berlaku dalam masyarakat. Rambut kepala bagi kelompok ini bukanlah aurat sehingga tidak perlu ditutupi.

Menarik digarisbawahi bahwa ketiga pola pandangan yang berbeda itu sama-sama merujuk kepada teks-teks suci agama dan sama-sama mengklaim diri sebagai pandangan Islam yang benar. Perbedaan pandangan para ulama soal busana perempuan ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan pandangan tentang batas-batas aurat bagi perempuan. Yang pasti bahwa semua pandangan tadi merupakan hasil ijtihad para ulama. Sebagai hasil ijtihad, pandangan itu bisa salah, tetapi juga bisa benar.

Ada kaidah dalam hukum Islam, bahwa tidak satupun ulama atau komutas agama yang dapat mengklaim pandangannya sebagai suatu yang mutlak dan absolut. Sebab, pada tataran ijtihad semua pandangan adalah relatif dan nisbi, serta dapat diubah. Artinya, setiap ulama dan komunitas agama bisa saja mengklaim pendapatnya benar, tetapi yang lain pun dapat melakukan hal yang sama. Dalam konteks ini yang diharapkan adalah agar setiap penganut agama bisa menghargai pendapat orang lain, sepanjang orang itu tidak memaksakan pendapatnya atau tidak menyalahkan pendapat orang lain. Dengan demikian, yang diperlukan dalam beragama sesungguhnya adalah sikap menghargai dan menghormati orang lain apapun pilihan pendapatnya, dan perlunya kearifan dalam merespon perbedaan pendapat.

Lalu, apa yang dimaksud dengan jilbab? Kata jilbab adalah bahasa Arab, berasal dari kata kerja ‘jalaba’ bermakna “menutup sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat.” Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan jilbab. Sebagian pendapat mengatakan jilbab itu mirip rida’ (sorban), sebagian lagi mendefinisikannya dengan kerudung yang lebih besar dari khimar. Sebagian lagi mengartikannya dengan qina’, yaitu penutup muka atau kerudung lebar. Muhammad Said Al-Asymawi, mantan hakim agung Mesir menyimpulkan bahwa jilbab adalah gaun longgar yang menutupi sekujur tubuh perempuan. Jilbab dalam Islam sangat erat kaitannya dengan masalah aurat dan soal hijab.

Satu-satunya ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit menggunakan istilah jilbab adalah ayat 59 surah al-Ahzab: “Wahai Nabi, katakanlan kepada para isterimu dan anak-anak perempuanmu, serta para perempuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Sebab, yang demikian itu akan membuat mereka lebih mudah dikenali sehingga terhindar dari perlakuan tidak sopan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Para ulama sepakat bahwa ayat tersebut merespon tradisi perempuan Arab ketika itu yang terbiasa bersenang ria. Mereka membiarkan muka mereka terbuka seperti layaknya budak perempuan, mereka juga membuang hajat di padang pasir terbuka karena belum ada toilet. Para perempuan beriman juga ikut-ikutan seperti umumnya perempuan Arab tersebut. Kemudian mereka diganggu oleh kelompok laki-laki jahat yang mengira mereka adalah perempuan dari kalangan bawah. Mereka lalu datang kepada Nabi mengadukan hal tersebut. Lalu turunlah ayat ini menyuruh para isteri Nabi, anak perempuannya dan perempuan beriman agar memanjangkan gaun mereka menutupi sekujur tubuh.

Muhammad Said Al-Asymawi berkata: 'illat hukum pada ayat-ayat jilbab, atau tujuan dari penguluran jilbab adalah agar perempuan-perempuan merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan perempuan-perempuan yang berstatus hamba sahaya dan perempuan-perempuan yang tidak terhormat. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan menyangkut mereka dan agar masing-masing dikenal sehingga perempuan-perempuan merdeka tidak mengalami gangguan dan dengan demikian terpangkas segala kehendak buruk terhadap mereka. Bukti tentang kebenaran hal ini adalah 'Umar Ibn Khaththab ra. bila melihat seorang perempuan budak menggunakan penutup muka atau mengulurkan jilbabnya, beliau mencambuk perempuan itu. Ini guna membedakan mereka dengan perempuan-perempuan merdeka.

Selain ayat tersebut, ayat-ayat lain yang menyinggung soal jilbab, adalah al-Ahzab, 32, 33 dan 53; serta an-Nur ayat-ayat: 30, 31 dan 60. Adapun hadis yang banyak dijadikan rujukan adalah hadis riwayat Aisyah dan hadis riwayat Abu Daud. Keduanya hadis ahad, bukan hadis mutawatir. Para pakar hukum umumnya sepakat menilai hadis ahad tidak kuat menjadi landasan hukum.

Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca dalam konteks sekarang terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi memakai jilbab hanya sekedar agar mereka dikenali; atau agar mereka dibedakan dari perempuan yang bersatus budak; atau agar mereka tidak diganggu laki-laki jahat. Di masa sekarang tidak ada lagi perbudakan, juga busana bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang. Dewasa ini banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat perempuan terhormat dan disegani, misalnya dengan meningkatkan kualitas pendidikan, memberdayakan mereka dengan mengajarkan berbagai skill dan keterampilan, memenuhi hak-hak asasi mereka, khususnya hak-hak reproduksi mereka.

Jika ayat-ayat jilbab mengandung pesan moral untuk meninggikan martabat kaum perempuan, maka kaum perempuan modern ditantang oleh Islam untuk menunjukkan martabat tersebut yang perlindungannya ditetapkan oleh agama, tetapi dengan suatu cara atau berbagai cara yang selaras dengan lingkungan mereka yang modern. Artinya, ajaran Islam menghendaki para perempuan tetap terjaga moralitasnya, meskipun tidak menggunakan simbol-simbol seperti jilbab dan sebagainya.

Pembacaan yang seksama terhadap semua ayat dan hadis Nabi tentang jilbab, pada akhirnya membawa kepada suatu kesimpulan berikut. Jilbab pada hakikatnya adalah mengendalikan diri dari dorongan syahwat, dan membentengi diri dari semua perilaku dosa dan maksiat. Jilbab dengan demikian tidaklah terkait dengan busana tertentu, melainkan lebih berkaitan dengan takwa di dalam hati. Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan tidak berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang pasti juga tidak untuk pamer (riya’).

Pemahaman tentang jilbab hendaknya dimulai dengan memahami tauhid, inti ajaran Islam. Tauhid, inti ajaran Islam mengajarkan bagaimana berketuhanan yang benar, dan juga menuntun manusia bagaimana berkemanusiaan dengan benar. Ajaran tauhid membawa kepada pengakuan akan persamaaan manusia di hadapan Tuhan dan keharusan menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender, ras, suku bangsa, dan bahkan agama. Pemahaman tauhid berimplikasi pada dua aspek ajaran: ajaran tentang ketuhanan (dimensi vertikal) dan kemanusiaan (dimensi horisontal). Yang pertama berisi seperangkat kewajiban manusia kepada Tuhan (hablun minallah), sementara yang terakhir berisi seperangkat tuntunan yang mengatur hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya (hablun minannas). Sayangnya, dalam praktek beragama di masyarakat, dimensi horisontal ini tidak terwujud dengan baik dalam kehidupan penganutnya. Penganut agama lebih mengutamakan hubungan dengan Tuhan ketimbang dengan sesamanya manusia. Akibatnya, agama sering tampil dalam wajah yang tidak bersahabat, terutama terhadap perempuan.

Islam adalah agama yang sangat menekankan pentingnya penghormatan kepada manusia dan itu terlihat dari ajarannya yang sangat akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Salah satu bentuk elaborasi dari nilai-nilai kemanusiaan itu adalah pengakuan yang tulus terhadap kesamaan dan kesatuan manusia. Semua manusia adalah sama dan berasal dari sumber yang satu, yaitu Tuhan. Yang membedakan hanyalah prestasi dan kualitas takwanya. Dan bicara soal takwa, hanya Tuhan semata yang berhak melakukan penilaian. Tugas manusia hanyalah berkompetisi melakukan amal baik sebanyak-banyaknya (fastabiqul khairat). Namun, tidak sedikit manusia memposisikan dirinya seperti Tuhan sehingga berani menilai manusia sebagai sesat, kafir, berdosa dan sebagainya.

Perempuan dan laki-laki dalam Islam sama-sama harus berbusana yang sopan dan sederhana, tidak pamer dan tidak mengundang birahi. Dengan mempelajari asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab dapat disimpulkan bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang ditetapkan untuk perlindungan, atau lebih jauh lagi, untuk meningkatkan prestise kaum perempuan beriman, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.

Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban bagi perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al-Quran bagi para istri dan anak-anak perempuan Nabi, dan semua perempuan beriman di masa itu untuk menutup tubuh mereka atau bagian dari tubuh mereka sedemikian rupa sehingga tidak mengundang kaum munafik untuk menghina mereka. Jadi illat hukumnya adalah perlindungan terhadap perempuan. Jika perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah demikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara cerdas dan bebas apakah ia masih mau menggunakan jilbab atau tidak.

Apapun pilihan perempuan, harus dihargai dan dihormati sehingga terbangun kedamaian di masyarakat. Dalam realitas sosiologis di masyarakat jilbab tidak menyimbolkan apa-apa; tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan salehah, sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.

Sesungguhnya perbedaan para pakar hukum dalam memahami hukum jilbab adalah sangat manusiawi. Perbedaan pendapat muncul karena perbedaan dalam memahami makna ayat dan pertimbangan-pertimbangan nalar mereka. Dari sini, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah jilbab dan batas aurat perempuan merupakan masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi kafir mengkafirkan.

Berkaitan dengan ini, perlu diketengahkan kesimpulan dari Forum Pengkajian Islam UIN Syarif Hidayatullah tahun 1988 sebagi berikut: "Hukum Islam tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup, tetapi menyerahkan hal itu kepada masing-masing orang sesuai situasi, kondisi dan kebutuhan." Kalau begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap kehati-hatian dalam melaksanakan tuntunan Islam.

Akhirnya, perlu membangun sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai jilbab, sebaliknya juga menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya melepas atau membuka kembali jilbabnya. Bahkan, juga mengapresiasi mereka yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab. Walahu a’lam bi as-shawab.



[1] Sekjen Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).

Busung Lapar dan MDG"s

GIZI, MASYARAKAT BERKUALITAS

DAN PENCAPAIAN TUJUAN MDGs[1]

Siti Musdah Mulia[2]

Pendahuluan

Pertama-tama saya mengapresiasi panitia Anugerah Saparinah Sadli 2007 karena mengambil tema sangat strategis: Gizi, Masyarakat Berkualitas dan Pencapaian Tujuan MDGs. Mengapa tema ini penting? Paling tidak ada empat alasan.

Pertama, pemerintah pada tahun 2000 telah menyepakati Millenium Development Goals yang antara lain menegaskan perlunya negara memenuhi hak kesehatan warga. Sebab, salah satu indikasi masyarakat berkualitas terlihat dari tingkat kesehatannya. Bicara soal kesehatan, tidak bisa tidak harus dimulai dari perbaikan gizi masyarakat, khususnya pada anak balita. Karena itu, pencapaian MDGs hanya dimungkinkan manakala gizi masyarakat mengalami peningkatan kualitas.

Kedua, problem gizi buruk masyarakat adalah akumulasi dari berbagai persoalan sosial di masyarakat, seperti malnutrisi, korupsi, kemiskinan, pengangguran, pengalokasian dana yang tidak responsif gender, dan orientasi kebijakan pembangunan yang monokultur serta penataan konsumsi yang berorientasi pasar.

Ketiga, masalah gizi buruk masyarakat merupakan gambaran nyata dari pengabaian terhadap hak-hak perempuan. Masyarakat masih kuat dipengaruhi budaya patriarki dan nilai-nilai bias gender sehingga pengelolaan gizi anak sepenuhnya dibebankan pada ibu. Sebagian besar mereka tidak mengerti masalah gizi karena pemiskinan dan pembodohan, serta akibat ketimpangan struktural.

Keempat, di tengah-tengah berita Pilkada yang merebak di berbagai wilayah muncul fenomena yang paradoks. Para calon gubernur, bupati, walikota tanpa malu menyebutkan jumlah harta kekayaan mereka yang melimpah, sementara di depan mata ditayangkan gambar anak-anak penderita busung lapar. Hal ini menunjukkan betapa kesenjangan dan ketidakadilan telah terjadi di masyarakat. Situasi ini harus segera diakhiri agar tidak meletupkan keresahan sosial yang mendalam, dan boleh jadi membawa kepada revolusi sosial yang tidak diinginkan.

Jaringan Penanggulangan Busung Lapar

Persoalan rendahnya kualitas gizi masyarakat kembali mencuat di negara ini, setelah media massa nasional kembali membongkarnya dipertengahan tahun 2005 lalu. Sejak saat itu, kasus busung lapar menjadi sorotan publik, terutama busung lapar di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) yang mempunyai ranking tinggi dibandingkan daerah-daerah lainnya. Pemberitaan yang gencar tentang kasus tersebut, memaksa pemerintah turun tangan dan menetapkan kasus busung lapar sebagai kejadian luar biasa (KLB). Akan tetapi, berita mengenai tragedi busung lapar ini kembali menjadi tragedi tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa politik yang hingar bingar di pusat dan daerah. Berita ini kalah seksi dari berita-berita Pilkada yang menelan biaya mahal dan terjadi di berbagai wilayah republik ini.

Tahun 2005 sejumlah NGO yang peduli pada upaya-upaya penanggulangan busung lapar di tanah air secara spontan menggagas suatu jaringan yang disebut Jaringan Penanggulangan Busung Lapar.[3] Jaringan ini muncul sebagai respon konkret terhadap meningkatnya kasus busung lapar atau gizi buruk, bahkan telah menjadi ancaman serius terhadap masa depan negeri ini. Data Departemen Kesehatan pada tahun 2004 menunjukkan, sekitar 5 juta anak balita terancam kekurangan gizi, 3,6 juta anak balita menderita kurang gizi dan 1,5 juta anak balita menderita gizi buruk. Data tersebut sejatinya hanyalah fenomena “Gunung Es.” Artinya, yang terjadi sesungguhnya jauh lebih parah dan lebih memprihatinkan.

Penderita gizi dapat dipolakan kepada dua kelompok: Penderita gizi kurang dan penderita gizi buruk yang lebih dikenal dengan sebutan busung lapar. Penderita gizi buruk mudah dikenali karena terlihat secara kasat mata dari kondisi tubuh anak: sakit, kurus, perut buncit atau badan membengkak, dan lemah. Sebaliknya, penderita gizi kurang tidak mudah diketahui atau dikenali oleh masyarakat umum. Akibatnya, meskipun jumlahnya lebih banyak, namun mereka kurang mendapatkan perhatian, baik dari kalangan pemerintah maupun masyarkat. Penderita gizi kurang sangat berpotensi menjadi penderita gizi buruk atau busung lapar, apabila tidak dilakukan upaya-upaya pemulihan dan pengobatan secara cepat dan tepat.

Jika problem gizi kurang dan gizi buruk tidak segera ditangani secara serius, bangsa ini akan kehilangan satu generasi atau bahkan lebih. Mengapa? Sebab, gizi buruk, terutama pada anak-anak usia balita, berdampak pada berkurangnya sel-sel otak. Akibatnya, meskipun penderita gizi buruk masih dapat bertahan hidup dan tumbuh menjadi dewasa, mereka tetap akan menderita kelemahan mental, terhambat pertumbuhan fisiknya dan rentan terhadap penyakit. Mereka dengan demikian akan menjadi apa yang disebut dengan “goblok permanen” dan kondisi ini tentu amat memprihatinkan. Sementara itu, keluarga dan masyarakat tidak dapat berbuat banyak.

Dengan ungkapan lain, anak-anak penderita kurang gizi yang menurun status gizinya menjadi penderita gizi buruk atau busung lapar, tidak akan bisa dipulihkan kembali menjadi anak yang tumbuh normal. Mereka akan menghadapi dua kemungkinan kondisi yang sama buruknya, yaitu: meninggal dunia atau bertahan hidup dalam kondisi lemah (retardasi) mental. Sebab gizi buruk atau busung lapar bersifat irreversible. Tak terbayangkan apa yang terjadi dengan masa depan negeri ini apabila 5 juta anak yang terancam kekurangan gizi itu tak terselamatkan dan jatuh dalam kondisi busung lapar. Indonesia akan menghadapi masalah hilangnya sebuah generasi atau bahkan akan kehilangan masa depannya sendiri.

Menghadapi persoalan rendahnya kualitas gizi masyarakat, kita tidak perlu mencari siapa yang harus bertanggungjawab atas masalah ini. Sebab, sikap demikian hanya mengulur waktu dan sia-sia, padahal kondisi yang memprihatinkan akibat busung lapar tidak bisa ditunda penanganannya. Masalah busung lapar harus menjadi perhatian bersama semua pihak baik masyarakat secara umum, pemerintah, tokoh-tokoh agama, LSM, profesional dan sebagainya. Pihak-pihak ini dalam kapasitasnya masing-masing harus mampu memberi peran yang signifikan dalam memerangi masalah busung lapar yang demikian nyata di hadapan kita.

Busung Lapar Merupakan Tragedi Nasional

Kelompok agamawan yang diorganisir oleh ICRP (Indonesian Conference on Religion for Peace) memandang masalah busung lapar sebagai masalah semua umat beragama. Sebab, bukankah musuh agama yang paling nyata adalah kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dan kelaparan? Mereka menyatakan bahwa: meskipun kami berbeda dalam hal keyakinan, namun kami mempunyai kesamaan dalam hal kemanusiaan. Bagi kami busung lapar adalah tragedi kemanusiaan yang tidak lagi dilihat sebagai problem internal satu pemeluk agama saja. Busung lapar di negara Indonesia yang kaya-raya ini adalah tragedi yang memalukan. Bagi kelompok agamawan tragedi busung lapar ini adalah tamparan keras. Kami malu karena umat kami tidak bisa makan, miskin, dan tidak mendapat gizi yang baik. Kelompok agamawan mengakui bahwa pertanggungjawaban atas kesejahteraan umat adalah kewajiban yang juga harus diperjuangkan oleh kelompok-kelompok agama.

Tragedi busung lapar merupakan tragedi nasional. Karena itu, semua umat beragama, bahkan semua pihak hendaknya memberi prioritas khusus untuk segera menangani. Selanjutnya, kepada tokoh agama dan kelompok-kelompok agama dihimbau untuk bergandeng tangan mengatasi masalah busung lapar ini. Masalah busung lapar bukan lagi masalah umat dari kelompok tertentu saja, tetapi menjadi masalah bagi seluruh umat. Untuk itu, diserukan kepada kelompok agama agar melepaskan identitas-identitas keagamaan dalam menangani masalah busung lapar karena masalah umat adalah masalah kemanusiaan yang tidak terkait dengan identitas-identitas keagamaan.

Selain itu, kepada masyarakat dihimbau untuk meningkatkan rasa solidaritas bersama dan peduli dalam menangani masalah busung lapar. Dihimbau kepada masyarakat yang lebih mampu untuk mengulurkan tangannya dalam membantu saudara-saudara mereka yang tidak bisa mendapatkan gizi secara baik. Kemudian, kepada pemerintah diharapkan untuk mengeluarkan kebijakan strategis dan mendasar dalam menangani masalah busung lapar. Masalah busung lapar adalah representasi dari gagalnya pemerintah dalam menangani problem-problem masyarakat, khususnya kemiskinan. Jelas bahwa busung lapar pada umumnya terjadi akibat kemiskinan yang melanda masyarakat dan belum mendapat penyelesaian.

Kasus anak balita penderita gizi buruk atau busung lapar dan kematian dini akibat busung lapar yang banyak diberitakan di media massa, sebenarnya bukanlah kasus baru. Busung lapar telah mengancam jutaan anak-anak Indonesia di berbagai provinsi sejak tahun 1998. Jumlah dan keluasan anak-anak penderita gizi buruk menegaskan bahwa gizi buruk atau busung lapar adalah bencana nasional yang dampaknya tak kalah seriusnya dengan bencana-bencana nasional lainnya. Ironisnya, berbeda dengan penanganan bencana bususng lapar, berbagai bencana yang telah dinyatakan sebagai bencana nasional mendapat perhatian dan penanganan serius, baik dari pemerintah maupun seluruh komponen masyarakat. Pada setiap bencana nasional, berbagai sumberdaya, pengetahuan dan beragam bentuk solidaritas masyarakat dikerahkan untuk membantu para korban dan mencegah meluasnya jumlah korban. Ini terjadi karena apa yang disebut sebagai bencana nasional seringkali dikaitkan dengan jumlah korban yang bersifat massal dan dapat dilihat secara kasat mata. Sebaliknya, menghadapi bancana busung lapar, pemerintah dan masyarakat kurang memberikan perhatian.

Busung Lapar Cerminan Pengabaian Hak-Hak Perempuan

Masalah gizi kurang dan gizi buruk bukan hanya saja menjadi persoalan medis semata, tetapi juga merupakan masalah sosial yang krusial. Problem kemiskinan yang terus menerus mendera masyarakat berkorelasi positif dengan meningkatnya jumlah anak-anak penderita gizi. Sementara itu, tingkat solidaritas masyarakat terhadap masalah ini juga belum mendapat perhatian yang luas dan serius. Persoalan ini semakin memprihatinkan ketika pemerintah sebagai penanggungjawab atas kesejahteraan warganya tidak optimal dalam menangani masalah kesehatan dan pemenuhan gizi masyarakat, padahal tingkat kualitas kesehatan masyarakat merupakan indikator nyata dari kemajuan suatu negara. Selain itu, masalah gizi anak ini juga erat kaitannya dengan persoalan-persoalan riil di masyarakat, seperti perkawinan anak-anak (child marriage), perkawinan kontrak, perempuan buruh migran, pembantu rumah tangga, dan pengabaian hak-hak asasi perempuan.

Problem Ketidakadilan Gender

Anak dan perempuan merupakan kelompok rentan di masyarakat. Disebut rentan karena keduanya merupakan kelompok yang paling banyak menanggung resiko kematian karena alasan kesehatan. Anak-anak dan perempuan hamil atau melahirkan adalah kelompok masyarakat yang rentan terhadap penyakit dan kematian. Akibat kurang terjangkaunya pelayanan kesehatan ke seluruh desa dan kelurahan mempengaruhi besarnya angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan (AKI). Tingginya angka kematian ibu hamil dan melahirkan menegaskan adanya problem ketidakadilan gender dalam masyarakat yang berdampak pada masalah busung lapar. Dinas kesehatan di beberapa tempat menyatakan bahwa berdasarkan data anak-anak penderita busung lapar diketahui bahwa sebagian dari anak-anak penderita busung lapar adalah anak-anak dengan berat badan lahir (BBL) rendah. Anak-anak yang rendah berat badannya saat lahir mengindikasikan adanya problem asupan makanan dan gizi pada ibu-ibu hamil. Ini berarti bahwa hak atas kesehatan reproduksi bagi para ibu belum mendapatkan perlindungan dan pemenuhan sebagaimana mestinya.

Problem Rendahnya Kualitas Pendidikan Perempuan

Data-data yang ada menunjukkan secara jelas bahwa kondisi pendidikan orang tua anak balita penderita gizi kurang dan gizi buruk (busung lapar) sangat rendah. Mayoritas orang tua mereka berpendidikan SD ke bawah. Sementara lainnya tidak pernah mengenyam bangku sekolah. Rendahnya tingkat pendidikan warga berdampak pada minimnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang masalah pangan, gizi dan kesehatan. Kondisi seperti ini berdampak pada sikap dan perilaku masyarakat, khususnya kelompok miskin, di dalam konsumsi pangan yang tidak memenuhi kecukupan gizi. Minimnya pendidikan juga merefleksikan minimnya pemenuhan hak atas informasi. Dengan tidak terpenuhinya hak atas informasi, bisa dimengerti kalau masalah gizi dan kesehatan menjadi masalah krusial bagi masyarakat yang tidak terdidik.

Problem Minimnya Akses Perempuan Terhadap Pelayanan Kesehatan dan Air Bersih

Kemiskinan yang ditandai oleh kualitas pendidikan yang rendah, kian diperburuk oleh minimnya pelayanan kesehatan dan sumber air bersih. Di beberapa wilayah terdata bahwa kelompok perempuan Demikian pula, penguasaan atas sumberdaya lahan, khususnya lahan pertanian sangat minim. Mayoritas keluarga dari anak-anak penderita gizi buruk dan busung lapar tidak memiliki lahan pertanian, baik lahan sawah maupun lahan kering. Ketiadaan lahan membuat mereka bergantung pada pasar dalam hal pengadaan pangan. Sementara penghasilan mereka tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat akibat kenaikan BBM. Kondisi ini melahirkan beragam masalah dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kelompok perempuan tersingkirkan dari pengelolaan pertanian sejak revolusi hijau diterapkan secara luas dengan padi sebagai komoditi andalan, makanan pokok bergeser ke beras. Kini dengan naiknya harga BBM, harga beras semakin mahal, sementara mayoritas lahan pertanian adalah lahan kering, sehingga warga bergantung pada pasar untuk mendapatkan beras.

Minimnya ketersediaan air membuat perempuan harus berjalan berkilo-kilo meter dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendapatkan air bersih. Sementara pada saat yang sama, perempuan bertanggung jawab dalam mengurus anak-anak, menyediakan makan bagi keluarga, mengurus ternak, dan lain-lain tanggung jawab pekerjaan dalam rumah tangga. Ketiadaan air juga meningkatkan masalah serius dalam hal sanitasi dan kesehatan.

Solusi dan Rekomendasi

Agar masalah gizi kurang dan gizi buruk (busung lapar) tidak lagi menjadi masalah keseharian masyarakat di berbagai wilayah Indonesia, solusi dan sekaligus rekomendasi berikut patut dipertimbangkan:

Pertama, untuk Pemerintah Pusat.

Segera membangun sistem penanggulangan rawan pangan, gizi kurang dan gizi buruk atau busung lapar yang berorientasi pada pendekatan yang mengatasi akar masalah. Busung lapar bukanlah bencana alam yang bisa diatasi hanya dengan pendekatan emergency jangka pendek tanpa disertai perubahan-perubahan kebijakan yang berorientasi pada kebutuhan riil mayoritas rakyat. Pemerintah sudah semestinya menjalankan kewajiban yang diembannya untuk merumuskan dan menerapkan kebijakan strategis di tingkat nasional yang mengarah ke pengurangan tingkat kemiskinan secara signifikan dan berkelanjutan, pengembangan diversifikasi ekonomi melalui pengembangan industri kecil dan menengah, pemanfaatan dan pengembangan potensi dan sumberdaya lokal untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri dalam anggaran pemerintah, dan penghentian praktek korupsi di segala lini dan kejahatan sistematis lainnya.

Selain itu, sangat perlu meningkatkan orientasi pembangunan pada peningkatan akses masyarakat atas pelayanan dasar dan sumberdaya ekonomi, dengan menjalankan sepenuhnya kebijakan untuk mengalokasikan minimal 20% anggaran pembangunan untuk pendidikan dan 15% anggaran pembangunan untuk kesehatan. Perbaikan dalam sistem penganggaran (budgeting) dengan memperhatikan partisipasi kelompok-kelompok marjinal, khususnya kelompok miskin dan kelompok perempuan. Sistem budgetting juga memperhatikan ketepatan waktu perencanaan dan realisasi alokasi anggaran. Mengembangkan potensi lokal untuk meningkatkan ketersediaan dan akses masyarakat atas pangan, dengan kebijakan pangan yang secara strategis mengembangkan potensi lahan kering dan konservasi lahan kritis. Melakukan sosialisasi berbagai kebijakan yang terkait dengan penghapusan ketidakadilan gender pada seluruh jajaran pemerintahan dan berbagai kelompok strategis di daerah.

Kedua, untuk Pemerintah Daerah.

Segera merumuskan dan melaksanakan sistem penanganan masalah gizi buruk dan rawan pangan dengan berangkat dari akar masalah. Konsep ini diterjemahkan dalam pendekatan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Pendekatan emergency tetap diperlukan, namun dijalankan secara lebih cepat dan sampai pada sasaran. Penanganan dengan pendekatan emergency tanpa disertai dengan pendekatan yang mengatasi akar masalah hanya akan memboroskan sumberdaya, memperbesar peluang penyelewengan atau korupsi.

Kemudian, Pemda diharapkan secara serius dan terus-menerus melakukan sosialisasi di seluruh jajaran pemerintahan dan menerapkan secara luas kebijakan yang terkait dengan upaya penghapusan ketidakadilan gender di segala bidang kehidupan. Mengeliminasi terjadinya perkawinan anak-anak, perkawinan kontrak, perkawinan tanpa pencatatan. Mewujudkan pemenuhan dan penegakan hak-hak asasi perempuan, terutama berkaitan dengan hak atas informasi kesehatan reproduksi, Memperbaiki pelayanan KB dangan meningkatkan jumlah akseptor laki-laki.

Tidak kurang pentingnya, Pemerintah Daerah segera memperbaiki kelemahan atas pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, khususnya di bidang pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan. Menyelesaikan kasus-kasus korupsi, membangun sistem pengawasan yang efektif dengan memperluas demokratisasi dan akuntabilitas kekuasaan. Memperbaiki sistem penganggaran (budgeting) dengan memperhatikan partisipasi kelompok-kelompok marjinal, khususnya kelompok miskin dan kelompok perempuan. Mengembangkan program kesehatan lingkungan untuk mengurangi intensitas wabah penyakit, seperti malaria, TBC, diare, ISPA, campak. Ini diperlukan karena penyakit merupakan salah satu faktor penyebab berkembangnya busung lapar di sejumlah daerah. Juga sangat perlu merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang mengarah ke pemerataan pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Di antaranya berupa kebijakan pengembangan usaha tani lahan kering; perluasan diversifikasi pangan; pengembangan diversifikasi usaha ekonomi untuk memperluas kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan; peningkatan alokasi anggaran untuk meningkatkan akses kelompok miskin terhadap pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan; serta perluasan upaya konservasi lahan kritis.

Hal lain perlu dilakukan, segera meningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dengan lebih mendekatkan prasarana pelayanan ke komunitas-komunitas miskin atau menerapkan sistem pelayanan keliling (mobile), meningkatkan aktivitas petugas kesehatan dan posyandu, mengefektifkan kembali fungsi posyandu untuk monitoring atau deteksi dini, memenuhi hak ekonomi petugas kesehatan. Program revitalisasi posyandu tidak akan berjalan efektif tanpa peningkatan akses masyarakat atas posyandu dengan lebih mendekatkan posyandu ke komunitas-komunitas atau menerapkan sistem pelayanan keliling.

Last but not least, segera memperluas ketersediaan dan akses masyarakat atas sumberdaya air, baik air bersih maupun air untuk kegiatan di sektor pertanian. Perluasan ketersediaan air bisa dilakukan, di antaranya dengan memperbanyak pembangunan sumur, memperbanyak pembangunan jebakan air, memperbaiki dan memperluas sarana irigasi.

Walahu a’lam bi al-shawab.

Lampiran.

Fakta Busung Lapar Di Indonesia

Gambaran tentang Masalah Pangan, Kelaparan, Gizi Buruk dan Busung Lapar

Di Beberapa Daerah pada Tahun 1998, 1999, 2005

Daerah/

Wilayah

tahun 1998

tahun 1999

tahun 2005

Indonesia

2.201.450 anak umur 0 – 4 tahun terancam kurang gizi

Sedikitnya 17,5 juta KK tidak mampu makan dua kali sehari

Delapan persen dari 20,87 juta (1,67 juta) anak usia 0 – 4 tahun menderita busung lapar

Empat juta anak di bawah dua tahun mengalami kekurangan gizi

Diperkirakan, 35% (7,7, juta) anak balita mengalami kurang gizi

Jawa Barat

3,9 juta KK tidak bisa makan dua kali sehari

7.726 anak balita menderita busung lapar, 7 di antaranya meninggal

107.500 anak balita menderita gizi buruk

Jawa Timur

230.000 anak balita menderita kurang gizi, 14.000 anak balita menderita gizi buruk, 400 anak balita menderita busung lapar, 6 di antaranya meninggal

144 anak balita di ponorogo menderita kurang gizi, 37 anak balita di Surabaya menderita busung lapar

Jawa Tengah

Jumlah anak balita penderita kurang gizi meningkat, dari 2 anak (Oktober) menjadi 33 anak (Desember)

261 anak balita menderita kurang gizi, 61 anak balita menderita busung lapar

Pada tahun 2001, 3.702 anak balita menderita kurang gizi

710 anak balita di kabupaten Rembang, 64 di kota Semarang, 442 di kabupaten Semarang, 117 di Tegal, 243 di Boyolali, menderita gizi buruk

Sumatera Barat

Jumlah keluarga rawan pangan meningkat dari 45.017 KK menjadi 48.323 KK

54.000 bayi dan anak balita menderita gizi buruk

Sedikitnya 9.488 anak balita menderita gizi buruk, 63 di antaranya meninggal

Yogyakarta

Tiga persen (4.755) anak balita menderita gizi buruk

NTB

65% KK terancam rawan pangan, setengahnya sudah tidak memiliki persediaan makanan

910 anak gizi buruk, 21 anak meninggal akibat busung lapar



[1]Disampaikan pada acara Anugerah Saparinah, tgl 24 Agustus 2007, di Jakarta.

[2]Koordinator Jaringan Penanggulangan Busung Lapar Nasional.

[3]Jaringan Busung Lapar adalah sebuah jaringan yang terbentuk secara secara spontan pada 28 Juni 2005 di Jakarta untuk merespon persoalan busung lapar secara nasional. Jaringan ini terdiri dari kalangan aktivis, agamawan, medis, seniman, budayawan, pekerja sosial, akademisi dan kelompok profesi yang peduli terhadap persoalan sosial bangsa, khususnya masalah busung lapar.